AKSI MASSA & Peran Besar Dalam Perjalanan Bangsa Indonesia


AKSI MASSA

Oleh: Kafil Yamin*
(Jurnalis)

SUKA tidak suka, aksi massa berperan besar dalam kehidupan bernegara kita. Beberapa kali pergantian pemerintahan besar berlangsung dengan melibatkan aksi massa.

Pemerintahan Orde Baru yang berusia lebih dari 3 dekade sebagiannya adalah hasil aksi massa terhadap Orde Lama-nya Soekarno.

Pemerintahan Reformasi, semua orang tau, adalah buah aksi massa terhadap Soeharto. Sebagian mereka yang duduk di kursi kekuasaan sejak masa reformasi adalah para demonstran. Di lembaga legislatif ada para pentolan aksi jalanan yang kemudian suaranya lembut syahdu 'nyaris tak terdengar; sebut saja Budiman Sujatmiko, Dita Indah Sari.

Aksi massa adalah ungkapan kehendak kolektif rakyat. Hanya ada dua cara menghadapinya, menampung atau menerima tuntutan yang diusung atau membungkamnya sama sekali. Cara yang terakhir ini perlu biaya mahal, seringkali perlu beberapa nyawa lepas dan darah tumpah. Dan selalu ada dampak jangka pendek-panjang darinya. Luka batin belum tentu bisa pulih setelah beberapa generasi, karena luka itu diwariskan tanpa bisa diawasi oleh kekuasaan.

Mereka yang menentang, mencaci aksi biasanya bukan karena tidak suka aksinya, tapi siapa yang beraksi dan isu apa yang diusungnya. Para pendukung Ahok tidak suka dan menentang aksi 411 dan 212 karena faktor pelaku aksi dan sasaran yang dituju. Kalau aksinya menuntut pembubaran FPI atau MUI mereka senang dan mungkin ikut bergabung.

Di bawah kepemimpinan almarmum Gus Dur dulu, NU sering melakukan pengerahan massa dalam istigotsah. Perhelatan itu menunjukkan besarnya massa NU dan karena itu harus mendapat tempat dalam supra struktur politik. Aksi istigotsah itu berdoa dan shalat bersama di lapangan terbuka, dan sering harus menggunakan jalan raya.

Kalau sekarang Kyai Said Aqil Siradj -- setelah ketemu Om James Ryadi dan Kapolri -- berfatwa bahwa jum'atan di jalan tidak sah dan demo itu mubadzir, "mending cari duit," itu karena penyelenggara aksi bukan NU. Ia sebetulnya menyalahi tradisi NU.

Pemerintah melalui Polri menentang aksi 212. Tapi TNI di bawah komando Jenderal Gatot Nurmantyo mengadakan 'Aksi Nusantara Bersatu' tanggal 30 November untuk menyatakan 'kebulatan tekad' tentang NKRI.

Tak terlalu sulit untuk memahami bahwa 'aksi' ini untuk menangkal aksi 212, karena dalam pernyataannya kepada media dia bilang "Aksi 212 itu untuk apa lagi?".

Yang perlu difahami oleh Gatot dan Tito adalah bahwa pengorganisasian massa oleh Pemerintah bukanlah aksi massa. Dan dalam konteksi demokrasi tidak ada aksi massa tanpa tuntutan kepada Pemerintah.

Negara-negara Komunis dulu senang mengerahkan massa untuk memuji-muji pemimpinnya. Itu bukan aksi massa.

Parade Kebhinekaan tanggal 19 lalu bukanlah aksi massa karena tak menyampaikan tuntutan apa pun kepada Pemerintah. Dan memang mereka menyebutnya Parade.

Aksi 212 adalah aksi massa yang menuntut Ahok mendapat perlakuan hukum yang sama dengan tersangka lain yang ditahan. Kalau Panglima TNI dan Kapolri masih bertanya "Untuk apa lagi?", sebetulnya mereka tahu jawabannya.

Tahan Ahok. Dijamin tidak akan ada aksi 212, tidak akan ada sosis mekar, eh, sasus makar. Dan menahan Ahok itu menjalankan konstitusi, menegakkan hukum dan menyelesaikan masalah tanpa biaya.

Membiarkannya bebas adalah mengingkari hukum, dan harus berkonflik dengan rakyatnya sendiri, mungkin berkonflik dengan hati nurani sendiri, dengan biaya besar pula.

Karena itu, saya mengusulkan materi doa bersama aksi 212 adalah mohon kepada Tuhan agar hati dan akal Kapolri diterangkan, diberi cahaya, sehingga wajah beliau jadi cerah seperti ketika menjamu para simpatisan Ahok di kantornya dan di foto-foto mesranya bersama Mas Basuki.

Andai saja Tito tau, kepolisian yang dipimpinnnya adalah hasil reformasi, dan reformasi adalah hasil aksi massa, mungkin ia tak akan menentang aksi, karena dulu kepolisian di bawah Pangab. Dan nama Tito mungkin tak terdengar.*

__
*Dari fb penulis


Baca juga :