Nasihat Enteng untuk Bung Jokowi
Oleh: M Amien Rais
(Mantan Ketua MPR RI)
Sedikit banyak, masyarakat yang pada 411 melakukan demo agar penegakan hukum dan keadilan atas skandal Ahok di Kepulauan Seribu, merasa lumayan lega begitu Ahok dijadikan tersangka.
Namun, dalam pengamatan saya, yang sejak semula ikut demo dan aksi damai sejak 14 Oktober, ada pertanyaan besar. Mengapa Ahok tetap bebas dan masih bisa mengumbar pernyataan yang kian memanaskan suasana?
Sebagai contoh pernyataannya bahwa Indonesia belum utuh dan Pancasila belum benar-benar berfungsi bila minoritas belum jadi Presiden. Juga celotehannya kalau sampai masuk penjara, justru dia akan jadi presiden seperti halnya Nelson Mandela di Afrika Selatan. Bahkan, Ahok menuduh setiap pendemo 411 dibayar Rp 500 ribu. Dia makin ngawur.
Bung Jokowi, mohon jangan menyalahkan para pendemo bila ada kesan kurang percaya pada pemerintahan Anda dalam menegakkan hukum dan keadilan pada Ahok. Anda sendiri sangat terlambat mengambil sikap tegas pada Ahok dan baru bersuara pada dini hari 5 November di Istana. Setelah Anda menyaksikan gelombang unjuk rasa yang terbesar dan paling merata sepanjang sejarah negara kita.
Bung Jokowi, kita mundur sebentar. Ketika lebih dari dua juta hektare hutan kita dibakar oleh puluhan perusahaan tahun lalu, Anda bereaksi keras karena menyadari hutan adalah tabungan kehidupan masa depan bagi seluruh umat manusia. Negara pun diperkirakan rugi Rp 200 triliun, Anda mengatakan agar perusahaan pembakar hutan dicabut izinnya dan diproses secara hukum.
“Sekali lagi saya ingin tegaskan bahwa tindakan hukum akan diambil dengan sangat tegas.” Kemudian, “Jangan hanya menyasar rakyat biasa, tetapi harus juga tegas dan keras pada perusahaan yang menyuruh membakar.”
Kenyataannya, sepanjang 2016, hanya ada satu perusahaan pembakar hutan jadi tersangka. Padahal bukan kerugian materiil saja yang harus diingat, ribuan anak bangsa yang sesak saluran pernapasannya, apalagi anak-anak, sesungguhnya merupakan kejahatan kemanusiaan.
Kini puluhan perusahaan yang diduga keras terlibat pembakaran hutan itu sudah mengantongi SP3 atau surat perintah penghentian penyelidikan dari kepolisian. Mereka tersenyum dan sudah berjalan lenggang kangkung, sementara kebanyakan rakyat hidup makin kembang-kempis. Kita jadi ingat omongan Ahok bahwa Anda tidak mungkin jadi presiden tanpa bantuan para pengusaha.
Bung Jokowi, tulisan ini tidak ada unsur SARA-nya. Bila ada orang menghina suku, agama, ras atau golongan tertentu, itu menyangkut SARA. Namun menyebut nama orang karena dia melakukan kejahatan, apa pun suku, agama, ras dan golongannya justru kita perlukan.
Bila SARA menjadi penghalang orang menyebut pelaku kejahatan karena takut menyinggung SARA tertentu, SARA semakin jadi momok penegak hukum dan keadilan. Masyarakat kita menjadi munafik karena pelaku kejahatan selalu melenggang bebas, tidak bisa dibuka karena takut menyinggung SARA.
Para cukong dewasa ini sudah sangat percaya diri dan sudah tinggi waktunya menggenggam ekonomi dan politik sekaligus. Mereka bahkan menuduh Letjen TNI Johanes Suryo Prabowo sebagai rasis gara-gara menasihati, “Bila Cina sedang berkuasa, jangan sok jago”.
Walaupun mereka sudah menggenggam kekuatan ekonomi nyaris sempurna, tetapi masih sesak napas, masih terkungkung dalam ghetto ekonomi. Mereka bertanya apa salahnya bila mereka juga jadi bupati, wali kota, gubernur, menteri, dan lainnya.
Sekelebatan aspirasi mereka itu demokratis. Namun jangan lupa, Bung Jokowi, seorang Milton Friedman, dedengkot ekonomi neolib saja memperingatkan lewat pendapatnya, “The combination of economic and political power in the same hands is a sure recipe for tyrany”.
Bung Jokowi, mengapa saya sampaikan hal ini karena saya yakin kasus Ahok ini tidak berdiri sendiri. Ahok ini sebuah mata rantai kekuatan ekonomi yang sudah bercokol di Indonesia.
Tentu Anda lebih paham dari saya karena Anda di pusaran kekuatan itu sehingga kami paham bila Anda menghadapi pilihan sulit dalam penuntasan skandal Ahok. Untuk menyebut langsung nama Basuki Tjahaja Purnama saja, Anda perlu jeda 15 detik karena beban psikis yang Anda alami. Itu terekam di media sosial ketika Anda berkunjung ke PP Muhammadiyah.
Akhirnya saya ingin sampaikan nasihat entheng-enthengan untuk Anda. Jangan Anda pernah berilusi satu detik pun, Anda mampu meletakkan TNI dan Polri berhadap-hadapan dengan rakyat Indonesia sendiri. Sepekan yang lalu Anda bersafari sangat intensif ke markas-markas Kopassus, Kostrad, Brimob, Marinir, juga ke PBNU, PP Muhammadiyah, PKB, PPP, PAN, dan lainnya.
Ada pernyataan Anda yang mengagetkan bahwa selaku Presiden, Anda dapat menggerakkan Kopassus sebagai pasukan elite cadangan dalam keadaan darurat. Karena safari intensif Anda terjadi setelah demo 411, banyak yang membaca dengan tafsir ganda. Kalau ada musuh menyerang negara kita atau kalau ada pemberontakan separatis, pernyataan Anda itu sangat oke.
Namun kalau demo menuntut penegakan hukum dan keadilan, secara tersirat Anda kategorikan bisa menjadi bahaya (emergency) yang harus dihadapi dengan senjata TNI kita, Anda, maaf, salah besar. Salah total.
TNI, dengan Sumpah Prajurit dan Sapta Marganya, Polri dengan Tribrata dan Catur Setyanya hanya setia pada bangsa, negara, dan pemerintah. Namun loyalitas pada pemerintah ini tentu dengan catatan selama pemerintah masih konsisten dalam rel kepentingan bangsa dan negara. Bukan terseret pada kepentingan kelompok, apalagi kepentingan aseng dan asing.
Bung Jokowi, seragam gagah yang dipakai seluruh prajurit TNI, alutsista yang cukup mahal untuk memelihara integritas teritorial Indonesia, dan seluruh pendanaan latihan dan pendidikan TNI berasal dari uang rakyat.
Demikian juga yang berkaitan dengan kepolisian kita. Bahkan pesawat kepresidenan, helikopter yang membawa Anda dari satu tempat ke tempat lain, seluruh anggota paspampres dan biaya apa saja yang dibutuhkan seorang presiden berasal dari uang rakyat.
Rakyat Indonesia, bukan rakyat negara lain. Karena itu berpihaklah pada rakyat secara adil, termasuk umat Islam yang merupakan komponen terbesar rakyat Indonesia. Hari-hari ini lewat proses hukum, pemerintah segera menuntaskan dugaan penistaan Alquran dan ulama oleh Ahok. Di atas pasal dan ayat KUHP dan undang-undang (UU), rasa keadilan masyarakat tentu jauh lebih mendasar.
Nasihat saya, jangan gegabah. Unggulkan kepentingan bangsa dan rakyat sendiri. Apalagi melancarkan tuduhan ada aktor politik penunggang demo 411, ada rencana makar menjelang 212, diperparah lagi oleh JK dengan menyatakan safari kilat Anda pasca 411 bukan karena akan ada kudeta (tentu tambah memperunyam suasana). Akibatnya, sumber masalah jadi makin tertutupi.
Muncullah isu ada gerakan massa mau mengganti dasar negara dan merobohkan Jokowi, ada kekuatan anti-Bhineka Tunggal Ika, ada aspirasi ISIS di demo 411, ada penggalangan people power ala 1998, dan berbagai isu lain yang menyeramkan.
Masalah pokok kita adalah skandal Ahok. Titik! Selesaikan secara cepat, tegas, transparan, dan adil sesuai janji Anda. Jangan melebar, jangan bermain api.
Bung Jokowi, jadilah bagian dari solusi. Jangan menjadi bagian dari masalah. Bravo!
__
Sumber: Republika