[CATATAN] Memotret Dengan Jujur Berbagai Dampak Sosial Aksi Bela Islam


[portalpiyungan.co] Aksi 212 yang digelar Jumat 2 Desember 2016 ini merupakan aksi ketiga dari Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF).

Aksi yang melibatkan jutaan orang ini semestinya memberi dampak dalam konteks perubahan sosial. Lalu apa dampak gerakan ini?

Antusiasme publik dalam aksi 212 seperti telah diprediksi,  melebihi jumlah massa dalam aksi 411, 4 November 2016 lalu.

Setidaknya gelombang massa yang masuk dari berbagai daerah baik dari Jawa maupun luar Jawa bahkan dari luar negeri terus mengalir ke Ibukota Jakarta.

Dengan balutan doa bersama dan gelar sajadah, aksi yang semula direncanakan dilakukan di seputar Jalan MH Thamrin dan Jalan Sudirman, Jakarat Pusat ini bergeser ke area Monumen Nasional (Monas).

Perubahan ini menyusul kesepakatan yang ditempuh antara Polri dengan GNPF MUI. Meski H-1 pelaksanaan aksi 212, terdapat sejumlah laporan dari daerah tentang upaya pelarangan atas aksi tersebut.

Anggota Fraksi PKS DPR RI Mahfudz Siddiq mengatakan pihaknya mendapat laporan dari sejumlah pihak tentang pelarangan terhadap peserta aksi 212 untuk berangkat ke Jakarta. Dia mengingatkan, agar kesepakatan antara Polri dan GNPF MUI secara konsisten ditaati.

"Saya perlu ingatkan bahwa sekarang zaman keterbukaan informasi. Masyarakat memiliki caranya dalam menyebar dan bertukar informasi. Sudah tidak ada lagi yang bisa ditutup-tutupi," ujar Mahfudz di Jakarta, Kamis, 1 Desember 2016.

Aksi massa yang bertajuk "Bela Islam" ini memang fenomenal, setidaknya sejak pasca-reformasi, gerakan massa yang melibatkan massa paling banyak dan relatif berjalan tertib baru terjadi pada aksi ini.

Isu yang diusung pun tunggal yakni penegakan hukum terhadap Gubernur DKI Jakarta (non aktif) Basuki Tjahaja Purnama atas dugaan penistaan terhadap agama dan Al Quran.

Dampak aksi massa padda 411 lalu pun terasa. Setidaknya, Joko Widodo secara maraton pontang panting menggelar safari politik ke sejumlah pihak. Mulai lembaga pertahanan dan keamanan, organisasi massa Islam seperti NU dan Muhammadiyah serta sejumlah tokoh politik.

Respons terhadap aksi 411 juga muncul di publik berupa aksi tandingan dengan isu kebhinnekaan dan keragaman. Namun, maaf, harus diakui dengan jujur, ditinjau dari berbagai perspektif, isu ini tidak leading di publik seperti yang terjadi pada aksi 411 dan aksi 212 hari ini.

Setidaknya isu kebhinnekaan yang digulirkan justru kontraproduktif dengan tuntutan publik dalam penegakan hukum terhadap Basuki, apalagi sempat diwarnai aksi rebutan konsumsi dan pembagian uang secara terang benderang.

Secara kuantitas, jumlah massa yang terlibat dalam aksi kebhinnekaan ini pun jauh lebih kecil dibanding aksi 411, apalagi aksi 212.

Aksi Bela Islam ini dalam perspektif gerakan sosial patut dipertanyakan dari sisi efektivitas dan dampak konkret dalam perubahan sosial.

Isu penegakan hukum (law enforcement) yang dipersempit atas kasus penistaan agama yang diduga dilakukan Basuki Tjahaja Purnama, semestinya dapat dijadikan tangga untuk mendorong reformasi hukum secara holistik.

Isu reformasi hukum yang juga menjadi agenda penting saat reformasi 1998 bergulir, faktanya hingga saat ini tidak berjalan ideal. Negara hukum yang dicitakan oleh konstitusi dalam kenyataannya tidak berjalan secara paripurna. Hukum dalam berbagai kasus, masih di bawah dalam kendali modal dan politik.

Bila Aksi Bela Islam dapat menelurkan isu yang berkelanjutan untuk mendorong perubahan, aksi gerakan massa yang terbesar sejak era reformasi ini akan menjadi gerakan fenomenal yang dikenang sepanjang massa.

Namun bila Aksi Bela Islam ini hanya fokus pada persoalan Basuki semata, bukan persoalan penistaan agama Islam secara luas, maka agak sulit untuk mematahkan tudingan sebagian publik bila aksi ini sarat dengan isu sektarian dan ditunggangi motif politik terutama terkait Pilkada.

Meski yang terjadi hari ini telah membuktikan bahwa tudingan tuntutan kepada Basuki beraroma politis, dilihat dari jumlah massa yang hadir dari daerah di luar Jakarta, namun publik yang sudah terlanjur jatuh cinta pada sosok Basuki tentu menutup mata dan telinga pada fakta ini.

Kendati demikian, aksi bela Islam ini telah menorehkan sejarah gerakan sosial yang melibatkan massa massif dan mampu mengumpulkan ragam corak aliran dan ideologi peserta aksi.

Pesan yang ingin disampaikan juga jelas. Kekuatan umat Islam tidak bisa dipandang remeh oleh pemerintah. Karena bagaimanapun aksi bela Islam ini telah memengaruhi konstelasi politik nasional dan bukan tak mungkin bisa menggoyang perekonomian negara.



Baca juga :