"MENCERMATI EKSEPSI PENASIHAT HUKUM AHOK"


"MENCERMATI EKSEPSI PENASIHAT HUKUM AHOK"

Oleh: DR. H. Abdul Choir Ramadhan SH MH
(Komisi Hukum MUI)

1. Eksepsi tidak fokus, lebih ke arah pembelaan (Pledoi). Sangat sedikit menguraikan tentang adanya Dakwaan Penuntut Umum yang kabur (obscur libel) dll sebagai syarat Eksepsi.

2. Ahok menyatakan tidak ada niat (mens rea) dan tidak bermaksud untuk menista agama. Dia maksudkan kepada lawan-lawan politiknya yang tidak bisa bersaing dalam program. Hal ini tidak sesuai. Bukankah pada tanggal tersebut belum masuk waktu kampanye dan bahkan belum ditetapkan Calon oleh KPUD?

3. Dia juga nyatakan telah menanyakan tentang Asbabun Nuzul kepada teman-temannya tentang maksud Al Maidah: 51. Hal ini tidak dapat dibenarkan, dia tidak ada legal standing untuk menjelaskan surah Al Maidah 51 karena ia tidak mengimani Al Quran dan dia bukan beragama Islam, sehingga bagaimana mungkin dia dapat mengetahui makna yang sebenarnya.

4. Penasihat Hukum tidak relevan dengan menyebut video yang diunggah oleh Buni Yuni, karena sudah dilakukan Uji Labfor oleh Penyidik dan hasilnya Sah sebagai Barang Bukti.

5. Penasihat Hukum tidak relevan mengaitkan Aksi Bela Islam dengan tuntutan keadilan dalam proses Penegakan Hukum. Adalah Sah dan dijamin UU setiap warga negara menyampaikan pendapat dan menuntut keadilan.

6. Cepatnya proses Penyidikan dan Pelimpahan ke Pengadilan Negeri tidaklah menyalahi Hukum Acara Pidana. Tahapan Penyelidikan sampai dengan Gelar Perkara sudah memenuhi ketentuan. Penetapan Tersangka juga sudah sesuai dengan Hukum Acara, dengan didahului oleh adanya 2 Alat Bukti yang Sah serta sudah dilakukan Gelar Perkara Penyidikan seusai Gelar Perkara Penyelidikan.

7. Penasihat Hukum menyatakan bahwa harus diterapkan prinsip Ultimum Remedium. Penasihat Hukum telah salah mengaitkan asas ini, terlebih lagi dikaitkan dengan SKB dalam penerapan Pasal 156a huruf a KUHP. Apalagi disebut Pasal 156a adalah Delik Materil. Perlu diketahui prinsip Ultimum Remedium baru dikenal baru-baru ini, sebagaimana diterapkan dalam UU Lingkungan Hidup, jadi tidak ada kaitannya dengan UU 1 PNPS 1965. Adapun SKB hanya dapat diterapkan untuk penyalahgunaan terhadap ajaran agama yang menyimpang dari suatu aliran sesat yang menyerupai ajaran agama ybs. Untuk penodaan tidak perlu SKB. Sifat delik pada Pasal 156a adalah Delik Formil jadi tidak membutuhkan adanya akibat sebagaimana Delik Materil.

8. Penasihat Hukum mengaitkan Asas Restoratif Justice juga tidak relevan. Ini Teori dari Jhon Rawls yang tidak terkait dengan Delik Agama, lebih tepat Teori ini untuk Pemidanaan terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup.

9. Penasihat Hukum menyatakan huruf b pada Pasal 156a KUHP harus dibuktikan karena Sifat Delik adalah Kumulatif. Ini menunjukkan bahwa Penasihat Hukum tidak mengerti struktur Pasal 156a dan tidak mengerti nuansa kebatinan -Histories Yuridis- masuknya Pasal 156a dalam KUHP. Pasal 156a adalah alternatif, oleh karena itu ada 2 Kejahatan yang diatur, yakni huruf a atau huruf b. Dalam huruf a juga berlaku alternatif perbuatan (actus reus), permusuhan atau penyalahgunaan atau penodaan.

10. Penasihat Hukum menyebut tidak ada kejelasan tentang Subject Korban. Perlu dicatat bahwa Perbuatan Pidana pada Pasal 156a huruf a tidak mensyaratkan Subject Korban adalah manusia tetapi agama itu sendiri salah satunya Kitab Suci. Adapun Pasal 156 KUHP subject-nya sangat jelas yakni Golongan Penduduk yang salah satunya berdasarkan agama.

___
Gubernur nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan penasihat hukumnya menyampaikan Nota Keberatan (Eksepsi) pada sidang perdana di Gedung eks Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jl Gajah Mada, Jakarta Pusat, Selasa (13/12/2016). Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum membacakan Surat Dakwaan dimana Ahok didakwa atas penodaan agama dengan apsal 156 dan 156a KUHP.


Baca juga :