[portalpiyungan.co] Selama ini setiap denyut yang terjadi di Timur Tengah selalu menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan umat muslim sedunia termasuk Indonesia. Penderitaan, pengorbanan, keteguhan iman, kekuatan mental bahkan kepahlawanan yang ditunjukkan warga muslim di Gaza, Syria, Mesir dan terakhir di Turki benar-benar menjadi inspirasi luar biasa bagi muslimin Indonesia. Bahkan bisa jadi suksesnya aksi super damai 212 tidak terlepas dari pengaruh gaung kepahlawanan di Timur Tengah.
Namun, keberhasilan bangsa Indonesia menyelenggarakan ibadah sholat Jumat terbesar sedunia setelah di Haramain (Mekkah-Medinah) tak syak lagi membuat rakyat muslim dunia menjadi takjub, tak terkecuali muslimin Timur Tengah. Hashtag #indonesia bertebaran di akun-akun twitter para ulama di sana. Mereka kagum akan kekompakan luar biasa masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan, tidak hanya muslim namun juga beberapa warga non-muslim turut membaur bahkan turut duduk menempati shaf ketika ibadah sholat Jumat massal berlangsung, tanpa paksaan, murni panggilan hati.
Banyak sekali ibrah yang bisa dipetik dari aksi 212 ini, namun salah satu hal yang menjadi sorotan ulama dalam negeri adalah 'legowo'nya para jamaah yang memiliki berbagai paham fiqih untuk menjalankan tata cara ibadah sholat jumat yang notabene sudah diusahakan agar mewakili semua pihak, seperti keberadaan qunut yang sudah menjadi khas NU, tidak ada zikir yang dipandu imam ba'da sholat sesuai harapan Muhammadiyah, dan lain sebagainya.
Khilafiyah memahami fikih dalam kondisi normal bisa membuat jamaah pilih-pilih mesjid, namun pada aksi kali ini khilafiyah menjadi satu hal yang sangat tidak signifikan. Semua fokus pada satu tujuan, membela kesucian al-Quran dengan satu kesatuan langkah dan gerak.
Kesatuan adalah barang yang langka bagi ummat muslim dewasa ini. Terlebih bagi umat muslim di Timur Tengah. Meski di sana adalah tempat diturunkannya agama Islam, namun akibat karakter mereka yang sangat teguh pada pendirian masing-masing membuat salah satu kekhasan islam yaitu "kal jazadil wahid" (bagai 1 tubuh) menjadi luntur luar biasa.
Di Indonesia pun sebetulnya perbedaan pendapat sangat kentara, meski sama-sama muslim namun pemahamannya bagai barat dan timur, tapi… subhanallah pada aksi superdamai ini ada peristiwa kunci yang berperan sebagai katalisator yang mampu meluluhkan tembok-tembok perbedaan sikap di antara umat muslim Indonesia : Long march para santri Ciamis...
(Gambar 1: Santri anonym yang menjadi peserta terkecil Long March Ciamis-Jakarta http://jurnalpriangan.com/2016/12/05/mujahid-cilik-ciamis/)
Ya... para santri ini adalah trigger keberhasilan 212. Di bawah tekanan dari segala arah dan kekuatan, para santri tidak kehabisan akal dan stamina. Kemauan dan tekad yang sangat kuat dalam dada mereka menjadi inspirasi bagi warga muslim di belahan Indonesia lainnya, di Sumatra, di Madura, seluruh Jawa, Sulawesi, Kalimantan bahkan Papua untuk berkorban menegakkan kehormatan kitab suci al Qur'an apapun kondisinya. Bagi peserta aksi 212, para santri Ciamis menempati posisi istimewa dalam hati mereka, kapling khusus disediakan tepat di belakang imam.
KONDISI ALEPPO
Di belahan dunia sana, kondisi serupa meski beda tingkatannya, saat ini sedang berlangsung. Kota Aleppo sebagai kota paling besar di Syria dibombardir tanpa henti setiap menitnya. Entah sudah berapa ribu atau jutaan ton bom telah dimuntahkan pesawat-pesawat berbintang merah kepada rumah-rumah penduduk, mesjid, dan instalasi sipil lainnya seperti pasar, sekolah dan rumah sakit di Aleppo Timur. Memang bom-bom seperti BetaB-500 yang dilepas dan diarahkan menggunakan terjun payung bukanlah bom nuklir, namun dengan jumlahnya yang begitu banyak maka sudah bisa menggambarkan bagaimana efeknya jika bom nuklir diledakkan di kota padat penduduk. Sungguh tak terperikan sakitnya.
Kaum muslim Aleppo telah bekerja keras mati-matian menjaga tanah dan rumah mereka dari serbuan para invader yang datang dari Asia Tengah seperti Afghanistan dan negara-negara tetangganya yang begitu rakus akan tanah muslim, dan sangat bernafsu untuk mengusir penduduk muslim dari buminya sendiri. Para penduduk muslim memang berhasil menjauhkan 45% wilayah kota Aleppo dari cengkeraman rezim zalim 2 tahun lalu, namun setelah mulai masuknya bala bantuan tentara asing yang bertubi-tubi dan silih berganti, dengan peralatan tempur mereka yang semakin hari semakin sadis, maka saat ini, detik ini tentara muslim tinggal menyisakan 4.5% wilayah kota Aleppo. Pendekatan para tentara sadis ini adalah pembumihangusan daerah sasaran, menyerupai pola perang Genghis Khan yang sangat bersifat teroristik buta. Sebuah pendekatan yang tidak terbayang oleh para pejuang muslim di manapun, dan sayangnya hal ini menjadi satu hal yang tidak terantisipasi juga.
(Gambar 2: Penyusutan wilayah muslim Aleppo dari 46% di bulan maret 2016, tinggal tersisa 5% saat ini. http://www.bbc.com/news/world-middle-east-38194136)
Ketika jalur keluar masuk kota Aleppo mulai terputus dari segala penjuru, para tentara muslim di Aleppo mengalami dilema luar biasa. Haruskah menyerah pada rezim zalim atau bertahan hingga titik darah penghabisan sambil menunggu bala bantuan dari luar kota?
Dan sebagai bumbu penyedap rasa, setiap argumen memiliki negara sponsornya masing-masing, meski hal ini terjadi di antara sesama negara muslim. Turki mengusulkan agar para pejuang Aleppo menyerah saja kepada Rusia dan memfokuskan tenaganya untuk mematikan fitnah besar lainnya yaitu ISIS. Sedangkan Arab Saudi meminta pejuang muslim untuk fokus membendung syiah yang teramat sangat besar keinginannya untuk memurtadkan umat muslim di timur tengah.
Di tengah kebingungan luar biasa ini, justru lawan-lawannya bahu-membahu semakin bersatu, syiah ismaili, syiah zabidi, syiah ja'fari, syiah imamiyah, dan syiah alawiyah semua membawa bendera kebanggaannya masing-masing ditambah dengan bendera rusia semakin komplitlah penderitaan ummat muslim yang sebetulnya tidak terbagi dalam sekte apapun, hanya mengalami perbedaan cara melihat suatu permasalahan dan solusinya.
(Gambar 3. Bendera pasukan sekte-sekte syiah yang didominasi warna kuning
http://i.imgur.com/vorcTKC.jpg)
Warga muslim Aleppo yang memilih menyerah, di luar dugaan (atau justru sesuai dugaan – akibat pemboman yang kerusakannya sudah berskala nuklir) jumlahnya banyak juga, sehingga 50% wilayah Aleppo yang muslim hanya dalam waktu 2 bulan ini bisa merosot tajam menjadi sebuah wilayah kecil berukuran 4 km x 4 km kurang dari 15 km persegi alias 5 kecamatan saja. Warga muslim selama bertahun-tahun sebetulnya banyak yang berharap mendapat bantuan dari muslim sedunia untuk membebaskan mereka, namun ternyata tidak mudah berharap kepada umat islam.
(Gambar 4. Warga muslim terakhir di Aleppo dikepung dan diserbu dari segala penjuru
https://twitter.com/C_Military1/status/806837031791947776)
Warga muslim yang bertahan untuk menjaga Aleppo, saat ini menempati wilayah kecil di posisi selatan - timur dari kota, dan saat ini diserbu dari setiap sudut penjuru arah angin 360 derajat, tanpa kecuali. Menjadikan salah satu mesjid bersejarah di kecamatan Sukkari sebagai benteng terakhir, semua warga Aleppo yang tersisa dengan tenaga yang tersisa mengangkat salah seorang pejuang yang namanya tak pernah terdengar sebelumnya: Abu Abed. Di pundaknya estafet perjuangan membebaskan tanah Aleppo disematkan. Abu Abed dan warga Aleppo yang tersisa akan berhadapan head-to-head dengan pasukan Vladimir Putin + Bashar Assad + Imam Khamenei. Sanggupkah bertahan?
Lalu bagaimana nasib warga muslim yang memilih menyerah?
Tak dinyana tak diduga, mereka dikembalikan lagi ke wilayah Aleppo yang akan diserbu, diperlengkapi baju tentara invader, diberi senjata lengkap minus amunisi. Mereka diminta sebagai pemandu jalan dan berperan sebagai tentara invader gadungan merangkap sebagai tameng bagi tentara invader asli yang berada di belakangnya. Sudah banyak yang menjadi korban penembakan oleh para pejuang yang sebelumnya adalah sahabat karibnya sendiri.
Sebuah kesadisan yang sangat menyayat hati, terutama bagi para pejuang yang tersisa.
Maskot Bana Alabed
Pada aksi 212 lalu secara de facto yang menjadi maskot pemersatu adalah para santri Ciamis, maka bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Aleppo maskot pemersatunya adalah seorang gadis cilik : Bana Alabed.
(Gambar 5. Bana Alabed gadis maskot pembebasan Aleppo)
Anak kecil berumur 7 tahun, dilatih oleh ibunya yang juga guru bahasa inggris untuk memiliki kemampuan berbicara bahasa inggris. Dia rajin menulis status pada akun twitter @alabedbana. Keteguhan gadis ini untuk memilih bertahan hidup dan survival daripada menyerah kepada pihak invader membuat kagum sekaligus membuat cemas 234.000 followernya. Update statusnya yang sederhana seperti menampakkan perang dari kacamata anak kecil. Anak kecil dan ibunya merupakan salah satu target utama di perang ini, karena mereka merupakan tulang punggung dari denyut kehidupan. Seperti halnya para santri yang menjadi lambang kemurnian hati, begitu juga anak kecil dan ibunya.
Sanggupkah Bana bertahan hidup dan melanjutkan perjuangan yang 'tak disadarinya' sebagai pemersatu semua kalangan di dunia untuk memperjuangkan perdamaian di Aleppo?
Rasulullah bersabda,
“Apabila penduduk Syam telah rusak maka tidak ada kebaikan pada kalian. Akan senantiasa ada sekelompok umatku yang selalu beruntung tanpa terganggu dari orang-orang yang menipu mereka hingga hari kiamat.” (HR. Tirmizi no. 2351).
Perang Syria adalah pembuka kekacauan di muka bumi. Tanpa kita kehendaki kekacauan yang diakibatkan perbedaan pemahaman akan merembet ke seluruh dunia. Fitnah masihid dajjal yang selalu kita doakan agar dijauhkan dari kita, tanpa kita sadari memang akan mendekati kita dengan kecepatan yang semakin tinggi. Dan kita tidak akan selamat darinya jika kita tidak memperbaiki diri dan bahu membahu saling bantu dengan penuh keikhlasan.
Mudah-mudahan keberhasilan bangsa Indonesia untuk menyatukan suara dalam aksi 212 kemarin bisa menjadi ibroh bagi warga Syria untuk selamat dari ujian fitnah masihid dajjal. Amin.
(Pa Moyo)