Aksi Super Damai 212: The Game is Over, Ahok
Tuntutan hukum atas penistaan agama berikut pemenjaraan pelakunya, kandidat gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama adalah "point of no return", hal yang tidak dapat dibalikkan lagi. Proses hukum atas Ahok tidak lagi dipandang sebagai semata proses hukum, namun lebih besar dari itu, ujian terbesar bagi eksistensi NKRI.
Pesaham terbesar bangsa ini, umat Islam ini tampaknya telah sampai kepada titik ujung karena pelbagai kontroversi yang diciptakan Ahok. Problem Ahok bukan semata isu penistaan agama, namun sebuah proses panjang hilangnya toleransi dan sikap.
Mari kita lihat dalam potretnya yang utuh. Sudah lama, banyak elemen umat yang tersinggung dengan pelbagai ucapan kasar Ahok, yang dianggap jauh dari nilai kesantunan dan lebih dari itu, menyinggung rasa keberagamaan mayoritas.
Setahun lalu, ditengah kejumawaannya, ketika dikritik karena membiarkan pesta bikini murid SMA, Ahok sama sekali tidak menunjukkan sikap menenggang dirinya, alih-alih menyerang para pengritiknya.
"Ini bukan negara syariah, kok. Kamu mau telanjang bulat atau tertutup, itu urusan kamu. Akan tetapi, kalau kamu melanggar perizinan, kami cabut. Aturan kami sangat jelas," (24/4/2015).
Ahok gagal melihat kritik tersebut semata sebagai isu moralitas dan kepantasan Indonesia. Alih-alih, dia menyebut prinsip-prinsip yang sangat personal bagi setiap Muslim dan mengaitkannya dengan isu negara.
Aspek sensitivitas ini pula yang gagal dijaga Ahok ketika melarang praktik penyembelihan hewan korban karena alasan sanitasi dan kebiasaan praktik berjilbab bagi para pelajar Muslim di Jakarta. Belum lagi, isu legalisasi minuman keras, larangan takbir keliling dan penggunaan Monas untuk kegiatan keagamaan hingga rencana pencabutan cuti bersama lebaran.
Seperti tidak terbendung, Ahok bahkan menyebut Muhammadiyah munafik karena menolak lokalisasi prostitusi yang direncanakannya. Sebagai gubernur di negara demokratis, Ahok kembali gagal melihat kritik dan ketidaksetujuan sebagai dialektika dan diskursus normal yang harus dihormati, tanpa perlu menuduh ataupun menghina, apalagi untuk organisasi Muslim besar seperti Muhammadiyah.
Jadi,problem Ahok lebih merupakan akumulasi protes dan ketidaksukaan mayoritas atas sikap dan pernyataannya selama ini yang dipandang menghina dan jauh dari sensitivitas. Kasus penistaan agama di Pulau Seribu menjadi tip of iceberg dan sekaligus point of return, ketika semua sentrum umat bertemu kepada logika dan kesimpulan yang sama. Umat tampaknya butuh bukti material yang supreme untuk menghukum Ahok dan itu ada dalam locus delicti Pulau Seribu.
Maka, pernyataan mantan ketua Muhammadiyah, Din Syamsuddin untuk memimpin perlawanan jika Ahok lolos dari jerat hukum serta adanya aksi susulan 212 ditengah upaya pencegahannya oleh aparat menjadi titik akhir perlawanan yang tidak dapat dibalikkan. Rakyat berhak protes dan mengawasinya dengan melotot kemungkinan zig-zagnya proses hukum atas Ahok yang dipersepsikan istimewa. Gelombang tuntutan hukum dan pemenjaraan Ahok kali ini sudah jauh melampaui isu hukum. Dia kini bahkan merefleksikan konstruksi politik keindonesiaan dan harga kebhinekaan itu sendiri.
Bagi saya, pelbagai aksi fenomenal ini dapat menjadi koreksi arah kehidupan berbangsa bernegara di masa depan karena dua hal:
Pertama, bahwa kepemimpinan yang tidak santun, bermulut kotor bukan konstruksi Indonesia yang ideal dari dulu dan sekarang, namun lebih merefleksikan potret ketidakberadaban yang harus ditolak.
Kedua, jangan tinggalkan umat Islam, karena eksistensi mereka menjadi sublimasi terpekat dari 'substance' Indonesia baik secara kesejarahan maupun konstitusional.
Oleh karena itu, eksistensi Ahok sudah tidak dapat lagi dipoles citranya oleh pelbagai media mainstream yang mendukungnya, manuver cyber army yang dipersiapkan atau bahkan opini keagamaan dari ormas mainstream yang ingin mencitrakan kampanye anti Ahok sebagai gerakan anti kebinekaan sehingga harus dibubarkan.
Secara rasional, eksistensi Ahok bagi siapapun yang berkepentingan, apakah itu para pemodal raksasa, elit politik atau bahkan Jokowi seharusnya sudah cukup cerdas untuk menganggap kandidasi sang gubernur petahana ini sebagai "liability" ketimbang asset. Itu kurang lebih hitung-hitungannya.
Untuk itu, kita katakan kepada Ahok, the game is over.
(Ahmad Dzakirin)