Kebangkitan Kelas Menengah Muslim dan "Ustadziyyat al Alam"


Kebangkitan Kelas Menengah Muslim
dan "Ustadziyyat al Alam"

[portalpiyungan.co] Sesaat menyimak, umat Islam Indonesia dalam hemat saya, sudah dapat masuk ke dalam level pembimbing kebangkitan Islam di dunia (ustadziyyat al alam).

Secara teoritis, ada tiga center of gravity kebangkitan dunia Islam:

Pertama, Turki karena secara polulatif mencakup 8 negara beretnis yang sama, menjadi gateway (gerbang) Eropa dan Asia Tengah serta memiliki warisan sejarah Islam yang gemilang lebih dari 500 tahun.

Kedua, Mesir, negara Muslim terpadat di Timur Tengah, mewarisi peradaban dunia yang ekstravagan dan pintu masuk ke Afrika.

Ketiga last but not least, Indonesia, penduduk terpadat di dunia Islam, negara demokrasi terbesar di dunia Islam, kaya dengan sumber alam, dan disepanjang reformasi telah melahirkan kelompok kelas menengah Muslim yang relijius, kritis dan semakin berdaya.

Karakteristik kelompok menengah ini cenderung apolitically but religiously (or ideologically) affiliated (relijius dan ideologis namun cenderung independen secara politik). Gerakan mereka sekarang ini lebih banyak didorong oleh sudut pandang yang sama ketimbang sebagai tindakan yang terkonsertasi.

Aksi Bela Islam 1, II dan III, serta hukuman ekonomi kepada Sari Roti merefleksikan kebangkitan kesadaran keberagamaan kelas menengah Islam pasca reformasi. Relijius dan ideologis, namun juga lahirnya ruang kritis.

Dalam konteks ini, lembaga dan organisasi keagamaan maupun politik tidak dapat lagi semata sebagai representer (penklaim) eksistensi umat, namun mau tidak mau, mereka harus juga menjadi fasilitator, pembimbing dan pelayan umat yang bijaksana. Sikap antagonistik atas opini umat hanya akan menyebabkan mereka ditinggalkan. Pilihannya yang ada: ambil peran itu atau ditinggalkan umat.

Di tengah kesadaran keberagaman yang substansial, kelompok menengah ini melihat bahwa afiliasi keorganisasian dan politik sebagai hal yang dapat ditukarkan seperti laiknya pendulum sepanjang dua syarat terpenuhi:

(1) Pertama, tidak menyangkut hal yang bersifat substansial dalam agama dan keyakinan mainstream.

(2) Kedua, tampak jelas keberpihakannya kepada umat secara umum, bukan kelompok, apalagi kepentingan.

Karena kebebasan informasi dan pertukaran gagasan, kelas menengah Muslim ini akhirnya bangkit menjadi kelompok penekan yang efektif.

Tidak dapat lagi sebuah organisasi keagamaan mengatakan kami mewakili dan mengklaim sekian banyak umat jika dua persyaratan fundamental diatas tidak hadir atau dilihat tidak ada. Pernyataan tokoh agama yang tidak berpihak kepada opini dan gairah keberagamaan umat hanya akan menggerus relevansi diri karena pernyataan keberagamaan mereka tidak lagi bertuah di mata umat. Ruang kritis mereka telah mampu memfilter dan memproduksi keputusan mereka sendiri.

Di tengah perubahan konfigurasi politik dunia Islam, Mesir yang terjerumus dalam kudeta, Turki yang terseyok karena ketidakstabilan kawasan, Indonesia dapat menjadi harapan dan sumber inspirasi kebangkitan tersebut.

Diatas itu, secara praktikal, keunggulan lain yang dapat saya lihat adalah kemampuan kelompok menengah ini dalam bernegosiasi dan memediasi tuntutan perubahan secara pikiran dan tindakan. Dalam aksi Bela Islam, mereka sendiri yang memutuskan bergerak atau tidak, turun atau tidak, memboikot suatu produk atau tidak. Karakter aksi mereka adalah self decision making dan juga self-financing.

"Riding the wave" (mengendarai gelombang -red) memang bukan urusan sederhana, namun kebangkitan kelas menengah yang relijius dan kritis dapat menjadi penyeimbang tepat kesadaran keberagaman pada satu sisi dan di sisi lain dorongan untuk melakukan perubahan politik.

Dalam level ini memang dibutuhkan sosok solidarity maker yang tepat, yang dapat mengkonsertasi dan memaksimalkan sebuah keinginan perubahan yang tumbuh dalam kelompok menengah Muslim ini. Tampaknya ini masih dibutuhkan.

Kita tunggu siapa mereka (sosok solidarity maker)?

(by Ahmad Dzakirin, Penulis buku dan pengamat Dunia Islam)


Baca juga :