[portalpiyungan.co] Rumah susun (rusun) selalu dikampanyekan sebagai solusi utama bagi korban penggusuran paksa yang marak dilakukan pada empat periode pemerintahan Provinsi DKI Jakarta.
Namun, hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta beberapa waktu lalu justru menemukan bahwa hanya segelintir warga korban penggusuran yang mendapatkan solusi tersebut.
“Bahkan, banyak di antara mereka yang tidak mendapatkan solusi sama sekali setelah mereka pindah ke rusun,” ujar staf LBH Jakarta, Alldo Fellix Januardy, Rabu, 21 Desember 2016.
Berdasarkan hasil penelitian lembaganya, proses pemindahan warga ke rusun kerap tidak disertai dengan musyawarah dan dialog yang seimbang. Tidak hanya itu, warga yang menjadi korban penggusuran juga kerap mendapat intimidasi dari aparat berseragam seperti TNI dan Polri.
Survei pada penelitian ini dilaksanakan terhadap 250 orang penghuni rusun dengan karakteristik kepala keluarga (orang yang menjadi pencari nafkah utama di dalam keluarga, baik laki-laki ataupun perempuan). Para informan juga merupakan korban penggusuran paksa sebelum menjadi penghuni rusun.
Survei dilakukan pada kurun waktu 9 April 2016 sampai dengan 17 April 2016. Survei dilakukan di 18 rusun sederhana sewa (rusunawa) yang dihuni oleh korban penggusuran paksa di wilayah DKI Jakarta.
Berdasarkan hasil wawancara LBH terhadap para korban penggusuran yang kini menjadi penghuni rusun di Jakarta, ditemukan bahwa sebagian besar laki-laki di dalam keluarga kehilangan pekerjaannya pascapenggusuran. Banyak pula warga mengaku terpaksa bergantung kepada pasangan perempuannya yang sebelumnya sebagian besar tidak bekerja, tetapi sekarang bekerja demi untuk menutupi kebutuhan rumah tangga.
Berdasarkan hasil survei LBH Jakarta, terdapat penurunan jumlah warga yang bekerja tetap, yaitu pada angka 33,4 persen sebelum digusur menjadi 29,3 persen setelah menghuni rusun. Hal yang sama terjadi pada kelompok warga pekerja tidak tetap yang semula berjumlah 58,4 persen menjadi 57,3 persen.
“Menurut hasil penelitian kami, perubahan ini terjadi karena adanya warga yang kehilangan pekerjaan dan berubah statusnya menjadi tidak bekerja setelah menghuni rusun. Sebelum digusur, jumlah warga yang tidak bekerja hanya 8,2 persen. Namun, angka itu kemudian meningkat menjadi 13,5 persen setelah mereka menghuni rumah susun,” ujar Alldo.
Hasil survei LBH juga menunjukkan bahwa warga mengalami penurunan pendapatan ketika mereka dipindahkan dari rumah lama ke rusun. Pada kategori penghasilan Rp 0 – Rp 1,1 juta yang semula berjumlah 16,7 persen menjadi 18,9 persen warga. Pada kategori pengasilan Rp 1,1 juta – Rp 2,1 juta yang semula berjumlah 25,2 persen menjadi 25,6 persen warga.
Selanjutnya, pada kategori penghasilan Rp 3,1 juta – Rp 4,1 juta yang semula berjumlah 29,3 persen kini menjadi 22,8 persen warga. Pada kategori penghasilan Rp 4,1 juta – Rp 5,1 juta yang semula 3,7 persen menjadi 3,5 persen. Sementara, pada kategori penghasilan di atas Rp 5,1 juta yang semula berjumlah 1,5 persen kini menjadi 0,9 persen.
“Survei kami juga menunjukkan bahwa sedikitnya 72,8 persen warga penghuni rusun ternyata memiliki pendapatan di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta Tahun 2016 (penghasilan di bawah Rp 3,1 juta). Angka ini meningkat dari semula yang berjumlah 65,5 persen sebelum mereka digusur,” kata Alldo lagi.
Sementara Dandhy Dwi Laksono, jurnalis yang banyak mengawal berbagai proses pengambilalihan lahan warga secara paksa oleh pemerintah, memaparkan bahwa pengeluaran warga meningkat 300% setelah dipindahkan ke rumah susun.
65% korban gusuran menganggap rusun bukan pengganti yg layak atas kampung mrk yg diratakan. Hasil riset selengkapnya https://t.co/cbbMttjCx4— Dandhy Laksono (@Dandhy_Laksono) December 21, 2016
Penelitian @LBH_Jakarta di 18 rusun terhadap 250 KK ini menguatkan bukti bahwa penggusuran adalah pemiskinan. https://t.co/cbbMttBdoC— Dandhy Laksono (@Dandhy_Laksono) December 21, 2016
Sama-sama mensurvei penggusuran & rusun, LSI bertanya ke masyarakat umum (yg tak digusur), @LBH_Jakarta mensigi yg merasakan langsung.— Dandhy Laksono (@Dandhy_Laksono) December 21, 2016
Laporan lengkap LBH bisa diunduh di sini.47% korban gusuran telah bermukim lebih 20 tahun. Menurut UU, pemerintah harus melegalisasi hunian mereka, bukan menggusurnya. @LBH_Jakarta pic.twitter.com/ewxSJji8lV— Dandhy Laksono (@Dandhy_Laksono) December 21, 2016
Penulis: Ahmad Islamy J.