[portalpiyungan.co] Presiden Joko Widodo masih mengabaikan perintah Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 83. Sebab, Jokowi belum juga memberhentikan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Sesuai Pasal 83 UU tentang Pemda, kepala daerah yang sudah sah secara hukum berstatus terdakwa harus diberhentikan sementara. Untuk gubernur atau wagub diberhentikan oleh presiden, bupati atau wabup dan wali kota atau wakil wali kota diberhentikan oleh menteri dalam negeri.
Sikap Jokowi dan jajarannya ini akhirnya menuai kritik dari berbagai kalangan.
Salah satu yang memberi perhatian serius terkait pelanggaran UU oleh Jokowi ini adalah ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia, Dr.Mudzakir.
Dr. Mudzakir menilai, pemerintah seolah membohongi dirinya sendiri, dengan tidak memberhentikan Ahok.
“Kalau dia mau jujur, pada saat sudah sidang kan terdakwa, maka harus diproses administrasinya. Kan disitu jelas sekali, mereka yang jadi tersangka atau terdakwa harus diberhentikan,” kata Mudzakir saat diminta menanggapi kasus Ahok, Kamis, 22 Desember 2016.
Menurut Mudzakir, pemerintah, dalam hal ini Presiden dan Kemendagri seperti tidak berterima kasih kepada UU. Sebab pada prinsipnya, pemberhentian itu dimaksudkan agar si Kepala Daerah bisa fokus menghadapi proses hukum, tanpa harus dipusingkan dengan urusan pemerintahan.
Sikap yang sekarang ditunjukkan, lanjut Mudzakir justru bisa menjadi bumerang yang pastinya akan berimbas buruk terhadap citra, bahkan terhadap komitmen Jokowi dan jajarannya dalam penegakan hukum di tanah air.
“Ya begitu jadi terdakwa yang berhenti dulu, konsentrasi terhadap perkaranya. Kalau sampai sekarang dibiarkan, menurut saya menjadi preseden yang kurang bagus,” sindirnya.
Seperti diketahui, saat ini Ahok telah resmi menjadi terdakwa kasus dugaan penistaan agama. Sidangnya pun sudah berjalan sejak dua pekan yang lalu, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, di Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat.
Ahok didakwa menistakan agama Islam, dan dijerat dengan Pasal 156a KUHPidana, yang ancaman hukumannya paling lama selama lima tahun penjara.
Penulis: M. Zhaky Kusumo