Oleh: Dr Syahganda Nainggolan
(Pendiri Lembaga Kajian Sabang Merauke Circle)
Di antara rombongan massa yang melewati jalan-jalan disepanjang alur Demo 411 (4 November) Jumar lalu, barisan massa yang rapi bergerak ke arah Istana dari arah Bundaran HI, sambil melantunkan berbagai wirid dengan mulut berkomat kamit, tidal sedikitpun melihat ke kiri ke kanan. Saya mengenal zikir "Hasbunallah wa nikmal wakil" dan "Shalawat Badhar". Tapi ini bukan hanya orang pesantren atau tarekatlah yang mungkin hafal wirid mereka yang begitu panjang.
Saya menyampaikan pikiran saya kepada cucu pendiri Nahdatul Ulama, Bunda LiLi Wahid, pada malam 4 November tersebut, bahwa meskipun struktur NU melarang warganya turun ke jalan, namun bisa dipastikan sejuta massa Nahdatul Ulama sudah menyatu dengan sejuta massa Islam lainnya. Lili Wahid, hanya tersenyum, di antara semak-semak dan bau harum nasi dan logistik lainnya yang akan di pasoknya ke massa aksi. Wanita tua sederhana ini mengatakan bahwa struktur tidak mampu lagi mengontrol massanya.
Pada fenomena lain, atas undangan The Wahid Institute, pada 1 November, Sidney Jones, pengamat Islam dan Terorisme yang menjadi rujukan barat dan berita media-media barat, lantang memprediksi bahwa demo 411 hanyalah gerakan segelintir kaum "hardliner", radikal. Karena menurut Jones, gerakan ini hanyalah bagian dari ribut pilkada, di mana segelintir ummat Islam tidak bisa menerima agenda kebangsaan yang bercorak demokrasi, pluralistik, serta seakan tidak mau melihat kekuatan Ahok sebagai Gubernur yang sukses. Jones bahkan berpikir kelompok radikal itu hanya mungkin berjumlah puluhan ribu saja. (Jumlah yang mirip yang katanya disampaikan intelijen ke Presiden -red)
Meski tak ada tudingan atau sinayelemen Jones yang terbukti, namun dia sempat menghimbau agar ada gerakan gerakan tandingan yang melawan kaum radikalis ini. Himbauan Jones disambut dengan munculnya kegiatan pada 6 November, ketika ada gerakan aksi seribuan massa di Jakarta, yang mewakili berbagai ormas non Islam, yang dibuka Menteri Agama. Acara ini betajuk gerak jalan lintas umat beragama. (Juga rencana Aksi 19 November Parade Bhineka Tunggal Ika? -red)
Kegagalan Jones dalam memahami Islam di Indonesia, karena dia tidak bisa melihat tiga hal sebagai berikut:
(1). Islam di Indonesia tidak sama dengan di dunia Arab. Perbedaannya karena karakter masyakarat kita yang "tepo seliro", harmoni, memaafkan, dan lain sebagainya. Bersifat sangat inklusif. Kehadiran kaum radikal dan "Jihadis" yang bercorak timur tengah hanya mampu masuk sebagai bagian saja bukan sebagai mainstream gerakan ummat.
(2). Jones gagal melihat bahwa bagi mayoritas ummat Islam, Aksi 411 bukanlah persoalan pilkada. Urusan pilkada adalah politik kekuasaan. Bagi orang Islam, urusan membela ayat ayat Allah adalah panggilan akhirat, bukan dunia. Bagi pengamat barat, kegagalan mereka terlihat ketika menyamakan semua manusia dianalisis dalam dunia yang fana saja.
(3). Jones gagal melihat transformasi masyarakat dalam dunia baru, dunia dengan internet dan media sosial, di mana manusia manusia menemukan hirarki dirinya dalam struktur langsung di bawah Allah, bukan di bawah para ulama dan kyai. Sumber sumber ilmu yang bertebaran di internet yang diolah akalnya, membuat manusia menjadi mengenal Tuhannya secara langsung.
Dalam analogi hukum fisika (gerak elektron, gugusan atom-atom akan mencari inti atom agar ia menyerap energi) manusia mencari kemanusiannya yang lebih besar. Mencari melalui mencari Tuhannya. Kekuatan Allah.
Jutaan massa yang melimpah ruah 411 adalah hasil gerakan manusia itu yang bersifat langsung dengan Tuhannya. Mereka adalah manusia baru. Bukan konsumen media massa. Setiap orang ada produsen. Mereka ingin didengar. Dan kita, orang-orang Islam, melihat fenomena itu, sekali lagi, sebagai kekuatan Allah.
Ulama yang faham dengan situasi jaman "flat world" saat ini, berusaha untuk menjadi bagian "inti atom" sebagai perekat. Mereka berpikir kultural sebagai utama dan struktur sebagai sekunder. Ulama yang gagal memahami, akan tetap berpikir pola lama, berusaha merebut struktur dan melupakan kultur. Habib Rizieq, contohnya, ulama yang berpikir kultural.
Jones salah berpikir tentang Habib Rizieq dan masyarakat yang bergolak kemarin. Sehingga pesan Yenny Wahid (the Wahid Institute) dan Sidney Jones kepada dunia barat tentang demo 411 mengalami kesalahan total.
Lalu bagaimana dengan NU dan perubahan sikapnya. Dalam hal ini kita bisa mengaca pada sebuah pertemuan tanggal 8 November, berbagai orang saat membicarakan perubahan sikap Ketua PBNU Said Aqil Siradj, yang mendukung dan apresiasi demo 411.
Diminta komentarnya, Bunda Lili Wahid hanya tersenyum senyum. Saya menanyakan padanya kenapa Struktur NU berubah sikap dan pandangan setelah bertemu Jokowi pada dua hari lalu? Lili Wahid mengatakan bahwa NU struktur melihat realitas sejuta NU kultural bergerak dalam aksi 411. Buat mereka itu suatu keharusan untuk mengawal umatnya.
Memang sebenarnya peranan tokoh NU seperti KH Ma’ruf Amin, Rois Aam NU dan Habib Rizieq, tokoh kultural ahlussunnah wal jamaah, sangat sentral dalam gerakan 411 kemarin. Bahkan, orang-orang radikal dan yang sering distigmakan Wahabi dan Salafi meng "imami" fatwa MUI pimpinan KH Ma’ruf Amin dan pemimpin massa aksi Habib Rizieq. Lalu, bukankah NU sudah "lebih depan" dari non NU?
Pada hal lain terkait fenomena Pemilu Presiden Amerika Serikat, sekarang kita melihat adanya dua fenomena besar. Agama sebagai sumber perubahan sudah diperlihatkan Donald Trump dengan mengeksploitasi ajaran Kristen Evangelical di Amerika, dan dia terbukti menang meski sempat tak diunggulkan media massa dan lembaga survei. Dan kedua, di Indoenesia, gerakan jutaan ummat Islam pun telah mengubah Jokowi ke lingkungan yang lebih kanan, beberapa hari ini.
Semoga pilihan struktur NU kembali ke arah perjuangan massa rakyat Islam, akan mengawal perubahan perubahan besar bangsa ini ke depan. Dan Jokowi akan memilih jalan di "kanan" seterusnya.[]
Sumber: Republika