MAKAR dan Presiden Paranoid, Sebuah Tinjauan Hukum


[portalpiyungan.co] Makar belakangan menjadi topik bahasan yang terus memuncak. Indikatornya cukup jelas. Nyaris di semua ruang publik termasuk di media sosial, perhatian publik tersita oleh berita dan kicauan tentang "MAKAR".

Dalam BAB I, Kejahatan Tentang Keamanan Negara, pasal 104, 106, 107, 108,KUHP, (lex specialist), Ada empat hal yang terkategori MAKAR, yaitu:

1. Makar dengan maksud membunuh, merampas, dan meniadakan kemampuan presiden, atau wakil presiden memerintah.

2. Makar dengan maksud menguasai seluruh atau sebagian wilayah,

3. Makar dengan maksud menggulingkan pemerintahan,

4. Makar dengan pemberontakan,

Pada pasal-pasal tersebut diatas, secara umum oleh pasal 110 KUHP dinyatakan sebagai “permufakatan jahat”, di dalamnya terdapat beberapa unsur, yaitu berusaha menggerakan orang lain, berusaha memperoleh kesempatan, dan memiliki barang-barang bertujuan untuk melakukan kejahatan.

Dalam tinjauan ini, patut kita simak penerapan pasal dan pemaknaannya oleh POLRI terhadap penangkapan dan penahanan para tokoh/aktifis yang terjadi belakangan Ini.

Pendeknya, “MAKAR”, identik dengan kudeta yang umumnya dipahami sebagai tindakan pemberontakan untuk menggulingkan suatu pemerintahan yang sah.

Defenisi kecil di atas, memunculkan dua spekulasi. Pertama, pasal ini dianggap bisa jadi ban serep untuk mendongkel gerakan kritis tokoh/aktifis pada presiden,.

Kedua, Presiden, terkesan berlebihan (paranoid) dan boleh jadi banyak mendapat inspirasi tentang “Makar” pada tragedi Mesir, Thailand, Myanmar, dan secara berlebihan (paranoid) juga merenungkan peristiwa runtuhnya pemerintahan yang sah pada tragedi Mei 1998 melalui gerakan people power, dalam konteks kasus makar saat ini.

Indonesia adalah negara berdasar atas hukum (pasal 1 ayat 3 UUD 1945), oleh karenanya, kelembagaan negara dan pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) menjalankan kewenangannya harus berdasarkan pada ketentuan dan norma hukum.

Dalam prinsip itulah, negara dikelola dan dijalankan fungsinya. Salah satu prinsip negara hukum adalah adanya kesamaan kedudukan di depan hukum tanpa kecuali.

Di situlah, maka berbagai peraturan perundang-undangan dibuat dan bertujuan untuk mengatur sekaligus membatasi pelaksanaan kewenangan, termasuk institusi penegak hukum-POLRI, KEJAKSAAN DAN MAHKAMAH AGUNG, dengan tujuan menciptakan suatu keadilan hukum dan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat.

Salah satu pilar penting dalam kehidupan berbangsa, bernegara adalah adanya saluran aspirasi rakyat sebagai pemangku kedaulatan negara (pasal 1 ayat 2 UUD 1945), dan menjadi keharusan untuk disediakan oleh negara.

Hal ini bertujuan mendorong adanya check and balance dalam menjalankan suatu pemerintahan.

Dengan semangat itulah, konstitusi melalui pasal 28 UUD 1945, memberikan hak konstitusional kepada setiap orang (subjek hukum) selaku WNI, memiliki hak berkumpul, berserikat dan berpendapat.

Penegasan ketentuan tentang hak menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan diperkuat lagi melalui UU No.9 tahun 1998, (lex specialist) pasal 9, yang jelas menyatakan bahwa menyampaikan pendapat lisan maupun tulisan adalah hak yang secara hukum melekat pada setiap manusia selaku WNI yang dijamin, bahkan secara demontratif sekalipun, sejauh tidak membahayakan kepentingan umum dan mengancam keselamatan presiden dan wakil presiden.

Sehingga kasus penangkapan tokoh/aktivis harus diuji secara materi, atas penerapan pasal 9 UU No.9 tahun 1998. dan atas pasal 27, 28, ayat (2) UU No.11 Tahun 2011. (Telah di revisi). terhadap pasal 28 UUD 1945. Apakah tepat tuduhan “MAKAR” tersebut sudah memenuhi unsur formil dan materialnya atau tidak, untuk menjadi suatu delik pidana MAKAR.

Secara sosiologis, proses terbentuknya piramida hukum negara sudah sesuai dengan kebutuhan dialektika manusia secara dinamis, termasuk dalam hal mengatur tatacara penyampaian pendapat. Pendapat rakyat yang disampaikan adalah perwujudan dari pasal 1 ayat (2) UUD 1945, di mana rakyat adalah pemangku kedaulatan.

Dalam perspektif hukum ketatanegaraan kita, presiden adalah pelaksana kedaulatan rakyat, karena dipilih melalui pemilu.

Sehingga rakyat tidak dapat dibatasi untuk menyampaikan pendapat mengenai apapun yang menyangkut kepentingan bangsa, terutama mengenai hal yang dianggap tidak sejalan dengan UUD 1945.

Penangkapan para tokoh dan aktivis menjelang 212, dan sesudahnya lebih pada pendekatan ” politik” . Tindakan ini memperlihatkan betapa paranoidnya presiden.

Sikap Presiden sama sekali tidak responsif atas berbagai peristiwa sosial yang sangat meresahkan publik.Upaya menghadiri aksi 212 yang diyakini bisa meredam aksioma ketidakadilan ekonomi, politik dan ketimpangan sosial di negeri ini, ternyata tidak banyak membawa hasil positif.

Satu yang yang penting, adalah umat islam harus ekstra hati-hati dan harus mampu menghindari tindakan “GAGAL FOKUS”, konsentrasi pada kasus AHOK dan penangkapan tokoh/aktivis adalah pintu masuk, sekaligus dapat secara konstitusional mengungkap banyak hal tentang persekongkolan jahat yang disinyalir kuat terjadi antara para cukong pemburu rente dan oknum-oknum yang duduk dalam pemerintahan, termasuk petinggi partai politik tertentu, dalam memperdagangkan ekonomi negara yang pada dasarnya sudah melanggar pasal 33 UUD 1945.

Tentu semua rakyat tanpa kecuali, sangat rindu indonesia yang adil, indonesia yang makmur, dan Jndonesia yang mandiri, tentu untuk rakyatnya, bukan untuk negara tetangga apalagi untuk kelompok tertentu. Hal itu tidak lagi sejalan dengan cita-cita pendiri Bangsa (founding fathers).

Sebagai Kapolri, Tito Karnavian sangat miliki kemampuan diplomasi dan komunikatif. Kemampuan itu tepatnya digunakan untuk membangun dialog kebangsaan terkait langkah penegakan hukum, untuk menghindari duplikasi makna penegakan hukum.

Begitu pula panglima TNI yang juga sangat mumpuni dalam membangun publik trust (dialog) dengan rakyat. Dua sosok ini semestinya digunakan presiden untuk melakukan hal yang jauh lebih tepat dibanding menjadikan mereka sebagai alat atau kekuatan untuk menakuti rakyat.

Hanya presiden yang bisa menghentikan dan memulai merintis dialog nasional untuk perbaikan bangsa.

Sebaiknya Jokowi yang terkenal sangat peka, merakyat, perlu kiranya segera menjauhkan sikap paranoid dan batasi untuk menerima masukan dari pembisik-pembisik yang notabene pelaku orde baru yang gagal mengelola publik trust rakyat 1998 dan termasuk membuat Pak Harto “GAGAL PAHAM”.

Penulis: Muhammad Syukur Mandar
Dekan Fak. Hukum Univ. Ibnu Chaldun Jakarta, Dan Kordinator Tim Advokasi Muslim Indonesia (TAMI)

Baca juga :