[portalpiyungan.info] Setelah Aksi Bela Islam 1410 dan 411 seluruh tema perbincangan publik baik di media maupun di tempat lain dipenuhi oleh tema-tema "Bhinneka Tunggal Ika", "Persatuan", "Nasionalisme", "Pancasila", "NKRI", "Nusantara", "Toleransi". Juga ada tema pembicaraan seperti "Kelompok Intoleran", "ISIS", "Radikalisme". Yang terbaru adalah tema tentang "Makar".
Puncak dari pembicaraan dengan seluruh tema tersebut adalah hari pertama setelah peristiwa 411 hingga hari-hari terakhir menjelang Aksi Bela Islam III atau Aksi 212. Hampir sebulan ini isi kepala kita dipenuhi oleh perdebatan, rasa penasaran, bahkan emosi yang meletup-letup karena membaca berbagai berita yang bersinggungan dengan tema tersebut.
Tak cuma jadi tema diskusi. Seluruh tema diatas, maujud juga dalam tema aksi. Mulai dari aksi dan manuver Presiden, hingga aksi massa. Presiden sampai hari kemarin (29/11) masih melakukan manuver menerima kunjungan Ketua partai politik, setelah sebelumnya menyambangi Mako Brimob, Markas Kopassus, silaturahmi dengan ormas Islam, dan seterusnya dan seterusnya.
Pengerahan massa juga melibatkan tema-tema diatas. Dari aksi "Bhinneka Tunggal Ika" yang digagas kebanyakan oleh Tim Sukses Ahok dan dilaksanakan pada tanggal 19 November lalu diulangi pada tanggal 20 November karena di tanggal 19 November kurang ramai, karena dihadiri oleh hanya ratusan peserta. Juga Apel Akbar secara nasional dengan melibatkan pemerintah daerah; dengan tema "Nusantara Bersatu".
Pertanyaannya, apakah kemudian dengan seluruh kegaduhan sejak pertengahan Oktober hingga awal Desember ini, merugikan kita sebagai sebuah bangsa ?. Apakah tema-tema diatas justru menggerus rekat kebangsaan kita karena di lapangan kita terbelah dalam dua kubu; pembela Ahok (dengan prosentase yang berbeda-beda) dan penuntut keadilan atas penistaan yang dilakukan Ahok ? Apakah kemudian, kita sebagai bangsa, menjadi terlihat tidak produktif karena membicarakan satu orang bernama Ahok dengan sudut pandang positif maupun negatif secara terus menerus ?
Saya melihat, bahwa seluruh rangkaian peristiwa sejak Oktober hingga awal Desember ini, memiliki makna yang begitu dalam. Seluruh peristiwa nasional ini, tidak lagi dianggap sebagai reaksi massa an sich. Tapi inilah momentum kolosal untuk melakukan apa yang kita sebut sebagai "Prosesi Reinventing Indonesia".
Reinventing Indonesia adalah proses menemukan kembali Indonesia dengan seluruh nilai kebangsaan yang dimilikinya. Kita tidak pernah membayangkan, bahwa pada akhirnya, tuntutan ummat Islam agar Ahok dipenjara karena telah menistakan kitab suci agama lain, kemudian menjadi pintu pembuka banyak pembicaraan tentang "bangkitnya kelompok intoleran yang ingin merongrong NKRI", atau malah "kisah mafia ekonomi Cina yang menjadikan seseorang sebagai proxy dari penjajahan ekonomi di negara kita".
Kasus Ahok yang awalnya penistaan agama, menjadi pembuka kotak pandora tentang cerita konspirasi masuknya kekuatan asing yang akan menjadikan Indonesia sebagai medan pertarungan ekonomi baru. Di satu sisi, berbagai fakta terkuak yang mendukung cerita-cerita tersebut. Di sisi lainnya, kasus Ahok menjadi semacam pemantik kesadaran kita sebagai sebuah bangsa tentang ancaman serius asing pada bangsa ini.
Momentum ini, hanya kita dapati ketika awal-awal kemerdekaan 1945. Atau ketika Indonesia sedang berada di posisi genting di tahun 1965. Atau ketika kerusuhan sosial menjalar pada awal-awal masuknya asing ke Indonesia, misalnya di 1978. Mungkin ada peristiwa perenungan tentang Indonesia di peringatan Kemerdekaan RI. Tapi tidak sedalam peristiwa dua bulan ini.
Ini adalah fase sejarah yang mewah yang harus kita jalani. Karena dengan seluruh rangkaian peristiwa ini, kita seperti dituntun sejarah untuk menyadari kembali tentang Indonesia kita.
Reinventing Indonesia juga adalah fase merenungi capaian bangsa kita setelah berpuluh tahun merdeka dan bersungguh-sungguh ingin menjadi negara yang demokratis, adil dan makmur. Sebagai negara yang sedang tumbuh dalam suasana demokratis, maka prasyarat demokrasi seperti penegakan hukum, menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, melakukan reformasi birokrasi, memangkas habis korupsi dan nepotisme adalah tahapan untuk menuju Indonesia yang ideal.
Tapi peristiwa penistaan Ahok, seperti parade yang mempertontonkan kita semua pada perenungan tentang capaian Indonesia menuju negara yang demokratis, adil dan makmur seperti yang kita cita-citakan bersama. Bayangkan saja, selama sebulan ini, jutaan pasang mata rakyat kita seperti dipertontonkan kekonyolan yang menjadi bahan tertawaan di pembicaraan publik; tentang tumpulnya hukum; pembangunan ibukota yang berpihak kepada pemilik modal dan menghabisi kaum pinggiran; pelaksanaan birokrasi yang amburadul; hingga ketoprak nepotisme yang membuat rakyat tertawa sekaligus masygul. Tapi inilah pelajaran penting kita sebagai bangsa. Bahwa nilai hakiki kebangsaan kita begitulah adanya.
Reinventing Indonesia bisa juga berarti memperbaharui kembali pengertian hakiki tentang Indonesia sebagai sebuah bangsa. Para pendahulu bangsa kita telah menetapkan dengan dalam tentang apa itu NKRI, apa itu kemerdekaan, apa itu falsafah hidup dan ideologi bangsa bernama Pancasila, apa itu UUD 1945, apa itu Trisakti sebagai cita-cita besar dan kemauan bangsa kita.
Mendadak saja, semua ingatan kita seperti diputar ulang tentang semua itu karena peristiwa Ahok. Lalu cerita hari-hari kita bergeser dari sekedar tuntutan hukum, menjadi perbincangan tentang bagaimana merumuskan regulasi atau kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan sekaligus kedaulatan ekonomi. Perbincangan kita juga dipenuhi dengan pikiran tentang bagaiman keputusan politik Presiden yang merdeka dari segala intervensi. Perbincangan kita dipenuhi oleh pikiran mulia untuk membentengi budaya Indonesia dari pengaruh budaya luar yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.
Perbincangan kita juga menjadi lebih luas spektrumnya dalam mempertanyakan eksistensi Pancasila dan UUD 1945 dalam menjawab tantangan dan masalah bangsa dan negara Indonesia yang begitu kompleks. Pertanyaan kita menjadi lebih luas; mampukah kita bertahan ditengah goncangan peradaban dan ekspansi ekonomi negara besar yang menggilas seluruhnya.
Dan akhirnya, reinventing Indonesia adalah ikhtiar kolektif kita untuk menentukan jalan bersama masa depan Indonesia. Peristiwa penistaan kitab suci agama Islam oleh Ahok, adalah momentum kita untuk merenungi kembali; masa depan seperti apa yang akan rengkuh secara kolektif sebagai bangsa. Apakah di masa depan, kita akan mampu hidup seribu tahun lamanya. Ikhtiar menemukan Indonesia dalam Aksi Bela Islam dan aksi lain yang mengiringinya adalah ikhtiar kita bersama untuk secara kolosal merenungi dengan khusyuk, berdo'a yang terbaik bagi masa depan bangsa kita.
Jadi, biarkanlah semua bergerak. Kita akan bertemu di satu titik ketika kesadaran akan masa depan bangsa ini pasti bertemu. Mari kita berjalan dan bergandengan bersama. Yang telah mengabdikan hidupnya untuk kepentingan bangsa lain dan berusaha memecah-belah Indonesia pasti akan tersingkir dengan sendirinya.
(Bambang Prayitno)
__
Sumber: TS