[portalpiyungan.co] Tragedi pembantaian warga Aleppo yang mengerikan tak jua kunjung berakhir, bahkan semakin memilukan.
Media sosial pun dibanjiri oleh netizen dari seluruh dunia yang menyatakan turut berduka dengan tragedi yang menimpa warga di kota bersejarah ini.
Namun ternyata tragedi kemanusian mengerikan ini justru diabaikan oleh penduduk Suriah yang bermukim di Damaskus, Ibu Kota Suriah.
Hal ini disampaikan oleh Riham Alkousaa, seorang jurnalis berkewarganegaraan Suriah yang tergerak untuk membagikan sebuah kisah jujur mengenai tragedi tersebut.
Ia menyebut, malam hari tanggal 14 Desember 2016, ketika terjadi pembantaian di Aleppo, Orkes Simponi Suriah justru menggelar konser musik klasik yang dipimpin Missak Baghboudarian di Damascus Opera House.
Ketika hampir seluruh warga berkebangsaan Suriah yang tinggal di luar negeri sibuk memposting tentang Aleppo di media sosial mereka, warga Suriah yang berada di Damaskus malah sibuk membicarakan pizza semalam, memposting foto-foto perayaan wisuda dan aspal jalanan yang basah karena hujan singkat, dan perayaan musim gugur.
Tak tanggung-tanggung, Riham menilai, perilaku sebagian warga Suriah yang tak peduli pada Aleppo dan bahkan merayakan pembantaian warga di kota bersejarah ini, sejajar dengan penderita schizophrenia, penyakit gangguan mental akut yang membuat penderitanya mengalami delusi disertai perubahan perilaku drastis.
Ia juga menyebut kemenangan Rezim Assad atas Aleppo dibangun di atas penderitaan warga, bila diibaratkan, sebuah operasi berjalan mulus tetapi pasiennya meninggal.
Berikut kisah Riham selengkapnya yang dimuat oleh Al Jazeera, Ahad, 18 Desember 2016.
Aleppo: Rasa Bersalah, Kebencian dan Ketidakpedulian
Pada skizofrenia perayaan dan kesedihan
Sepertinya, satu-satunya cara mengasingkan diri dari serangkaian tragedi yang terjadi di Aleppo adalah berada di Damaskus, ibukota negara Suriah.
Ketika hampir seluruh kawan berkebangsaan Suriah yang tinggal di luar negeri sibuk memposting tentang Aleppo di media sosial mereka, kawan-kawan saya yang berada di Damaskus malah sibuk membicarakan pizza semalam, memposting foto-foto perayaan wisuda dan aspal jalanan yang basah karena hujan singkat, dan perayaan musim gugur. Mungkin satu-satunya cara menutup mata dari musibah ini adalah dengan memikirkan keselamatan diri sendiri.
Malam hari tanggal 14 Desember 2016, ketika terjadi pembantaian di Aleppo, Orkes Simponi Suriah justru menggelar konser musik klasik yang dipimpin Missak Baghboudarian di Damascus Opera House.
Sejak meninggalkan Suriah di tahun 2014, saya berhenti bertanya kepada diri sendiri, mengapa mereka yang peduli Damaskus tidak melakukan apapun untuk menghentikan tragedi di Suriah.
Saya memahami rasa takut, rasa frustrasi dan upaya bertahan hidup yang dialami mereka. Saat saya masih berada di Suriah, saya memikirkan mati lampu, berapa harga ayam yang harus dibayar besok, dan bagaimana caranya keluar dari sana.
Saya sudah menjadi pengecut sejak awal, beralasan bahwa orang tua saya bisa gila jika anak perempuan mereka terluka. Yang sesungguhnya terjadi, sederhana saja, saya takut untuk berbuat sesuatu untuk Aleppo.
Saya sedang mengajukan tugas akhir semester ini, saat membaca rangkaian twit dan postingan tak terputus tentang Aleppo. Saya kadang-kadang merasa terlalu takut untuk berbicara dengan orang-orang di sana.
Saya menghubungi Suriah terakhir kali, kemarin, Sabtu, 17 Desember 2016. Saya melakukan kontak dengan Hisham Eskef, seorang anggota kelompok pemberontak yang ambil bagian dalam kesepakatan gencatan senjata untuk Aleppo. Hisham bercerita, 800 orang diculik rezim Assad saat mereka sedang dievakuasi dari sisi Timur Aleppo.
Saya si munafik, yang mau bicara dengan orang-orang di Aleppo Timur, mendengar permohonan-permohonan mereka, menangis dan kemudian kembali membaca pandangan Lee Hamilton mengenai "creative tension", sebuah situasi penuh ketidaksepakatan yang akhirnya justru mampu memicu munculnya ide baru yang segar, dalam sistem demokrasi Amerika
Saya si munafik yang ingin mengatakan bahwa saya bersama mereka, kepada mereka yang terjebak di Aleppo, mereka yang melihat kematian di depan pelupuk mata mereka.
Tapi saya tidak, SAYA SEORANG WARGA SURIAH yang menghabiskan waktu membayangkan bagaimana mengerikannya sebuah pembantaian massal bisa menghasilkan gambaran yang begitu mengerikan namun nyata, seperti seorang perempuan yang duduk di kursi roda dan suaminya berupaya habis-habisan untuk menolongnya.
Saya warga Suriah yang baru saja membaca sebuah wawancara panjang Sadeq Jalal Al Azm, yang meninggal di pengasingan, 11 Desember 2016 lalu, yang telah menyerukan dengan lantang mengenai hak melakukan revolusi, dan setidaknya, mengacu apa yang sudah terjadi, sebagai sebuah upaya revolusi.The pictures tell a story of a man who desperately searches #Aleppo's streets for a doctor to save his wife's life, she dies in midst. pic.twitter.com/wwys1LzYoD— Rami Jarrah (@RamiJarrah) December 7, 2016
Kita tak pernah mempelajari tentang dia di buku-buku pelajaran, kita tidak membaca buah pikirannya mengenai kasih dan agama, bahkan banyak kawan saya, sesama warga Suriah, pada awalnya tidak mengenali dia.
Dan beberapa dari mereka bertanya, "Di mana elite intelektual Suriah dalam revolusi ini?"
Saya adalah warga Suriah yang akan melihat foto-foto dari seorang kawan lama yang melaporkan "senja yang menegangkan" di kota Aleppo yang penuh tekanan. Saya akan melihat foto-foto bulan madu yang terlambat, yang berlokasi di jalur "kemenangan" dari kota yang dirundung kesedihan.
Kawan saya pergi ke sana, dengan suami yang baru saja dinikahinya, melaporkan untuk media pro Assad tentang kehebatan kemenangan pasukan mereka.
Di antara beberapa fotonya yang melekat pada saya adalah sebuah foto antrian panjang para lelaki yang dipaksa untuk bertarung melawan tentara untuk mendapatkan keluarga mereka di Aleppo Timur, dan foto seorang ibu berkerudung hitam yang menangis getir menatap rumahnya yang dihancurkan. Upaya kawan saya untuk menyuguhkan gambar yang puitik untuk media tempatnya bekerja, mengusik saya.
Bahkan akhirnya saya harus mengatakan kepadanya bahwa kemenangan ini dibangun di atas penderitaan warga, bila diibaratkan, sebuah operasi berjalan mulus tetapi pasiennya meninggal. Dia mengatakan, ini perang. Dalam peperangan selalu ada yang menang dan yang kalah.
Di news feed, saya melihat kawan pro Assad yang lain, check in di Aleppo dengan foto bagian kastil tua yang hancur dengan sebuah foto Assad pada bagian atasnya, seolah melambangkan kemenangan Assad. Pada feed yang sama, seorang teman yang berkantor di Gaziantep memposting foto dari grafiti warga yang tersisa di Aleppo Timur sebelum mereka mengungsi.
"Dinding adalah buku catatan dari para pemberontak," tulisnya pada caption foto itu.
Saya membaca tanggapan-tanggapan dari warga Suriah, mereka yang berduka atas pembantaian dan mereka yang merayakan pembantaian itu. Mereka semua menganggap Aleppo sebagai kota "suci" yang selalu layak untuk menjadi lokasi foto selfie terakhir dengan puing-puing sebelum akhirnya mereka pergi meninggalkan Aleppo tanpa mengisahkan bahwa Aleppo adalah kota untuk hidup.
Aleppo adalah sebuah kota di mana kebencian memiliki alasan untuk tumbuh jadi monster yang mengerikan. Inikah jenis kebencian yang mengizinkan seseorang untuk membenarkan sebuah pembantaian dan merayakannya?
Seperti yang pernah diucapkan Assad beberapa waktu lalu, yang kini terjadi di Aleppo sungguh-sungguh bersejarah. Sebuah perpecahan spektakuler sebuah bangsa yang tadinya bersatu sampai ke sebuah titik di mana mereka bahkan tak lagi menyepakati prinsip dasar kemanusiaan.حلب المحاصرة ،، اليوم ❤️ pic.twitter.com/qX6ZSm3jdv— هادي العبدالله Hadi (@HadiAlabdallah) December 15, 2016
Dalam seminar politik akhir masa studi ini, kami mendiskusikan tentang pembangunan bangsa. Bangsa membutuhkan sebuah foundational myth, sebuah kesamaan kisah yang mampu membuat seluruh rakyat bersatu, memberi mereka sebuah alasan untuk hidup bersama di bawah sebuah atap bernama "bangsa". Saat profesor kami menanyakan kepada kawan-kawan saya tentang kisah bangsa mereka, saya diliputi kecemasan karena saya tak memiliki satupun. Tidak pada masa lampau, dan tidak akan lagi.
Kisah kami, saya takut, adalah tentang sebuah hari saat kami begitu berbeda hingga kami saling membunuh, dan kami merayakan pembantaian ini dengan coklat dan pohon Natal yang megah dan meriah. Hari di mana kita sangat berbeda, hingga hanya memedulikan keselamatan diri sendiri dan kematian orang lain bukanlah hal penting.
Penulis: Riham Alkousaa
Catatan:
Riham adalah seorang jurnalis Suriah yang meliput pengungsi di Eropa dan konflik di Suriah. Riham kini mahasiswa magister di Columbia University Amerika Serikat