#MelawanLupa Ahok dan Ambisi Garuda di Teluk Jakarta - Oleh Farid Gaban


[portalpiyungan.co] Proyek kolosal Rp 300 triliun. Bisakah melindungi Jakarta dari banjir? Siapa rugi, siapa untung?

Jakarta akan menjadi kota pantai yang indah dan megah. Teluk Jakarta akan dihiasi pulau-pulau buatan, jalan, jembatan, dan dinding laut yang menyerupai gambaran burung garuda raksasa. Itu akan menyaingi “pulau palma” di Dubai, Uni Emirat Arab.

Setidaknya begitulah impian aparat pemerintah dan sejumlah pengusaha Jakarta. Megaproyek “Tanggul Laut Raksasa” (Giant Sea Wall) yang diperkirakan menelan dana Rp 300 triliun itu mulai dibangun Oktober 2014, lebih cepat enam tahun dari rencana semula.

Proyek ini pada intinya membangun bendungan di Teluk Jakarta. Tanggul raksasa dibangun untuk mencegah banjir rob, yakni masuknya air laut ke darat. Sekaligus menjadikannya bendungan penampung air dari belasan sungai yang bermuara di situ. Air tawar tersebut akan dipakai sebagai bahan baku air minum warga Jakarta.

Dalam bendungan itu akan ada 17 pulau hasil pengurukan laut. Seluas sekitar 5.100 hektare, daratan baru ini berisi berbagai bangunan megah apartemen, perkantoran, dan fasilitas komersial yang akan menjadikan Jakarta sebuah “Waterfront City” bertaraf internasional.

Digagas dan dipromosikan pertama kali oleh Gubernur Fauzi Bowo pada 2007, proyek ini beberapa kali ditunda akibat penolakan sejumlah aktivis lingkungan dan Kementerian Lingkungan Hidup.

Kini jalan lempang tergelar. Gubenur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mendukungnya. Demikian pula Presiden Joko Widodo.

Menurut Basuki, proyek itu akan melibatkan kerja sama dengan Pemerintah Kota Rotterdam, Belanda.

“Pemerintah Rotterdam mau memberikan pelatihan untuk mengelola kota pelabuhan. Belanda paling pengalaman soal itu,” katanya.

Belanda adalah negeri dengan sebagian besar tanahnya lebih rendah dari permukaan laut. Mereka membangun Tanggul Afsluitdijk, yang kini sudah berusia hampir satu abad.

April lalu Menteri Melanie Schultz van Haegen dari Belanda berkunjung di Jakarta untuk memaparkan rancangan setebal 1.400 halaman bertajuk “Pembangunan Kawasan Pesisir Terpadu” (National Capital Integrated Coastal Development).

Selain Belanda, Pemerintah Korea Selatan juga akan membantu untuk menyempurnakan desain proyek itu. Desain tak hanya berkonsentrasi pada wilayah hilir di lautan, tapi juga memadukannya dengan pembenahan sungai di hulu.

Pada 2010 Korea Selatan meresmikan Tanggul Laut Saemangeum sepanjang 33 kilometer di Teluk Seoul. Itu merupakan tanggul laut terpanjang di dunia.

“Panjang Saemangeum hampir sama dengan tanggul Jakarta yang direncanakan,” kata Taiyoung Cho, Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia.

Berdasarkan usulan konsultan Belanda, proyek itu akan didanai publik (pemerintah) dan swasta. Publik akan membiayai pembangunan tanggul laut dan pengerukan sungai, waduk, pompa, air bersih, air limbah, dan sanitasi, serta pemindahan permukiman. Investor swasta akan membiayai pembuatan pulau, jalan tol, dan pelabuhan.

Pemerintah Jakarta menilai proyek tanggul laut ini bisa memecahkan masalah banjir yang laten dan kronis. Permukaan air tanah kota ini terus turun akibat penyedotan air tanah secara besar-besaran, sementara permukaan laut justru naik akibat pemanasan global.

Pelibatan swasta dalam pembangunan, menurut pemerintah, diperlukan mengingat biaya tanggul sangat mahal. Swasta yang terlibat akan diberi izin menjual pulau-pulau buatan.

Namun, yang menjadi pertanyaan terpenting: benarkah ini akan menguntungkan warga Jakarta, atau sekadar memenuhi hasrat swasta untuk mencetak dan menjual tanah?

Muslim Muin, Ketua Kelompok Keahlian Teknik Kelautan Institut Teknologi Bandung (ITB), menilai proyek itu kurang berguna untuk mengatasi banjir.

“Tanggul laut raksasa justru akan memperparah banjir Jakarta, merusak lingkungan laut, dan mempercepat pendangkalan sungai,” katanya.

Bendungan raksasa di mulut-mulut sungai, menurut Muslim, akan memperlambat aliran air dan mempercepat pendangkalan, yang pada akhirnya memperparah banjir makin ke hulu.

Sohei Matsuno, profesor asal Jepang yang mengajar di sebuah universitas Palembang, mengatakan proyek itu “sebuah fantasi yang mudah dibayangkan, tetapi tidak layak dilaksanakan”.

Dalam makalah berjudul “Jakarta Flood Prevention With a True Cause”, Sohei menilai proyek itu sangat mahal. Pertama, fondasi tanggul laut Teluk Jakarta lebih dalam ketimbang tanggul Afsluitdijk di Belanda, artinya memerlukan biaya jauh lebih besar. Demikian pula biaya pengurukan pulau-pulaunya.

Kedua, menurut Sohei, akan sangat mahal pula biaya ekonomi dan sosial untuk memindahkan berbagai pemangku kepentingan di situ, termasuk nelayan dan mereka yang bertumpu hidup pada ekonomi pesisir.

Sohei memperkirakan, harga tanah di pulau-pulau buatan itu bisa mencapai Rp 40 juta per meter persegi akibat mahalnya biaya pembangunan proyek. Investor swasta yang terlibat hampir mustahil menyediakan lahan murah untuk orang-orang miskin yang tergusur. Mereka akan membangun pasar real estate kelas atas.

Kementerian Lingkungan Hidup pada 2003 menyebutkan pengurukan laut (reklamasi) akan merusak ekosistem Teluk Jakarta, menghilangkan sepenuhnya hutan mangrove. Padahal, hutan ini berperan penting sebagai benteng alami daratan dari gempuran air laut, tempat hunian beragam satwa khas, serta sebagai tempat berkembang biak aneka hewan laut. Pengurukan akan mengancam sektor perikanan lokal, tumpuan hidup nelayan, dan memicu konflik sosial.

Lembaga swadaya masyarakat Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan menilai pembangunan ini hanya modus melindungi properti perumahan, pergudangan swasta, dan kawasan elite. Sebaliknya, dua pelabuhan ikan tradisional akan ditutup dan puluhan bahkan ratusan ribu warga nelayan harus dipindahkan.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai proyek ini tidak masuk akal karena akan merusak lingkungan pantai Jakarta secara keseluruhan serta menyalahi konsep pembangunan maritim yang dipromosikan Presiden (terpilih) Joko Widodo.

“Proyek ini juga akan mengusir nelayan udang dan kerang yang memiliki tambak di pesisir pantai,” kata Ubaidillah, Direktur Eksekutif Walhi Jakarta. “Mereka akan tergusur secara perlahan-lahan.”

Walhi curiga proyek ini cuma sebuah skenario bagi para pengembang untuk membesarkan perusahaan mereka.

“Perlahan tapi pasti ruang publik di pantai Jakarta akan makin hilang, digantikan kawasan elite swasta,” kata Ubaidillah.

Para pengkritik proyek itu mengajukan saran yang lebih murah dan masuk akal. Sohei dan Muslim, misalnya, mengusulkan pembangunan tanggul pantai yang lebih sederhana pada daerah yang mengalami penurunan tanah serta mempertinggi tanggul sungai di daerah muara.

Suryono Herlambang, pakar perencanaan kota dari Universitas Tarumanegara, Jakarta, mengingatkan proyek pembangunan wilayah pesisir tidak bisa menyelesaikan semua masalah begitu saja. Menurut dia, prioritas harus diletakkan untuk mengevaluasi tata ruang kota Jakarta secara keseluruhan, memperbaiki kualitas sungai, menghentikan laju penggunaan air tanah, serta pengendalian lingkungan di kawasan hulu.

Sohei Matsuno setuju. Penyebab banjir Jakarta, menurut dia, sebenarnya bukan soal besar, melainkan soal kecil yang anak sekolah pun bisa mengerti. Namun, alih-alih menyelesaikan masalah yang relatif mudah, pemerintah justru mendorong solusi yang rumit, mahal, dan belum tentu efektif.

Sohei punya analogi yang menohok. “Membangun tanggul laut raksasa untuk mencegah banjir Jakarta ibarat memakai crane berkapasitas 100 ton untuk mengangkat amplop 100 gram.”

* Laporan Utama majalah The GeoTIMES edisi 26, 22-28 September 2014. Ditulis bersama Amanda Putri Tabrani

Baca juga :