[Catatan] Jelang 212, ke Mana Perginya Suara PDI P?


[portalpiyungan.co] Tak bisa dipungkiri, Pilkada DKI menjadi ramai, ketika DPP PDIP memutuskan untuk mencalonkan Ahok Basuki Tjahaja Purnama.  Menjadi ramai oleh karena  keputusan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri atas penetapan tersebut langsung direspons oleh DPP Gerindra dan DPP Demokrat dengan secara terburu-buru.

Saking terburu-burunya, Gerindra dan Demokrat nyaris salah memilih, siapa pasangan yang paling tepat dan baik di dalam menghadapi duet Ahok dan Djarot.

Respons terburu-buru itu kemudian seperti memetakan dimana dan siapa  sesungguhnya yang memimpin  kekuatan politik nasional dewasa ini.

Selain itu. kesimpulan sementara memperlihatkan,  secara individu kekuatan itu berada di tangan Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto (PS) dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Sementara Joko Widodo sekalipun menduduki posisi Presiden atau Orang Nomor Satu di Indonesia, keberadaannya di luar tiga kekuatan tersebut. Atau kalaupun dihitung, Joko Widodo hanya menjadi bagian dari kekuatan PDIP atau Megawati Soekarnoputri.

Dari pemetaan ini, yang cukup menarik, munculnya sebuah kesan bahwa porto folio politik nasional Megawati Soekarnoputri,  ternyata lebih mengungguli dua jenderal purnawirawan di atas – PS dan SBY.

Megawati, sekalipun hanya seorang ibu rumah tangga atau  perempuan – gender yang selalu dipersepsikan sebagai sosok lemah, ternyata lebih cerdas dan kuat ketimbang dua lelaki yang dilatih secara keras di Akademi Militer Nasional.

Padahal selama ini ada anggapan beberapa kalangan, setelah Megawati menjanda, kemampuan berpolitiknya melemah.

Persepsi sementara menyebutkan  setelah Taufiq Kiemas  suami Mega berpulang, PDIP sudah kehilangan seorang tokoh politik yang paling berpengaruh. Seorang politisi senior yang mampu melakukan komunikasi politik dengan siapa saja, secara damai dan meneduhkan.

Putri Proklamator RI tersebut ternyata tidak kalah cerdiknya. Mega dinilai memiliki strategi jitu dalam menghadapi kepakaran dan kepiawaian berpolitik  PS dan SBY.

Dengan mengumumkan pencalonan pasangan Ahok Tjahaja Purnama dan Djarot dua hari menjelang penutupan pendaftaran di KPUD, Megawati  memaksa PS dan SBY dalam dua hari, bekerja ekstra keras di menit-menit disebut “injury time”.

Dua politisi papan atas itu nyaris salah memilih siapa pasangan calon yang tepat yang bisa menghadapi Ahok Basuki Tjahaja Purnama dan pasangannya di Pilkada DKI 2017.

Namun dalam perkembangnya, porto folio dan peran kuat Megawati berikut PDIP sebagai sumbu politik nasional, secara pelan tapi pasti, berubah dan melemah.

Bahkan ketika suhu politik di DKI memanas dan menjadi semacam barometer situasi nasional, keunggulan Megawati atas PS dan SBY, hilang secara total.

Joko Widodo yang selama ini masih dikesankan sebagai Presiden yang berperan sebagai petugas partai, pun berubah. Secara pesan dan pasti, ia mengambil alih peran Megawati.

Berawal dari situasi menjelang Demo Damai 4 Nopember 2016.
Joko Widodo menemui PS di kediaman pribadi Hambalang.  Hasilnya, situasi politik yang cukup panas agak mereda.

Pertemuan Presiden RI Joko Widodo dan Presiden Gerindra itu kemudian direspon oleh Presiden Demokrat, SBY.

Respon SBY tak kalah kuat pengaruhnya. Sebab SBY seolah menuding bahwa pemerintah  diwakili Joko Widodo, melindungi Ahok sebagai penista agama Islam.  Situasi politik kembali memanas.

Akibatnya pendulum politik itu bergayut di antara dua kekuatan : Hambalang-Istana Kepresidenan versus SBY-Cikeas.

Di sini geliat politik tidak lagi memperlihatkan adanya kehadiran Megawati Soekarnooputri ataupun  PDIP.

Geliat Megawati sebagai pimpinan partai pemenang Pemilu 2014, semakin tergerus, ketika tuduhan penistaan agama Islam oleh Ahok terus menjadi isu sentral politik nasional.

Diikuti dengan demo anti-Ahok yang berkembang menjadi aksi pelengseran Presiden Joko Widodo.

Pengaruh Mega tergerus. Soalnya, PDIP maupun Megawati tidak menegaskan sikap terkait aksi yang dituding berencana mengganti rezim yang berkuasa.

Tidak adanya sikap yang tegas ini, cukup  kontroversial. Sebab  sikap ini tidak sejalan dengan klaim dan bahasa tubuh PDIP.

Ataukah PDIP kini tidak peka terhadap ancaman terhadap rezim yang dipimpin oleh Joko Widodo.

Padahal sejauh ini, Joko Widodo dianggap sebagai kader atau petugas partai  PDIP.

Melalui Mendagri Tjahjo Kumolo, mantan Sekjen PDIP misalnya, beberapa kali keluar imbauan kepada para pihak yang ingin mengganggu pemerintahan Joko Widodo agar bersabar  hingga Pilpres 2019.

Imbauaan itu merupakan cerminan  sikap bahwa  PDIP menganggap pemerintahan RI saat ini tengah dipimpin oleh kader PDIP.

Ketika Presiden asal PDIP ini  melakukan road show ke berbagai pimpinan ormas dan partai Islam, diikuti  ke berbagai instansi TNI dan Polri, kesan yang ada, Presiden Joko Widodo  merasa ‘terancam’. Atas alasan itu, Presiden mencari dukungan.

Di sini juga terlihat, tidak nampaknya dukungan PDIP terhadap Joko Widodo baik verbal apalagi resmi tertulis.

Sementata itu, tanggapan atas pencarian dukungan Joko Widodo relatif cukup positif. Terutama dari kalangan TNI, kekuatan yang memiliki senjata dan menjadi penjaga  seluruh wilayah NKRI.

Panglima TNI Gatot Nurmantyo beberapa kali tampil di muka publik dengan seragam yang unik. Ia berpakaian seragam TNI lengkap dengan lencana prestasinya. Tapi kepalanya ditutup dengan peci. Saat berpakaian peci itu, Panglima TNI sedang dikelilingi oleh tokoh Islam yang berbaju muslim. Mengertilah maksudnya.

Di kesempatan lain, Panglima TNI bersama Kapolri Jenderal Tito Karnavian, mengenakan seragam kesatuan mereka. Tetapi kepala mereka tanpa topi, melainkan digantikan oleh ikat kepala bersimbol bendera merah putih. Pahamlah maksud mereka.

Di luar Gatot dan Tito, seorang jenderal senior, Agum Gumelar yang memimpin organisasi para pensiunan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pepabri), secara ekplisit membela pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Untuk maksud tersebut jenderal Kopassus  ini menggelar konperensi pers.

Gumelar bersama AM Hendropriyono pada tahun 1990-an dikenal sebagai elit TNI yang membantu Megawati Soekarnoputri untuk beroposisi terhadap rezim Soeharto. Padahal mereka berdua bagian dari rezim  tersebut.

Kini Agum Gumelar yang berada di luar pemerintahan, angkat bicara. Membela rezim yang berasal dari anak buah Megawati.

Agum minta agar purnawirawan  yang bermain di isu makar atau penjatuhan pemerintahan Joko Widodo, ditangkap. Atau pada intinya, Agum merasakan bahwa ada upaya untuk melengserkan pemerintahan Joko Widodo, di tengah jalan.

Apa yang dilakukan dan disuarakan oleh Panglima TNI, Kapolri dan Ketua Umum Pepabri, cukup jelas. Tidak perlu diterjemahkan. Sebab bahasa yang mereka gunakan, bahasa Indonesia, bahasa pemersatu rakyat dan bangsa Indonesia.
Mereka tidak menggunakan bahasa asing. Baik Inggeris maupun Arab.

Suara mereka juga bisa dikatakan mewakili suara rakyat paling tidak suara eksponen. Tetapi suara mereka menjadi tidak berimbang. Kurang punya magnitude. Terutama karena PDIP, sebagai parpol pendukung pemerintahan Joko Widodo, tidak bersuara sama sekali.

Apakah ini berarti bahwa PDIP tidak menganggap suara mereka bukanlah sebagai suara rakyat?

Tidak berlakukah adagium yang menyebutkan suara rakyat juga suara Tuhan?  Vox Populi Vox Dei?

Penulis: Derek Manangka
Baca juga :