[PORTAL-ISLAM] Seorang intelektual muslim keturunan Pakistan di Indonesia, Azam Khan, dalam bukunya ‘Peranan Pakistan dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia’, menuturkan tentang peranan tentara muslim Pakistan (India Muslim) dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia saat terjadinya agresi militer yang dilakukan tentara Inggris (Sekutu) yang bergabung dengan Belanda di bawah NICA, pada 1946-1948. Bahkan saat itu, Presiden Soekarno yang nyaris terbunuh berutang nyawa pada tentara muslim Pakistan.
Saat Jepang kalah dari Sekutu, maka wilayah yang dulunya dikuasai Jepang akan dikembalikan kepada koloni awal. Indonesia yang dulunya dijajah Belanda, maka akan dikembalikan ke Belanda. Tentara Inggris (sekutu) datang ke Indonesia dengan membawa prajurit-prajurit India (India saat itu adalah jajahan Inggris). Diantara prajurit-prajurit India itulah terdapat prajurit muslim (yang kelak akhirnya jadi Pakistan pasca memisahkan diri dari India).
Saat itu Presiden Soekarno dikepung serdadu NICA dalam suatu insiden yang sangat serius. Bung Karno hendak berkunjung ke rumah dokter R Soeharto di Jalan Kramat 128, Jakarta. Tiba-tiba serdadu-serdadu NICA mengurungnya. Si bung tidak dapat keluar dari mobil untuk masuk ke halaman rumah sahabatnya itu. Melihat hal tersebut, dokter R Soeharto menghubungi Tabib Sher di Senen Raya.
Pada saat itu di rumah Tabib Sher sedang berkumpul beberapa orang serdadu muslim India (muslim India = Pakistan) yang tergabung dalam NICA. Seketika pasukan Pakistan segera meluncur dan memerintahkan tentara NICA yang mengepung Soekarno agar menyingkir. Kedua serdadu sudah dalam posisi ‘steeling’ dan mengokang senjata. Posisi tentara Pakistan (India Muslim) itu lebih menguntungkan, karena mengepung pasukan NICA dari India non-Muslim. Pasukan India non-Muslim itu pun akhirnya keluar dari rumah dokter Soeharto. Nyawa Sukarno yang sudah di ujung tanduk itu, terselamatkan.
Bukan cuma Sukarno yang berutang budi. Bangsa ini juga berutang budi pada India Muslim yang kemudian mendirikan negara dengan nama Pakistan. Pada 1946-1948 itu, banyak disersi yang dilakukan tentara Pakistan yang dibawa oleh Inggris ke Indonesia. Utamanya untuk membantu melanggengkan penjajahan Belanda di Indonesia. Saat itu jumlah tentara Pakistan sekitar 600 serdadu yang bergabung dalam pasukan Sekutu.
Mereka membelot dan memihak pada pejuang kemerdekaan Indonesia. Dengan gigih, ikhlas atau atas panggilan kesamaan agama Islam, akhirnya bahu-membahu dengan pasukan Republik berjuang melawan kaum penjajah. Mereka turut bertempur antara lain di Surabaya, Medan, Bandung, Bukit Tinggi dan kota-kota lain. Pertempuran di kota-kota tersebut banyak menimbulkan korban dari pihak Belanda.
Pasukan Pakistan yang membelot ke tentara Indonesia membawa segala peralatan perang, mulai dari mesiu, sejumlah mobil jeep, truk sampai bahan kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian dan lain-lain. Tentara Inggris yang dibawa ke Indonesia untuk membantu Belanda terdiri dari pasukan tentara Ghurka India yang beragama Sikh, tentara Hindu India dan tentara Pakistan (Islam India).
Namun yang membelot dari tentara Inggris dan bergabung dengan tentara Indonesia hanyalah serdadu muslim dari Pakistan dan bersama-sama tentara Indonesia berjuang melawan tentara Belanda dan Inggris. Sedangkan tentara India yang beragama Hindu dan pasukan Gurkha yang beragama Sikh tetap bersama pasukan Belanda dan Inggris melawan pasukan Indonesia dan Pakistan.
Suatu hari, Ghulam Ali, serdadu India Muslim dari Brigade Infantri I Divisi India ke-23, dan kawan-kawannya berpatroli ke kampung-kampung Jakarta. Mereka mendapati rumah-rumah penduduk yang kosong. Penghuninya mengungsi ke luar Jakarta.
Seketika Ghulam Ali terharu begitu melihat tulisan bismillahirochmanirrohim di pintu rumah dan menemukan Alquran di dalam rumah-rumah penduduk. Belakangan, Ghulam Ali dan kawan-kawannya diberitahu orang-orang India Muslim yang telah lama tinggal di Indonesia bahwa sebagian besar penduduk Indonesia adalah Muslim.
“Di situlah awal-mula mereka desersi (membelot dari tentara Sekutu). Mereka berbalik bukan membantu tentara Inggris melucuti tentara Jepang, tapi bergabung dengan tentara Indonesia,” kata Firdaus Syam, dosen Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta. Firdaus Syam juga penulis buku 'Peranan Pakistan di Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia'.
Komunitas India yang tergabung dalam Himpunan Keluarga (HK) memainkan peranan dalam pembelotan tentara-tentara itu. “Bagi mereka haram untuk memerangi saudara sendiri dalam konteks seiman Islam. Hal ini beberapa kali dipertegas ketua HK,” kata Yuanita Aprilandini, dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta yang menulis tesis tentang diaspora India.
Karena sentimen agama pula, seorang serdadu India Muslim desersi karena laporan yang didengar dan dipercayainya bahwa pasukan India non-Muslim membakar sepuluh Alquran dan menghancurkan sebuah masjid. Dia berpikir agamanya telah dihina dan memutuskan untuk memperjuangkan Islam.
Sentimen agama menjadi senjata ampuh bagi pejuang Indonesia untuk membujuk tentara India muslim membelot dari pasukannya. Caranya dengan melancarkan propaganda Pan-Islam (persaudaraan sesama Muslim). Menurut Richard McMillan dalam The British Occupation of Indonesia 1945-1946, propaganda 'Peraudaraan Islam' (Ukhuwah Islamiah) itu dilakukan dalam berbagai bentuk. Saat Brigade Infantri India Ke-49 menghadapi cobaan berat di Surabaya, pejuang Indonesia menyerukan melalui pengeras suara agar umat Islam bersatu mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Terkadang pejuang Indonesia mengajak tentara India Muslim yang tertangkap untuk berjuang atas dasar perasaan keagamaan.
Propaganda Pan-Islam menjadi masalah yang dicemaskan para komandan pasukan Inggris. Kendati sebagian besar tentara India yang bertugas di Indonesia adalah Hindu, ada sejumlah tentara India Muslim yang dikelompokkan dalam kompi-kompi.
Selain itu juga adanya imbauan para pemimpin Indonesia saat itu, yang mampu mengetuk hati pemimpin Pakistan Mochamad Ali Jinnah. Ia merupakan Presiden pertama Pakistan yang menyampaikan protes atas kekejaman kolonial Belanda dan Inggris terhadap Indonesia. Ia mengimbau seluruh umat Islam dunia untuk membantu perjuangan kemerdekaan RI.
Atas jasanya yang luar biasa, pada Desember 1996, Presiden Soeharto memberikan Bintang Adi Purna, bintang RI kelas satu kepada almarhum Mochamad Ali Jinnah. Ia dianggap luar biasa berjasa terhadap negara dan bangsa Indonesia. Jasa lain dari Ali Jinnah adalah mengeluarkan perintah menahan sejumlah pesawat Belanda dan Inggris. Pesawat itu bermuatan senjata yang akan dibawa ke Jakarta, akhir 1947. Persenjataan ini untuk mendukung kegiatan agresi Police Action. Police Action adalah tindakan agresi yang dilakukan tentara sekutu Inggris membantu tentara Belanda untuk kembali menjajah Indonesia yang telah merdeka.
Demikian sekilas peranan Tentara Islam dari India Muslim (Pakistan) yang turut menyelamatkan nyawa Soekarno, dan membantu rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan RI dari agresi Belanda/Inggris/Sekutu.
Catatan sejarah ini membuktikan "ikatan iman" "ikatan Islam" yang berperan penting dalam perjuangan Indonesia.
Makanya kalau sekaranga ada tokoh yang berpidato mencoba mencerabut "akar iman" "akar Islam", memprovokasi dengan sebutan "kelompok radikal" "penganut ideologi tertutup" "peramal masa depan", sesungguhnya dia lupa dengan sejarah bangsanya sendiri.
Sekali lagi, jangan sekali-kali lupa dengan sejarah. Seperti yang diwasiatkan Bung Karno.
Bahkan karena sejarah itulah, Presiden Soekarno saatg terjadinya konflik India-Pakistan, Sukarno jelas-jelas mendukung Pakistan dibandingkan mendukung India saat perang kedua negara pada 1965 lalu. "Utang nyawa dan solidaritas Muslim!" Begitu alasan Bung Karno untuk mendukung Pakistan (muslim) dibandingkan mendukung India.
JAS MERAH !!!
JANGAN SEKALI KALI MELUPAKAN SEJARAH.
___
Sumber: Republika, Historia, Wikipedia, Dll