[PORTAL-ISLAM] Pilkada DKI pasca debat pertama Jumat lalu semakin menunjukkan siapa sesungguhnya yang layak dan patut secara moral, etika, kejujuran dan integritas untuk dipilih memimpin Jakarta 5 tahun kedepan. Dari jawaban-jawaban dan pertanyaan serta pernyataan yang terucap oleh Cagub maupun Cawagub sangat menunjukkan karakter dan watak seseorang.
Ada 3 pasangan calon pada Pilkada DKI kali ini, ada Agus Silvy, Ahok Djarot dan Anies Sandi. Masing-masing punya kelebihan dan kelemahan dalam bertutur kata. Dan tutur kata itu adalah sesuatu yang sesungguhnya menunjukkan karakter seseorang. Ada yang lupa dirinya lebih buruk dari yang dibicarakannya, ada juga yang merasa paling benar atas sederet kesalahan dan ketidakbermoralannya.
Sebut saja Anies Baswedan, dia adalah seorang pengajar pada awalnya. Namun nafsu dan hasrat pada kekuasaan telah membawanya pada politik. Anies kemudian merancang jalan untuk menuju kekuasaan dengan membentuk gerakan yang diberi nama Turun Tangan. Ini bagi saya aneh, karena seorang akademisi sejati pasti akan lebih mencintai dunia akademiknya dan melakukan perlawanan terhadap ketidak beresan pemerintah melalui jalur akademik atau melalui jalur kampus. Bukan kemudian meninggalkan jalur akademiknya dan menjadi politisi. Ini contoh seseorang yang berkarakter pecinta kekuasaan atau setidaknya watak seorang pemburu jabatan.
Anies Baswedan melalui gerakan Turun Tangan yang mana atas tawaran dari SBY Ketua Umum Partai Demokrat ikut konvensi Capres meski kemudian konvensi tersebut urung menghantarkan capres yang berlaga pada Pilpres 2014. Pada saat itu, Anies Baswedan demi kepentingan citra politiknya sering mengolok-olok blusukan yang dilakukan oleh Joko Widodo yang santer gencar akan menjadi Capres. Anies Baswedan menilai blusukan Jokowi merupakan pencitraan. Sebab, blusukan sifatnya hanya sekadar mendengarkan keluhan masyarakat tanpa memberikan solusi. “Saya gak mau pencitraan dengan blusukan. Bukan cuma mendengarkan tapi mengajak berubah. Blusukan itu hanya nonton masyarakat. Hanya hadir lalu kesannya sudah melakukan,” ujar Anies di Jakarta, Kamis (19/12). Namun kini Anies justru melakukan blusukan. Karakter aneh, mungkinkan ini kepribadian ganda demi politik? Berbahaya jika seseorang yang punya karakter ganda menjadi seorang pemimpin.
Pasca menyerang Jokowi, tidak butuh waktu lama, Anies kemudian menjadi pendukung Jokowi dan memuji Jokowi dengan segala puja-pujinya. Demi hasrat kekuasaan, Anies menjilat ludah yang sudah dibuang, kasarnya menelan kembali muntahan yang keluar dari mulut. Anies kemudian menyerang Prabowo Subianto dengan menyebutnya didukung para mafia. Seolah Prabowo menjadi gembong mafia karena mampu mengumpulkan dukungan para mafia. Anies Baswedan berubah diri dari akademisi menjadi politisi dadakan yang berkarakter lebih dari satu.
Lelucon politik Anies kemudian terus berlanjut. Pasca Anies dipecat Jokowi dari kursinya sebagai Menteri Pendidikan karena tidak mampu bekerja dengan baik atau setidaknya tidak mampu mengemban amanat jabatannya, Anies kemudian meloncat ke kubu Prabowo, capres 2014 dan Ketum Parta Gerindra yang dulu disebutnya didukung para mafia. Anies memuji Prabowo, minta maaf atas sebutan mafia demi sebuah kursi calon Gubernur. Semua demi kepentingan pribadi mengejar kekuasaan dan jabatan. Atas nama ekspektasi pribadi, Anies sungguh-sungguh melakukan retorika kata-kata dan bertingkah seperti orang santun dalam berpolitik.
Atas nama pencitraan, bahkan demi ekspektasi pribadinya, Anies tidak malu menyerang kepemimpinan SBY Presiden RI ke 6. Padahal SBY memberinya kehormatan untuk ikut konvensi capres 2014. Dan lebih memalukan lagi, Anies tidak sadar diri dalam kapasitas dan kemampuannya. SBY sukses 10 tahun menjaga kekuasaannya dan memimpin bangsa serta membawa bangsa keluar dari krisis ekonomi 2008 dan melunasi hutang ke IMF serta sederet keberhasilan lainnya. Sementara Anies, hanya mampu bertahan 1 tahun lebih jadi menteri tanpa prestasi apapun. *
Anies serampangan dalam membentuk citra politiknya. Anies sungguh tidak sebanding dengan SBY, Anies jauh berada dibawah kapasitas dan prestasi dibandingkan dengan SBY. Sehingga serangan ke SBY itu hanya mempermalukan diri sendiri saja karena kata-kata Anies tidak lebih dari sebuah retorika yang membodohi.
Melihat karakter Anies Baswedan tersebut, saya jadi bertanya-tanya. Apa target Anies di Indonesia ini hingga gemar loncat sana loncat sini, serang sana serang sini, puji sana puji sini, demi sebuah jalan menuju kekuasaan? Atas segala pertanyaan itu, sepertinya memang Anies hanya sedang membangun istana untuk dirinya. Bukan sedang membangun jalan menuju kebaikan Jakarta maupun bangsa. Andai Anies sungguh-sungguh ingin membangun jiwa masyarakat, maka dunia kampus yang ditinggalkanyalah tempat sesungguhnya membangun jiwa manusia, bukan panggung politik seperti sekarang, terlebih Anies sudah gagal membangun jiwa masyarakat saat menjadi Menteri Pendidikan.
Itulah Anies dengan segala karakter, watak dan reputasinya. Kesimpulan bagi kita, Anies hanya orang yang gagal pada masanya dan tidak layak lagi mengklaim diri berhasil dan merasa mampu memimpin Jakarta. Anies, kembalilah ke dunia Akademik, itu jalan terbaik membangun jiwa sendiri dan orang lain.
Bagaimana dengan Ahok? Kita bahas pada artikel selanjutnya.
Jakarta, 15 Januari 2017
Penulis: Ferdinand Hutahaean (Eks Relawan Jokowi)