[portalpiyungan.info] Pujian Jokowi untuk waralaba peracik kopi asal Amerika, Starbucks yang dinilainya menjadi salah satu indikator majunya sebuah kota menuai reaksi keras publik.
“Saya hari ini merasa terhina sebagai warga negara, kenapa Starbukcs harus menjadi ikon maju dan tidaknya sebuah kota, dan bukan pasar tradisional, yang notabene diisi dan dikunjungi oleh warga Indonesia yang semakin hari semakin merasakan sulitnya hidup?", tanya Dija seorang ibu rumah tangga di Kabupaten Balangan Kalimantan Selatan.
Dija adalah satu dari sekian banyak ibu rumah tangga yang saat ini sedang mengalami kesulitan ekonomi, akibat jatuhnya harga komoditas terutama karet yang menjadi andalan mereka di Kalimantan Selatan untuk menopang ekonomi keluarga.
Beberapa pegawai di lingkup Pemkab Balangan, membenarkan hal itu, banyak keluarga mereka yang berprofesi sebagai petani karet mengeluh bahkan ketakutan akan utang yang menumpuk, membuat mereka harus terus berupaya untuk mendapatkan kegiatan lainnya agar bisa menambah isi dompet.
“Saat ini harga karet terjun bebas, sementara beberapa keluarga dari sepupu dan keponakan yan bekerja di perusahaan tambang batubara juga ikut merasakan dampaknya, beberapa diantaranya harus diistrahatkan dulu, karena harga batubara juga turun,” ujar PNS berdinas di Sekretariat Daerah.
Ternyata hal tersebut juga dirasakan oleh pedagang di pasar Balangan. Jika sebelumnya masyarakat banyak yang datang ke pasar dan hampir setiap hari, kini sudah berkurang.
“Sekarang kadang 2-3 hari sekali baru datang belanja, beda dengan dulu, mereka hampir setiap hari belanja kebutuhan dapur maupun lainnya,” ujar ibu Suminah yang berjualan sembako di lantai bawah.
Menurut Abdullah Kelrey, Presidium Nusa Ina Institute, kali ini Presiden sudah keluar dari pakem sebagai seorang negarawan. Ucapan yang sangat menghina masyarakat Indonesia, menurut Abdullah, sama saja dengan menegaskan bahwa bila belum "ngopi" di Starbucks, maka warga kota tersebut bukan masyarakat maju, namun masyarakat kampungan dan tidak mau maju.
“Mungkin Presiden sedang shooting iklan Starbucks, agar bisa dikatakan bukan warga kampungan, harus minum kopi di Starbucks,” ujar Abdullah jengkel.
Sementara beberapa netizen menyatakan, semestinya sebagai seorang Presiden, Jokowi semestinya memberikan dukungan kepada waralaba lokal seperti warung pecel lele, bukan malah meng-endorse waralaba asing tersebut.
Di balik endorse Starbucks sebagai indikator kemajuan sebuah kota, ada sebuah fakta menarik dari Starbucks yang mungkin tak selalu dicermati oleh para pelanggannya.
Yaitu adanya potongan Corporate Social Responsibility (CSR) yang dibebankan kepada konsumen saat melakukan transaksi. Jumlahnya tak besar. Namun membuat kening berkerut.
Apakah praktik pembebanan donasi CSR kepada konsumen ini dapat dibenarkan secara etika? Tentu saja tidak.
Maka pertanyaan berikutnya, jika Starbucks membebankan donasi CSR kepada pelanggan, ke mana perginya dana CSR tersebut?
Masih layakkah Starbucks untuk diendorse seorang Presiden?
Penulis: Jalu Jazz
Editor: Portal Piyungan