BAHASA TANGISAN AHOK DI PERSIDANGAN



BAHASA TANGISAN AHOK DI PERSIDANGAN

Oleh: Ust. Dr. Miftah el-Banjary, MA

Menangis. Saya tergelitik saja untuk membahas masalah tangisan ini. Saya teringat kisah pada zaman Nabi Sulaiman bahwa ada dua orang wanita yang mengadukan perkaranya kepada Nabi Sulaiman as sebagai hakimnya.

Kedua wanita ini sama-sama berderai air mata dan sama-sama mengklaim kebenaran. Namun, Nabi Sulaiman as bukan memutuskan berdasarkan tangisan air mata mana yang paling tulus, namun fakta di pengadilan. Akhirnya, kebenaran pun dapat ditegakkan.

Perihal tangisan ini juga mengingatkan saya pada kisah Nabi Yusuf as di dalam al-Qur'an. Biar lebih mudahnya saya akan ajak pembaca untuk sejenak menelusuri lagi kisah dramatis sejarah kecil Nabi Yusuf as. Mengapa rujukan harus kisah di dalam al-Qur'an?

Karena kisah-kisah di dalam al-Qur'an merupakan 'Ahsanul Qashahi' sebaik-baiknya kisah yang bisa dijadikan itibar dan pelajaran penting dalam kehidupan ini. Baik, mari kita buka dan baca kisah di dalam surah Yusuf!

Adalah sebuah dorongan nafsu yang dipenuhi kedengkian, rasa permusuhan dan rasa dendam kesumat yang menggeluti hati para saudara Yusuf as. Sehingga mereka berusaha keras untuk menyingkirkan saudara mereka sendiri bernama Nabi Yusuf. Kehadiran Yusuf as dianggap sebagai jurang pemisah penghalang kasih sayang diantara mereka dan ayah mereka, Nabi Ya'kub.

Walhasil, mereka merencanakan sebuah makar/konspirasi untuk menceburkan Yusuf ke dalam sumur tua. Sesuai dengan hari yang telah direncanakan, usaha makar mereka berhasil dengan lancar. Yusuf telah diceburkan ke dalam sumur tua. Penghalang telah disingkirkan.

Tinggal selanjutnya, mereka membuat skenario dramatis agar kejahatan keji yang mereka lakukan tidak diketahui oleh ayah mereka, yaitu dengan membuat barang bukti palsu dan tangisan palsu.

Nah disini lah tangisan berperan penting sebagai bahasa komunikasi fiktif yang bisa dijadikan sebagai justifikasi bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah kesedihan dan penyesalan mendalam. Lantas apakah tangisan itu bermakna tangisan kesedihan ataukah tangisan kebohongan?

Menangis! Saya tergelitik membahas pembahasan ini, karena mengingatkan saya kembali pada kajian desertasi saya yang kebetulan mengkaji berbagai konteks tangisan dalam berbagai konteks bahasa tubuh.

Tangisan bukan saja sekedar ekspresi emosional saat merasakan kesedihan atau kesakitan, ternyata tangisan juga sebagai simbol sekaligus kode penyampai pesan bahasa tubuh yang memiliki konteks multi tafsir.

Tangisan bisa berarti karena sedih, tapi bahasa air mata juga berarti berpura-pura sedih. Orang yang kelewat bahagia juga bisa mengeluarkan air mata. Terkadang air mata juga bisa dipergunakan untuk mencari kebenaran atau bisa jadi mencari pembenaran.

Seorang pencuri yang tertangkap basah bisa menangis, karena malu dan menyesal, namun bahasa air mata juga bisa sebagai akting agar terlepas dari pengadilan massa.

Bagi saya pribadi yang akrab dengan dunia retorika publik dan pernah belajar di dunia akting, sebenarnya sangat mudah sekali mempengaruhi emosi audiens untuk ikut masuk dalam pengaruh emosi yang disampaikan, termasuk membuat nuansa sedih yang membuat orang bersimpati dan berempati. Semua kemampuan itu bisa dilatih dan dipelajari. Hal ini bukanlah hal yang sulit bagi para pelakon publik.

Dalam konteks Ahok yang menangis di persidangan, apakah pesannya penyesalan ataukah setingan, saya tidak berhak menghakimi. Namun, menurut hemat saya, menangisnya Ahok dalam persidangan sangat lah kontraversial dengan karakter aslinya yang selama ini arogan, keras dan kasar.

Saya melihat ada sikap kontra-diktif antara sikap Ahok yang keras dan tegas dengan tangisan Ahok saat bertutur tentang kisah pilunya masa lalu bersama kebaikan ayah angkatnya yang konon dari kelurga muslim yang taat.

Seharusnya pembelaan Ahok bukan pada tataran historical masa lalu yang seakan-akan meminta belas kasihan dari Hakim, akan tetapi settingannya haruslah tetap tegar pada sikap dan prinsip yang selama ini dia yakini dan pertahankan, sekiranya dia pada posisi yang benar dan harus diperjuangkan.

Kasus Ahok sangat berbeda dengan kasus nenek Asyani yang difitnah dan tidak berdaya sama sekali di depan hukum, sehingga harus menangis. Ahok adalah seorang yang cerdas, tegar, pemberani dan katanya jika Tuhan salah sekalipun akan dia lawan, bahkan tidak takut masuk neraka.

Tapi ekspektasi pendukung Ahoker selama ini yang mencitrakan Ahok sebagai seorang pahlawan kebenaran yang sangat pemberani dibuat shock dengan tangisan Ahok yang menurut saya sangat dramatis sekali.

Pasalnya Ahok berkali-kali menyebut jasa-jasa keluarga angkatnya yang muslim yang telah berjasa besar dalam hidupnya, sehingga mengesankan dia tidak mungkin menistakan agama. Padahal jika faktanya demikian, seharusnya dia sejak dari awal bersimpati dan berempati pada warga muslim Jakarta?

Serangan demi serangan dan tudingan demi tudingan penistaan pada kitab suci al-Qur'an bukanlah kali pertama pada tanggal 27 September 2016 di Kepulauan Seribu, sebelumnya ada beberapa ucapan lainnya yang serupa.

Kini ini Ahok berada di kursi pesakitan meja hijau sebagai seorang yang seakan-seakan terzhalimi dan teraniya. Elektabilitasnya turun karena kasusnya. Karier politiknya suram lantaran statusnya. Dia adalah jagoan yang sedang menjadi korban politik Pilkada! Tapi tunggu dulu pemirsa!

Sehebat-hebatnya jagoan di serial sinetron tetaplah sinetron. Mari kita flash back dan bandingkan dengan fakta di lapangan!

Dibandingkan air mata warga miskin pinggiran Jakarta yang digusur? Dibandingkan tangisan para nelayan yang tergusur oleh proyek reklamasi? Dibandingkan dengan kekecewaan air mata warga -yang dibentak-bentak saat mengadukan masalahnya minta dikala Ahok menjabat sebagai gubernur yang arogan kala itu- mana kah air mata yang lebih mengiris hati nurani dan jiwa bagi penegak hukum di negeri ini?


Apakah air mata Ahok dapat membebaskan dia dari jeratan hukum?

Apakah air mata tersangka penista agama seperti Ahok akan bisa mempengaruhi putusan Hakim?

Fakta inilah yang seharusnya juga tidak dilupakan, meskipun ini adalah pengadilan penistaan pasal 165, tapi pertimbangan rasa keadilan itu juga sebagai barometer penegakkan keadilan itu sendiri secara universal jika memang negeri ini mau menegakkan keadilan hukum secara adil dan merata.

Ini murni kasus keadilan terhadap penistaan agama, bukan politisasi Pilkada! Rakyat sudah sangat cerdas melihat fakta!

Wallahu 'alam. Kita lihat saja besok hasilnya.


Baca juga :