[portalpiyungan.co] Seniman dan budayawan beretnis Tionghoa, Jaya Suprana membuat tulisan menarik berjudul 'Indonesia Tanah Air Beta' yang dimuat oleh kantor berita Antara, Rabu 14 Desember 2016.
Dalam tulisan itu ia menggambarkan bagaimana Indonesia bukanlah bangsa yang rasialis seperti pencitraan media asing terkait kasus dugaan penistaan agama baru baru ini.
Ia menceritakan perjalanannya sejak kecil pengalaman hidup dan bagaimana menjadi korban huru-hara dalam sejumlah prahara di dalam negeri. Dalam huru-hara itu ia mengaku selalu diselamatkan oleh kalangan pribumi.
"Tiga kali huru-hara yang saya alami selalu saya diselamatkan bukan oleh warga keturunan Cina yang masing-masing tentu saja lebih berusaha menyelamatkan diri sendiri," tuturnya.
Berikut uraian lengkap perjalanan Jaya Suprana dalam tulisannya, "Indonesia Tanah Air Beta".
Opini masyarakat mancanegara terbentuk oleh pemberitaan pers mancanegara maka mereka meyakini bahwa kasus dugaan penistaan agama di belahan akhir 2016 sebagai bukti bahwa bangsa Indonesia adalah rasis dan penindas kaum minoritas.
Demi meluruskan anggapan keliru terhadap bangsa saya, maka saya menulis naskah berdasar fakta yang saya alami dan amati dalam kehidupan pribadi saya.
Jika Anda kebetulan setuju dengan anggapan bahwa bangsa Indonesia rasis dan penindas kaum minoritas,maka sebaiknya jangan baca naskah ini karena pasti akan tidak berkenan bagi Anda.
Saya dilahirkan di Pulau Bali yang berada di dalam wilayah negara Republik Indonesia. Semula saya tidak sadar bahwa secara etnis-biologis ternyata saya tergolong keturunan Cina dengan nenek moyang saya (yang tidak saya kenal) dilahirkan di negara Cina.
Pertama saya sadar bahwa saya keturunan Cina pada masa pasca G-30-S di mana sekolah saya dibakar dan warga keturunan Cina termasuk ayah kandung saya ikut dibantai.
Lalu saya mengalami huru-hara rasialis di kota Semarang pada awal dekade 1980-an abad XX di mana kantor di mana saya bekerja dilempari batu, mobil saya dibakar dan rumah saya nyaris dijarah kaum kriminal.
Kemudian saya dihajar kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Banyak pihak menganggap bahwa huru-hara rasialis di Indonesia sebagai manifestasi antietnis Cina. Namun saya tidak setuju berdasar fakta pada justru tiga kali huru-hara yang saya alami selalu saya diselamatkan bukan oleh warga keturunan Cina yang masing-masing tentu saja lebih berusaha menyelamatkan diri sendiri.
Saya selalu diselamatkan oleh teman-teman yang kebetulan warga bukan keturunan Cina yang lazim disebut sebagai pribumi. Jika bangsa Indonesia rasis maka mustahil almarhum kakek saya diberi kesempatan mendirikan Jamu Jago sebagai perusahaan obat tradisional bukan Cina namun Indonesia yang Insya Allah, pada tahun 2018 akan mendirgahayu usianya yang ke-100.
Jika bangsa Indonesia rasis maka mustahil Kwik Kian Gie, Marie Pangestu, Ignatius Jonan, Enggariasto Lukita, Thomas Lembong bisa menjadi menteri.
Jika bangsa Indonesia rasis maka mustahil Tan Joe Hok, Rudy Hartono, Liem Swie King, Susi Susanti, Alan Budikusuma dan lain-lain bisa mengembangkan bakat masing-asing sehingga bisa menjadi juara-juara dunia.
Jika bangsa Indonesia rasis, mustahil sukma saya tergerak menciptakan komposisi-komposisi musik bersuasana kebudayaan Indonesia di panggung gedung kesenian terkemuka Esplanade Singapura, Sydney Opera House, dan Carnegie Hall.
Jika bangsa Indonesia rasis maka mustahil saya bisa bersahabat dengan teman-teman saya yang bukan keturunan Cina seperti Gus Dur, Cak Nur, Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Sukarnoputeri, Joko Widodo, Jusuf Kalla, Boediono, Prabowo Subianto, Hashim Joyohadikusumo, Moeldoko, Gatot Nurmantyo, Agus Wijoyo, Hidayat Nur Wahid, Gus Mus, Din Syamsuddin, Emil Salim, Salim Said, Harjono Kartohadiprojo.
Selanjutnya HS Dillon, Kobalen, Frans Magnis Suseno, Idwan Suhardi, Mahfud MD, Ninok Leksono, Laode Kamaruddin, Purnomo Yusgiantoro, Siti Musdah Mulia, Wardah Hafids, Sandyawan Sumardi, Ilarius Wibisono, Habib Rizieq, Daeng Mansur, Aa Gym, Titiek Puspa, Suka Harjana, Iravati Sudiarso.
Selain itu, para jamu gendong , pengojek, seniman wayang orang Bharata, Swiwedari, Swargaloka, para pemusik angklung, sasando, kolintang Minahasa, warga Luar Batang, Kalijodo, Kampung Pulo, Bukit Duri, dan lain-lain warga Indonesia bukan keturunan Cina, tanpa pernah timbul masalah berbau rasis.
Toleran beradab
Berdasar pengalaman dan pengamatan selama 68 tahun hidup di Indonesia, maka saya meyakini bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah, santun, toleran, beradab, halus budi-pekerti yang selalu siap menjalin keBhinneka-Tunggal-Ikaan dengan semangat saling mengerti, saling menghormati dan saling menghargai.
Maka saya pribadi berani mengambil kesimpulan bahwa pada hakikatnya di Indonesia tidak ada masalah rasialisme. Yang ada adalah masalah kecemburuan sosial akibat kesenjangan sosial terlalu lebar antara yang kaya dengan yang miskin.
Selama kesenjangan sosial masih hadir secara terlalu menganga di Indonesia maka sentimen SARA selalu siap terpicu untuk membara bahkan meledak menjadi kekerasan.
Sebagai warga Indonesia yang dilahirkan di Indonesia, maka saya wajib menjunjung tinggi harkat dan martabat bukan Tanah Leluhur saya nun jauh di Cina namun Tanah Air saya yaitu Indonesia demi mengejawatahkan makna peribahasa Di Mana Bumi Dipijak, Di Sana Langit Dijunjung.
Mohon dimaafkan apabila keyakinan berdasar pengalaman hidup saya pribadi terkesan naif serta terlalu sederhana akibat sanubari saya memang naif dan sederhana.
Sanubari saya selalu menghayati syair lagu Indonesia Pusaka mahakarya Ismail Marzuki : "INDONESIA TANAH AIR BETA, PUSAKA ABADI NAN JAYA. INDONESIA SEJAK DAHULU KALA. SELALU DIPUJA-PUJA BANGSA. DI SANA TEMPAT LAHIR BETA. DIBUAI DIBESARKAN BUNDA. TEMPAT BERLINDUNG DI HARI TUA. TEMPAT AKHIR MENUTUP MATA".