MUI Dikritik, Umat Islam Dibidik


Bagaimana MUI Dikritik dan Umat Islam Dibidik?

Oleh: DR Iswandi Syahputra
(Pengamat Media UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

(1) Pertama, mulai dari dosen senior, bintang film senior hingga grup band senior angkat bicara soal fatwa MUI. Mulai dari membidiknya dari filsafat hingga mengandaikan bagaimana jika ada yang mengharamkan MUI. Sayangnya, menurut saya tidak satupun dari pengkritik itu memiliki kompetensi ilmu dan akhlak untuk dapat mengkritik MUI.

(2) Kedua, terkesan diam-diam sejumlah pihak yang dinilai strategis mulai dilucuti keberanian dan keberpihakannya pada umat muslim. Dikabarkan, pengusaha bis NPM di Sumatera Barat yang membawa peserta ikut aksi 212 dipanggil aparat untuk diperiksa. Kabar lain, seorang wartawan di Solo juga demikian.

(3) Ketiga, seorang Habib yang dikenal cukup keras mendukung Aksi Bela Islam dilaporkan ke aparat.

(4) Keempat, mungkin saja ini kebetulan, di saat yang bersamaan sejumlah orang yang diduga teroris ditangkapi.

Keping peristiwa itu seperti potongan puzzle. Harus pelan, teliti dan hati-hati menyusunnya. Kita bisa mulai menganalisanya dari asumsi bahwa walau berbeda, empat hal tersebut hanya terkait atau melibatkan satu hal: UMAT ISLAM. Kesimpulan sementara ini sangat mendasar untuk masuk pada analisis berikutnya:

Pertama, rangkaian itu muncul sekitar peristiwa Aksi Bela Islam 212. Ini artinya, aksi 212 dinilai sangat penting dan mungkin juga berbahaya. Sebab, tidak mudah dan tidak murah mengumpulkan jutaan orang dari segala penjuru Indonesia tanpa biaya. Hebatnya, aksi tersebut lancar jaya, damai sejahtera, aman sentosa. Mengagumkan, tapi bisa menjadi ‘ancaman’ jika itu ditafsirkan sebagai sel tidur kebangkitan gerakan umat Islam Indonesia.

Kedua, siapa saja punya hak melakukan kritik dan analisis terhadap situasi apapun, termasuk MUI. Masalahnya, kritik yang baik juga harus disertai metode bahkan keanggunan moral pengkritik. Metode kritiknya bagus, tapi pengkritiknya tidak bermoral, bisa batal. Mengkritik agamawan tapi tidak agamis, begitulah kira-kira. Mengkritik pelayanan pemerintah buruk, tapi tidak membayar pajak, begitulah perbandingannya.

Jika metode kritiknya lemah, atau pengkritiknya cacat moral, atau bisa keduanya tapi tetap bernafsu mengkritik, ini dapat diduga merupakan kelompok yang memilki kepentingan. Bisa jadi proyek riset, konser, atau kompensasi lainnya. Jika tidak, bisa jadi ini bagian dari kelompok yang dalam mata kuliah Public Opinion yang saya ampu disebut sebagai kelompok ‘Attentive Public’. Yaitu kelompok yang penuh perhatian, mengetahui ‘permainan’, dan sengaja masuk menjadi salah satu bagian ‘pemain’ dalam sebuah ‘permainan’. Ini semua cuma game, permaianan belaka.

Bagi saya sendiri, ini seperti permainan tarik tambang. Ada dua kekuatan yang masing-masing saling tarik menarik. Satu kekuatan itu dipastikan adalah umat Islam. Jika sebuah kekuatan menarik terlalu jauh, tanpa ada tarikan balasan, dipastikan tali tambang akan lepas.

Pada saat itulah dapat saja Aksi 212 didefenisikan menjadi subversif. Dan tidak menutup kemungkinan seluruh alumninya diburu sebagai pelaku subversif. Jika ini yang terjadi, akan mengarah ke disintegrasi bangsa. Dan dapat saja inilah tujuan akhir yang mungkin diinginkan pihak asing yang tidak ingin Indonesia berdaulat.

Sebab, sekali lagi, bagaimanapun, Aksi 212 membikin gemetar siapa saja yang berakal waras dan berhati sehat. Tidak mudah dan tidak murah mengumpulkan jutaan orang dari segala penjuru Indonesia tanpa biaya (tanpa dibayar). Hebatnya, aksi tersebut lancar jaya, damai sejahtera, aman sentosa.

Karena itu pula seharusnya sedari awal disadari tidak mudah dan tidak murah pula membungkam dan meredam semangat Aksi 212 tersebut.

Siapa saja seharusnya dapat dengan jernih melihat akar dan dasar persoalannya. Aksi 212 panggilan hati, murni soal hati yang menuntut keadilan bagi orang yang dianggap menista Kitab Suci. Adili saja seadil-adilnya, selesai.

Bagaimana dengan fatwa MUI? Saya lulusan Fakultas Syari’ah, sedikit banyak punya kompetensi keilmuan untuk mengkritik fatwa MUI. Tapi saya tidak kuat, malu sekali rasanya mengkritik ulama yang saya hormati itu karena dua alasan saja:

Pertama, saya tidak punya legitimasi moral dan akhlak untuk mengkritik fatwa ulama saya. Sholat subuh masih sering terlambat, membaca kitab suci cuma sesaat, jarang puasa sunat, sodaqah juga bila ingat, apalagi saya tidak punya ilmu agama yang hebat. Saya khawatir jika mengkritik ulama, jangan-jangan saya masuk dalam kelompok orang yang sesat…

Kedua, sebagai peneliti media sosial dan agama, beberapa ulama itu pernah menjadi narasumber saya. Sedikit banyak saya tau akhlak dan wawasan asli keilmuan mereka.

Subhanallah… Akhlak mereka tidak semurah yang kita kira, dan ilmu mereka tidak serendah yang kita duga. Mereka juga belajar soal HAM, Demokrasi, Civil Society, Gender, Liberalisme, Marxisme, Politik dsb dalam perspektif yang tidak bisa kita duga tapi patut kita hargai. Bahkan, asal tau saja ya… Beberapa dari ulama tersebut juga belajar IT, mereka tau jika HP atau email mereka lagi disadap dan mereka punya tim ahli anti sadap.

Jadi khusus soal fatwa MUI ini, kita sederhanakan saja seperti fatwa haram merokok atau fatwa sah atau tidak sah sholat Jum’at di jalan raya. Mau diterima dan dijalankan silahkan, mau ditolak silahkan. Dan harus diingat juga, fatwa ini hanya untuk umat Islam.

Bagi yang tidak setuju dengan fatwa MUI, ya jangan diikuti. Atau kalau mau lebih cerdas, mintalah ulama lain berijtihad membuat fatwa lain. Tentu umat Islam akan senang, selain menjadi opsional, sebab salah atau benar sebuah ijtihad akan mendapat pahala. Iya miriplah dalam penetapan 1 Ramadan atau 1 Syawal. Ulama kita lebih demokratis dari pada semua pemuja demokrasi. Tiap tahun setidaknya rutin 3 kali kalangan ulama berbeda pendapat dalam hal menetapkan 1 Ramadan (awal Puasa), awal 1 Syawal (Idul Fithri) dan awal 10 Dzulhijjah (Idul Adha). Tapi mereka tetap saling menghormati. Karena mereka berilmu dan berakhlak.

Maka sebaiknya bagi yang berbeda dengan fatwa MUI, tidak perlu sampai membunuh karakter para ulama dengan berbagai stigma negatif. Bagi yang belajar Islam dengan baik pasti paham, bahwa Ulama adalah pewaris para Nabi. (ROL)


Baca juga :