"Negara Pada Era Surat Al-Baqarah" (Maiyahan Cak Nun)


Negara Pada Era Surat Al-Baqarah
(Catatan Sinau Bareng Harlah LP Nurul Islam, Pongangan Manyar Gresik 8 Desember 2016)

Ada Jawi dan ada Jawa. Jawi menunjuk pada Jawa yang tua dengan peradabannya yang tinggi. Dahulu tidak ada negara. Tetapi bukan berarti tidak ada kekhalifahan. Bentuk kekhalifahan saat itu adalah kerajaan-kerajaan.

Sebutlah misalnya Majapahit. Kerajaan ini bersifat persemakmuran dengan perdikan-perdikan, bukan provinsi atau kabupaten seperti sekarang. Dengan kerajaan, orang-orang zaman dahulu mengkhalifahi nusantara. Perdikan-perdikan pada masa Majapahit itu memiliki kenikmatannya sendiri. Mereka hanya berkoordinasi dengan Majapahit pada saat Kendi Emas digelar oleh Hayam Wuruk dan Gadjah Mada 35 hari sekali. Mereka berkumpul, berembug, dan berkoordinasi pada kesempatan reguler itu. Tidak ada struktur yang sentralistik, ketat, dan dominatif.

Kemudian memasuki era Demak yang juga masih persemakmuran, bergerak selanjutnya ke Pajang yang merupakan transisi menuju Mataram yang kelak melahirkan Mataram Solo dan Yogyakarta. Semenjak memasuki era Mataram ini, telah terjadi pindah hakikat yang jauh. Sudah mengarah kepada sistem sentralistik. Sejak itu pula terjadi perang atau perlawanan. Adipati Pragola dan Ki Ageng Mangir melawan praktik pemusatan kekuasaan yang harus disertai dengan ketundukan. Sudah tak ada lagi perdikan-perdikan saat itu. Sudah tak ada lagi semangat “Maiyahan” yang wujudnya adalah nikmat berbagi, berperdikan.

Mataram ditopang olah dua ciri kala itu, yaitu mengacu kepada Nyi Roro Kidul dalam wacana spiritualnya dan kekuasaan negara kesatuan dalam sistem pemerintahannya. Sejarah lalu berjalan dan datanglah era penjajahan kolonial. Dan sesudah melewati tiga setengah abad masa penjajahan itu, lahirlah negara Indonesia. Sifatnya tetap negara, bukan kerajaan seperti dahulu. Waktu sudah bergulir begitu jauh meninggalkan era kerajaan. Sampai titik ini ada dua hal setidaknya perlu dicatat.

Pertama, dengan kompleks persoalan yang dihadapi negara, kelak akan sampai pada urgensi di mana kita perlu kembali kepada Maiyah, kebersamaan, keberbagian, dan perdikan yang akan menyifati tata hubungan dan tata kelola kenegaraan dan kebangsaan kita (Maiyah, bahasa arab = bersama/kebersamaan -red). Posisi kita saat ini adalah berada pada dilema yaitu tidak bisa atau tidak mampu meneruskan yang lama dan pada saat sama karenanya membuat yang baru tapi tidak tepat. Dan dari ketidaktepatan itulah, penjajahan, perampokan, dan penghancuran atas bangsa kita masih terus dan makin sistematis berlangsung.

Kedua, untuk menjaga agar kesadaran dan pemahaman tidak salah, kita perlu bertanya untuk memilah manakah yang lebih tua, bangsa Indonesia atau NKRI. Roh Indonesia lahir pada 1928, dan jasad Indonesia lahir pada 1945. Dengan melihat sejarahnya jauh ke belakang, bangsa Indonesia lebih tua dari negara Indonesia. Ini cara pandang agar kita tidak salah melihat koordinat titik-titik refleksi di dalam sejarah kita sebagai bangsa Indonesia. Dalam konteks inilah, kita juga bisa mensimulasi pertanyaan “manakah yang lebih dahulu lahir antara dirimu dan Islam”.


Itulah beberapa alur dan aliran pemikiran yang disampaikan Cak Nun kepada para jamaah dan hadirin sesudah KiaiKanjeng mengajak mereka melantunkan Shalawat Nariyah. Kemudian Cak Nun menguraikan dengan pelan-pelan dan sedikit demi sedikit ihwal pertanyaan manakah yang lebih dulu antara diri kita dengan Islam, sebagaimana dalam beberapa Maiyahan belakangan di beberapa tempat sudah diterangkan. Ini pertanyaan yang kompleks, sehingga perlu ketelatetan pada setiap tahapnya.

Intinya, secara hakikat, penciptaan, dan nilai kehidupan, Islam lahir lebih dahulu dibanding manusia. Ia sudah ada sejak di lauhil mahfudh. Namun, sebagai kesadaran pada diri manusia, Islam baru lahirnya padanya ketika ia pada usia tertentu mulai menyadari adanya Islam. Sebelum ia sadar, ia sudah terlahir dulu di muka bumi. Fakta kelahirannya mendahului fakta kesadarannya akan Islam. Nah, lahir di bumi itulah yang secara spesifik perlu ditunjuk. Di bumi manakah, dan apakah ia bisa memilih tempat lahirnya. Jika seperti itu, maka di mana dia lahir itu adalah takdir dan perintah Allah. Jika Allah mengatakan manusia dilahirkan di muka bumi untuk menjadi khalifatullah, maka jika dia lahir di bumi Indonesia, dijadikan sebagai orang Indonesia, maka dia adalah khalifah di Indonesia. Dan itu wajib hukumnya. Sehingga Indonesia adalah rumah besarnya.

Apa hubungannya dengan surat al-Baqarah? Cak Nun secara simbolik semiotik mengatakan bahwa rumah besar Indonesia itu sedang dipimpin oleh kekuatan atau kelompok yang secara perlambang sama dengan nama surat itu yaitu al-Baqarah yang secara harfiah berarti sapi. Kondisinya makin berat saat ini, karena penjajahan yang berlangsung atas rumah besar Indonesia tak hanya dari Barat tetapi juga dari Utara. Bangsa kita yang dianugerahi kekayaan alam luar biasa menjadi incaran untuk dijarah dan dirampok. Cak Nun lalu sekilas menguraikan penjajahan atas Indonesia yang merupakan target berikut sesudah Arab Spring dan Balkanisasi. Kedua proyek itu sudah selesai, dan kini giliran Indonesia.

“Harapan saya cuma rakyat, cuma kepada anak-anak muda di depan saya ini. Kalian harus tangguh, disiplin, sregep, dan jangan kalah manajemen diri dengan yang njajah NKRI. Masa depan NKRI ada di tangan kalian,” tegas Cak Nun kepada seluruh masyarakat yang memenuhi lapangan desa ini, khususnya para generasi muda. Sesudah itu, mereka diminta berdiri semua untuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Syukur. (hm/adn)

Sumber: caknun.com


Baca juga :