by Rudi Wahyudi
(Peserta Aksi)
Sepertinya yang tidak ikut aksi kemarin akan menyesal karena berhalangan hadir. Pertama masuk saja ada suasana kebatinan yang tidak bisa digambarkan : haru, bahagia, semangat, dan beragam perasaan lain menjadi satu. Dan itu tampak pada semua wajah peserta aksi. Lelah tapi ada kenikmatan rohani. Kenikmatan yang rasanya membuat kita ingin lagi merasakannya.
Bagaimana tidak, sepanjang jalan kita melihat orang berduyun-duyun ke Istiqlal, baik yang jalan kaki, naik mobil bak, rombongan bus dan banyak lagi, berbaju putih, mengibarkan bendera, pekik takbir, saling menyapa walau tak kenal, saling bersalaman walau dari daerah yang berbeda-beda, saling memberi semangat. Anak-anak, orang tua, laki-laki, perempuan, orang kaya, pejabat, orang biasa, ulama, santri, bahkan wajah-wajah anak jalanan tumplek blek menuju satu titik komando: Istiqlal!
Mobil yang saya nahkodai membawa rombongan dari Cirebon sampai sulit mendapat parkir. Penuh di mana-mana, di Atrium Senen penuh bus dari daerah-daerah. Kita putar balik ke Wahidin pun penuh sampai Lapangan Banteng. Kita putar lagi menuju Salemba, mencoba parkir di al-Irsyad tidak bisa karena penuh ibu-ibu relawan dapur umum, DDII membludak akhirnya saya melambung ke arah Perintis Kemerdekaan, Pulogadung dan parkir di situ.
Ketika lantunan mars aksi bela al-Qur'an mulai dikumandangkan hati-hati bergetar, nampak dari wajah-wajah mereka. Sepanjang jalan, banyak sekali relawan membagi apa saja yang mereka punya, air minum, roti, nasi padang, apa saja. Halal halal, gratis buat yang aksi, seru mereka. Di Istiqlal, air minum mineral menumpuk begitu banyaknya.
(Merangkak. Iya, dia merangkak dan tetap ikut Aksi Bela Islam)
Ada yang menjaga taman agar tak diinjak, ada yang menyapu jalanan, ada yang memunguti sampah, semua! semua seperti berebut ingin melakukan yang terbaik di hari itu, hari yang bersejarah itu. Rapat akbar terbesar sepanjang sejarah republik ini, semua jiwa merasa satu, tujuan kita semua sama, membela al-Qur'an kita, tak ada lagi sekat-sekat perbedaan di situ. Sumatera, Jawa, Sunda, Aceh, NTB, Betawi dengan beragam mazhab semua merasa satu saudara. Engkau saudaraku, aku saudaramu, al-Qur'an menyatukan kita.
(Dari Bandung membawa tanaman pengganti kalau ada yang rusak)
Suasa langit begitu teduh, tidak hujan, tidak terik, mendung saja. Tidak seperti diprediskikan BMKG bahwa akan terjadi curah hujan besar, atau harapan sekutu Ahok. Bahkan, persiapan baju ganti yang dibawa pun akhirnya tidak terpakai. Banyak yang mengatakan bahwa itu tanda Allah memberkahi, meridhai, mereka semua yang ada di situ. Bila benar begitu, menangis badai lah kita semua. Siapa yang tidak ingin ridha Allah, semua para kekasih Allah mencari itu semua. Menangislah kita semua bahwa orang-orang "brengsek" dan kotor seperti kita ini bisa mendapat ridha Allah, Dzat yang amat agung, pencipta dan penguasa Kerajaan langit dan bumi. Karena keberkahan al-Qur'an, keberkahan berkumpul bersama para ulama dan para kekasih Allah. Duhai malangnya mereka yang tidak mendapatkan anugerah terbesar ini.
Perkumpulan besar kemarin benar-benar mendapat perlindungan Allah s.w.t. Siapa yang belajar psikologi massa pasti tahu orang disalip mobil saja bisa marah kalau dipepet, sebab setiap orang memiliki zona psikologis pribadi yang tidak boleh dimasuki orang yang tidak dikenal atau dia nyaman bersamanya. Kita akan mudah bergeser bila ada orang tak dikenal duduk terlalu mepet dengan kita, zona nyaman kita diambil. Karenanya, wajar bila setiap ada panggung hiburan, kesenggol dikit saja bisa tawuran. Zona nyaman mereka terusik. Tapi tidak pada hari kemarin, semua rela saling berbagi zona pribadinya, saling memberikan walau tak saling kenal, tiba-tiba semua kita merasa sudah kenal. Ada provokasi sana-sini, tapi pada akhirnya bisa dicegah, dan yang sempat meletup segera bisa dipadamkan.
Kalau bukan anugerah Allah, siapa bisa menenangkan dua seperti tiga juta manusia? Dangdutan RW Kampung yang ratusan orang saja bisa rusuh.
Khatimah, segala puji bagi Allah yang telah menyatukan kita semua.*
__
*dari status fb penulis