Ahok Wajib Dinonaktifkan!!!
Ahok seolah orang penting kagak tergantikan yang perlu diselamatkan dari segala perkara dan perbuatan yang menjeratnya. Dari kasus Sumber Waras, kasus tanah Cengkareng dan kasus percobaan perbuatan jahat dan persekongkolan ngebobol duit APBD DKI melalui pembelian tanah eks kedubes Inggris bagi Ahok semua seolah aman dan sah untuk dilakukan. Terjerat kasus penistaan agama, Ahok bak orang sakti yang sulit ditembus aparat hukum. Ancaman hukuman 5 tahun, perbuatannya yang dilakukan secara repetitif (berulang) dan menimbulkan konflik yang sebenernya bisa jadi alesan penyidik untuk menahannya kagak bikin dia diciduk pagi-pagi untuk ditahan kek para tersangka lainnya.
Hingga tiba saatnya Ahok menjadi terdakwa, kontroversi atau pro-kontra tentang Ahok semakin mengemuka dengan isu penonaktifannya sebagai Gubernur DKI. Info terbaru yang gua denger katanya Ahok kagak bakal dinonaktifkan oleh Presiden via Mendagri selepas masa cuti kampanyenya berakhir. Gua langsung kepikiran bahwa ini mesti hasil konsultasi ame seorang intelektual yang selama ini biasa gua sebut si odong-odong. Ahaaak! Ternyata bener. Beberapa jam kemudian muncul komen si odong-odong ini di sebuah media.
Yuk simak apa landasan hukum penonaktifan Ahok yang sekarang lagi rame diperbincangkan!
Ada UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur hal ini. Berikut bunyi pasal yang dimaksud;
Pasal 83
(1) Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara dan atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan.
Kita liat pasal-pasal yang didakwakan Jaksa terhadap Ahok, adalah 2 pasal dakwaan penodaan agama yang bersifat alternatif yaitu pasal 156 atau 156 A KUHP yang ancamannya 4 dan 5 tahun penjara. Apakah pasal yang didakwakan terhadap Ahok memenuhi kategori UU Pemerintahan Daerah pasal 83 yang gua tulis di atas? Gua jawab Ya Ahok memenuhi pasal tersebut untuk dinonaktifkan sebagai Gubernur DKI karena didakwa dengan pasal tentang penodaan agama dalam KUHP.
Pasal 83 ayat (1) UU Pemda diatas memuat berbagai tindak pidana dengan tanda baca koma (,) yang mewajibkan penonaktifan seorang Kepala Daerah. Tafsir tanda koma pada pasal tersebut menandakan bahwa pasal tersebut memuat alternatif pidana yang jadi alesan pemberhentian sementara. Tanda koma tersebut nunjukin bahwa pidana-pidana tersebut bukan bersifat kumulatif sebagai alasan penonaktifan seorang Kepala Daerah. Satu kategori yang sangat cocok untuk pasal yang didakwakan terhadap Ahok adalah perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI yaitu penodaan agama. Pembuktiannya adalah adanya gejolak massa besar-besaran yang menginginkan Ahok diproses hukum sebagaimana mestinya menyangkut Agama yang sangat sensitif bagi sebagian besar rakyat di negara ini.
Sedangkan pembenar dari si odong-odong yang gua duga jadi konsultan pemerintah adalah Ahok harus kembali menjadi gubernur tanpa dinonaktifkan adalah karena dakwaan terhadap Ahok bukan pidana berat, alasan penghentian harus berdasarkan pada kemungkinan bahwa terdakwa berpotensi menghilangkan barbuk, atau mempengaruhi jalannya persidangan. Si odong-odong ini menyebut contoh pidana yang mengharuskan penonaktifan kepala daerah adalah korupsi, penipuan dan pembunuhan. Si odong-odong ini juga berasalan kagak perlu penonaktifan untuk Ahok karena dia pikir perkara yang dihadapinya kagak berhubungan dengan posisinya di pemerintahan.
Waiki!! Si odong-odong inkonsisten dalam kasih argumen. Kekeliruan si odong-odong ini elementer banget. Pemberhentian sementara dengan alasan diduga dapat melenyapkan barang bukti dan atau mempengaruhi jalannya persidangan ini jelas mengada-ada karena dalam pasal tersebut kagak dijelaskan demikian. Selain itu, jika alesan berpotensi menghilangkan barbuk, maka mestinya penonaktifan kagak dimulai saat jadi terdakwa melainkan saat menjadi tersangka. Karena pada tahap penyidikan inilah barang bukti dikumpulkan. Bahkan pasal penjelasan UU tersebut mengatakan pasal 83 cukup jelas tanpa keterangan tambahan. Sedangkan alasan kagak perlu pemberhentian karena kasusnya kagak ada hubungannya ame posisinya dalam pemerintahan, kembali odong-odong ini inkonsisten karena sebelumnya mencontohkan perkara yang memungkinkan pemberhentian jabatan adalah pembunuhan dan penipuan yang juga kagak ada hubungannya ame posisi seorang terdakwa dalam pemerintahan. Cukup jelas kalo dia mengada-ada untuk membela si Tuan yang udah merahmatinya pake kekuasaan di berbagai posisi, bukan?
Penonaktifan terhadap posisi Ahok sebagai Gubernur DKI adalah wajib karena telah memenuhi syarat-syarat yang dimuat dalam UU Pemerintah Daerah. Pasal itu juga secara eksplisit jelas menyebut diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan. Bukan menunggu tuntutan jaksa apalagi putusan pengadilan seperti karangan bebas si odong-odong. Pasal itu clear n clean kagak ditafsirkan macem-macem karena selama ini udah biasa dilakukan pemberhentian saat seseorang naik dari tersangka menjadi terdakwa yang disepakati selama ini sebagai yurisprudensi. Selain itu maka tafsirnya ngacok dan mengada-ada yang bertujuan untuk kepentingan politik si Tuan Besar. (Catatan: begitu masuk proses peradilan maka status tersangka berganti jadi terdakwa)
Catatan gua lainnya dari masalah penonaktifan Ahok ini adalah bahwa Pemerintah dalam hal ini Presiden sebagai penanggung jawabnya telah melanggar UU andai Ahok kagak dinonaktifkan. Namun demikian, gua kagak mencatat adanya UU atau konstitusi yang memberikan sanki pada pelanggaran UU kek gini. Sebelumnya Jokowi disebut melanggar UU dengan mengangkat WNA menjadi seorang menteri namun pelanggaran ini begitu aje kita lupain tanpa sanksi apapun terhadapnya. Ini sebuah masalah yang harus DPR selesaikan. Bagaimana mungkin seorang kepala Negara berbuat sekehendak hati melanggar UU atau etika tanpa sanksi apapun?
Karena kita tahu putusan MK hanya membatasi beberapa pidana berat beserta perbuatan tercela sebagai syarat seorang presiden bisa dimakzulkan kek korupsi, pengkhianatan terhadap negara dll. Padahal penting dibuatkan aturan dengan standard pelaksanaan UU yang tinggi agar memaksa seorang presiden melaksanakan UU. Ini penting agar presiden bisa jadi role model kekuasaan yang taat konstitusi dan UU bagi bawahan yang dia pimpin.
Kalau di negara lain seorang presiden bisa dijatuhkan karena sekedar masalah etik, bagaimana di negara kita? UU aje berani dilanggar dan semua terjadi tanpa sanksi apapun terhadapanya. Maka beberapa minggu yang lalu gua bergembira saat DPR menyuarakan semacam aturan etik untuk eksekutif. DPR sendiri memiliki aturan etik yang memungkinkan seorang legislator dicopot karena masalah etik. Kenapa Presiden kagak? Bener kagak?
(by @dulatips)