"Gelombang KESADARAN" by @salimafillah


"Gelombang KESADARAN"

by @salimafillah

Ada zaman yang kaya akan gejala perubahan. Hati jernih dan akal sehat melihatnya dengan gamblang. Tapi mata yang dikaburkan kepentingan, tetap mencoba menyangkalnya.

Ketika Republik Indonesia lahir, siapakah yang berani bertaruh bahwa bayi merah ini akan mampu menghadapi gelombang kembalinya kolonialisme yang menumpang sang pemenang Perang Dunia II?

Betapa banyak penguasa daerah yang salah tebak, salah berpihak, lalu mereka tenggelam dalam sejarah. Sebaliknya, untuk mengambil 1 contoh yang mengikuti firasat dari cintanya kepada rakyat dan negeri, Hamengkubuwana IX bergegas menggabungkan diri, menampung pindahan ibukota, membiayai anggaran negara, hingga menggaji para menteri, dan melindungi keluarga mereka sampaipun ketika terjadi Agresi.

Semua iming-iming Van Mook sekedar untuk beralih menjadi "netral", dari pengembalian wilayah seluas masa Giyanti (Banyumas-Malang), hingga seakbar zaman Sultan Agung (Jawa-Madura-Banjar-Sukadana-Palembang-Jambi), dijawabnya hanya dengan senyum sinis.

Hingga kini terpujilah dia, sang Sultan Republiken, di antara kawan maupun lawan, rahimahullaahu rahmatan wasi'ah.

Kalau pertanda di tahun 1945-1950 itu lebih samar dan rumit, apa yang terjadi pada Aksi Bela Islam I, II, dan terutama III, jauh lebih terang. Penggerak utama jutaan ummat bermartabat yang bertekad baja, tertib, disiplin, bersih, santun, dan syahdu itu bukan lagi Ormas, bukan Parpol, bukan lagi ikatan-ikatan struktural. Ya, anasir-anasir itu juga hadir dan wajib kita syukuri.

Tapi ini memang zaman baru.

Mereka bermula dari jejaring muballigh, asatidz, 'ulama, dan zu'ama yang terjun berkiprah di masyarakat dan hadir sehari-hari menjawab persoalan ummat. Usia mereka? Untuk mengutip Pak Nasihin Masha; nama-nama seperti Habib Rizieq, Bachtiar Nasir, Zaitun Rasmin, Abdullah Gymnastiar, Muhammad Arifin Ilham, dan deretan yang amat panjang lagi mayoritas adalah kelahiran di atas tahun 1960-an.

Konsistensi mereka dikenali ummat. Gerakan keshalihan mereka dirasakan maslahatnya. Mereka punya majelis-majelis rutin dengan jama'ah yang runtut terbina, bukan sekedar tabligh akbar di hari-hari besar Islam. Mereka mengubah pola pikir, bukan sekedar menyampaikan ayat. Dan catat satu hal lagi; teknologi informatika di tangan kalangan menengah perkotaan.

Dalam hitungan detik; ceramah, himbauan, kutipan, hingga berita pribadi tentang mereka menyebar begitu dahsyat. Jejaring itu bergerak dengan kekuatan tak terbendung di dunia nyata dan maya, dan dibuktikan dengan penyelenggaran Jumat Akbar Persatuan Islam yang belum ada bandingannya.

Kelas menengah atas yang mungkin tak biasa berdesak-desuk dalam Tabligh Akbar ala desa, tetiba bergabung dengan mobil mewah berisi bertumpuk-tumpuk ransum, turut berhujanan bersama bahkan sujud dalam genangan. Pengalaman ruhani semacam ini akan terukir dalam jiwa, takkan mudah dihapus dari sanubari jutaan manusia.

Ah, siapa yang masih tega menyangkal gelombang baru kesadaran ummat ini?


Baca juga :