Berislam Rasa Minoritas

(Suasana Sholat Jum'at di salah satu halaman kampus di Berlin)

Berislam Rasa Minoritas

Satria Wannamba Putra
(Kuliah di Bisnis Informatik HTW Berlin)

Di suhu politik yang kian memanas di Indonesia, banyak artikel yang beredar tentang pro kontra memilih pemimpin non-muslim.

Pemeluk agama minoritas pun merasa punya andil untuk mengajukan pemimpin dari agamanya, yang sejatinya saat ini adalah seorang petahana. Di sisi lain, pemeluk agama mayoritas, dalam kitabnya, dilarang memilih pemimpin dari agama lain. Ditambah lagi merasa terganggu karena kebebasannya dalam beragama justru dibatasi oleh petahana kala menjabat. Perdebatan berputar disitu.

Ini adalah sekelumit anomali kami di benua Eropa saat pemeluk agama Islam justru minoritas dari negara mayoritas pemeluk agama Kristen meski sejatinya bukan negara Kristen.

Ibadah

Di saat teman teman kami yang minoritas disana bisa bebas beribadah dengan leluasa. Kami yang minoritas disini harus berjuang lebih teguh untuk tetap bisa menikmati sujud sujud kami diantara debu debu lorong dan bawah tangga yang sunyi karena tak ada tempat sholat yang memadai disini. Beberapa fasilitas umum seperti kampus bahkan melarang ruangannya dipakai untuk beribadah.

Saat orang tua teman-teman kami yang minoritas di Indonesia bisa dengan tenang membawa anak-anaknya ke ibadah pekanan, serta pemimpinnya melarang pembiasaan Kurban di sekolah. Orang tua orang tua kami yang minoritas disini harus berputar otak lebih untuk mengenalkan agama kepada anaknya dan dihantui keraguan karena terancam rapor merah dari sekolahnya hanya karena membawanya ke ibadah pekanan kami, sholat Jum’at.

Simbol Agama

Di saat teman teman kami yang minoritas di tanah air bisa dengan bangga memakai kalung salibnya di muka umum. Teman teman kami yang minoritas disini terpaksa rela melepas jilbab yang menutupi parasnya, hanya untuk mendapatkan pekerjaan demi menyambung hidup. Dan saat teman teman kami yang minoritas disana bisa menikmati suara lonceng panggilan beribadah, namun pemimpinnya mengetatkan peraturan speaker mesjid serta melarang gema takbir dijalanan. Kami yang minoritas disini harus puas menahan rindu suara adzan dengan sekedar getar notifikasi di telefon genggam kami karena larangan mesjid mesjid menyaringkan keluar panggilan untuk sholat.

Menghormati Ibadah

Saat teman teman kami yang minoritas di tanah air masih bisa leluasa memilih ragam jenis makanan meski kaum mayoritasnya sedang berpuasa. Kami yang minoritas disini mesti terkungkung teliti melihat deretan komposisi makanan serta mencari logo halal, dan hanya bisa meringis sambil mengembalikannya ke rak etalase makanan karena bertuliskan gelatin atau alkohol. Lalu saat teman teman kami yang minoritas disana bisa tersenyum dapat merayakan perayaan agamanya di hari libur sambil mencibir pemeluk agama lain karena ikutan libur, kami yang minoritas disini cemas diawal tahun memastikan perayaan agama kami tepat di akhir pekan atau kami harus terpaksa bolos kuliah karena tak ada tanggal merah untuk kami.

Dan saat teman teman minoritas kami disana bisa memilih berbagai jenis hiburan dan pemimpinnya bangga melokalisasi PSK dan perjudian. Kami yang minoritas disini bingung, bagaimana menjelaskan ke anak anak kami kelak tentang lokalisasi PSK dan perjudian yang bertebaran di sudut kota.

Minoritas adalah keniscayaaan, sama seperti mayoritas dan ragam jenis agama. Tapi keadilan tidak.

Kami sadar posisi kami minoritas di negeri ini, dan kami terima, meski dengan perjuangan keras bahkan hanya untuk menegakkan hak kami beribadah. Yang sebenarnya mereka, teman teman kami yang minoritas di tanah air, masih bisa leluasa menjalankannya. Adilkah? tidak. Wajar, karena kealpaan pemimpin mayoritas disini tentang bagaimana hak-hak kami dalam menjalankan agama kami. Karena mereka tak paham dan tak meyakini.

Tapi apa jadinya jika yang tak paham dan tak meyakini ini memimpin mayoritas?

Sudah cukup kami merasakan minoritas negri ini, tapi jangan sampai di negri sendiri. Mayoritas rasa minoritas.

Berlin, 12/02/2017


Baca juga :