[portalpiyungan.co]
GEJALA BARU POLITIK UMMAT
Oleh: Fajar Arifianto
Pengamat Politik dan Keumatan
Salah satu catatan sejarah penting Orde Baru adalah adanya satu fase panjang dimana Rezim Penguasa berhadapan vis a vis dengan Politik Ummat (Islam). Meski di paruh terakhir kekuasaan Soeharto terjadi bulan madu dengan politik ummat, namun hal tersebut tidak menghasilkan konsolidasi kekuatan politik ummat Islam di Indonesia.
Memasuki era reformasi yang ditandai pergantian rezim penguasa dan dimulainya era demokrasi baru, benih-benih kekuatan politik ummat tumbuh secara fragmentatif. Ada dua poros kekuatan, yaitu; Ormas dan Parpol. Keduanya ditandai dengan menguatnya keberadaan ormas-ormas Islam (lama dan baru) dan bermunculannya sejumlah partai politik Islam dan yang berbasis ummat Islam.
Empat kali Pemilu di era reformasi masih belum mampu memunculkan satu kekuatan politik ummat yang besar dan memegang kendali kekuasaan. Kovergensi antara ormas Islam dan parpol Islam (dan atau berbasis ummat Islam) memang menguat. Namun fragmentasi yang menjadi ciri awal seringkali bergeser menjadi polarisasi ketika ada perbedaan dalam kebijakan koalisi politik dengan pemerintahan yang terbentuk paska pemilu. Hal yang sama juga dialami oleh ormas-ormas Islam.
Kenapa demikian? Setidaknya ada dua faktor yang bisa menjelaskan.
Pertama, sejak awal era reformasi nyaris tidak ada upaya sistematis dalam mengkonsolidasi kekuatan politik ummat. Baik konsolidasi ideologi, sosial maupun politik. Ego-sentrisme unsur-unsur kekuatan politik ummat masih jadi hambatan terbesar, selain adanya kekosongan tokoh besar ummat yang mampu berperan sebagai solidarity maker.
Kedua, secara ideologi politik, unsur-unsur kekuatan politik ummat -khususnya partai politiknya- cenderung bergeser ke tengah. Makin tampil sebagai partai politik yang moderat dan mengedepankan agenda kebangsaan. Hal ini makin memperkecil dan mempertipis diferensiasi antara partai Islam (dan atau berbasis ummat Islam) dengan partai-partai politik nasionalis (sekuker) lainnya.
Dua faktor ini yang menyebabkan agenda perjuangan politik ummat menjadi relatif cair. Unsur-unsur kekuatan politik ummat (ormas dan parpol) kadang bisa bertemu bersama untuk agenda atau isu tertentu, dan bisa saling berbeda posisi pada agenda atau isu lainnya.
Ada proses moderasi secara pragmatis yang dialami -khususnya- oleh partai-partai politik ummat. Dalam sistem pemerintahan yang menganut desentralisasi kekuasaan pusat dan daerah, maka ruang moderasi pragmatis menjadi sangat luas dan beragam mulai di tingkat pusat hingga daerah. Dan hal ini memungkinkan terjadinya aliansi taktis antar partai politik ummat dengan partai politik nasionalis sekuler secara lebih luas dan beragam.
Namun puritanisasi (ideologis) partai-partai politik ummat biasanya kembali terjadi saat-saat pemilu. Hal ini muncul karena puritanisasi ideologis (aliran) dibutuhkan untuk menjaga dan meyakinkan basis massa pemilih tradisionalnya. Dalam konteks ini identifikasi (bukan konvergensi) antara partai politik ummat dengan ormas-ormas Islam kerap muncul kuat. Misalnya PKB dengan NU-nya atau PAN dengan Muhammadiyah-nya.
Karakter fragmentasi, moderasi pragmatis dan puritanisasi taktis -sebagaimana dijelaskan di atas- terus mewarnai kehidupan politik ummat. Hal ini berkonsekuensi tidak pernah terkonsolidasinya unsur-unsur kekuatan politik ummat secara sistematis dan integratif. Konsekuensi derivatifnya adalah pada lemahnya kemampuan memenangkan kontestasi kepemimpinan nasional (juga lokal) dan lemahnya kemampuan mengadvokasi dan mengaggregasi kepentingan ummat.
Aksi 411
Ada hal menarik untuk membaca gejala sosial-politik baru keumatan. Yaitu membaca dari aksi damai 4 November. Yaitu terjadinya proses konsolidasi unsur-unsur kekuatan politik ummat yang berbasis ormas Islam non-mainstream. Keberhasilan menggalang dan memobilisasi lebih dari satu juta orang dalam aksi serempak, terkoordinir, dengan agenda isu yang sama, dikelola oleh model kepemimpinan kolektif dan diwarnai partisipasi mandiri serta mekanisme komunikasi baru via jejaring sosial dan jejaring media sosial. Ini satu gejala yang sangat penting dan menarik.
Apa karakter penting dari gejala kekuatan baru politik ummat ini?
Pertama, terjadi puritanisasi ideologis yg sangat kuat, namun dalam bingkai kesadaran akan nasionalisme. Merah-Purih, NKRI, Konstitusi, Demokrasi, Penegakan Hukum misalnya, menjadi kosa kata yang melampiri proses puritanisasi ideologis tersebut. Konteks ini berbeda secara kontras dengan puritanisasi unsur-unsur kekuatan politik ummat di era Orde Baru, khususnya fase 70-80an.
Puritanisasi (untuk mengindari penggunaan istilah fundamentalisasi) ideologis sesungguhnya berjalan di luar dan di dalam konteks aksi 4 November. Para habaib, ulama, asatiz dan aktivis muslim sejak lama bekerja di lapangan dakwah, pendidikan, sosial, keuangan dan media Islam. Mereka memiliki basis sosial masing-masing yang secara prosesual mengalami islamisasi. Isu "bela al-quran" menjadi kuat karena program dakwah dan pengajaran Al-Quran menjadi tren baik di masyarakat maupun media massa. Jadi saat aksi 4 November terjadi, sesungguhnya di tubuh ummat telah tumbuh modal ideologis dan modal sosial yang memadai. Proses puritanisasi ideologis ini akan terus berlangsung sejalan dengan ragam aktivitas yang dikelola para tokoh ummat ini.
Kedua, konvergensi yang mengarah kepada integrasi simbolis semua unsur-unsur kekuatan baru politik ummat. Lebih dari satu juta ummat yang terlibat dalam aksi 4 November, sesungguhnya berasal dari beragam organisasi, kelompok, aliran atau warga perorangan. Namun faktor yang menggerakkan menuju konvergensi dan integrasi tersebut adalah pada kesamaan isu atau agenda (ideologis) dan pengaruh kuat dari kepemimpinan kolektif sejumlah tokoh ummat.
Model Kepemimpinan Kolektif di atas merupakan karakter ketiga. Dalam aksi 4 November, kita melihat tidak muncul kepemimpinan tunggal, tetapi sejumlah tokoh ummat yang sudah dikenal luas tampil bersama. Fungsi dan kepemimpinan mereka terlihat jelas dalam keseluruhan proses aksi tersebut.
Menarik untuk sekilas mengulas mengenai kepemimpinan kolektif tokoh ummat ini. Kita sebut nama-nama seperti Habib Riziq Shihab, Ustaz Bachtiar Nasir, Ustaz Arifin Ilham, Ustaz Yusuf Mansur, dan beberapa tokoh Habaib dan Asatiz lainnya.
Mereka adalah tokoh yang dikenal luas oleh masyarakat, baik melalui aktivitas dakwah maupun kemunculannya di media massa. Masing-masing tokoh memiliki basis amal dan basis sosial yang berbeda. Kemampuan konsolidasi dan mobilisasi yang dilakukan model kepemimpinan kolektif ini juga unik. Mereka mampu menggerakkan beragam simpul komunitas ummat dan juga basis perorangan. Pemanfaatan ruang media juga sosial dilakukan secara masif. Media sosial ini digunakan sebagai sarana konsolidasi dan juga mobilisasi.
Karakter keempat, partisipasi mandiri. Memang benar bahwa lebih sejuta muslim yang ikut aksi 4 November belum bisa disebut sebagai pengikut atau penganut. Namun mereka semacam kerumunan yang berhasil dikonsolidasi dan dimobilisasi secara sistematis yang diwarnai proses puritanisasi dan integrasi oleh suatu kepemimpinan kolektif. Sebagai gerakan sosial, mereka berhasil bergerak dengan partisipasi mandiri -sesuatu yang biasanya muncul dalam gerakan revolusioner. Ada contoh kecil menarik. Seorang kawan yang memiliki usaha warung makan memposting di akun FB-nya ajakan partisipasi konsumsi aksi 4 November dengan harga 15 ribu (tanpa ambil untung). Hanya dalam waktu dua hari, dia berhasil menghimpun sekitar 120 juta rupih untuk menyiapkan 8000 paket konsumsi.
Lalu bagaimana relasi atau korelasi kekuatan politik baru ummat ini dengan Ormas Islam besar (seperti NU dan Muhammadiyah) dan Parpol Islam (baca: PPP, PKB, PKS dan PAN)?
Secara personal nampak ada komunikasi antar unsur-unsur tersebut. Tetapi secara kelembagaan, tidak terbangun hubungan yang bersifat afiliatif atau subordinatif. Dalam konteks aksi 4 November, Ormas NU dan Muhammadiyah serta Parpol Islam tidak menyatakan partisipasinya secara langsung. Tetapi mereka membuka ruang bagi anggota atau warganya untuk terlibat dalam aksi.
Habib Riziq dan Bachtiar Nasir dalam seruannya juga meminta agar Ormas dan Parpol yang ikut aksi tidak mengedepankan bendera organisasinya. Pada saat yang sama, para pimpinan Ormas dan Parpol Islam pun cenderung membatasi komunikasi dengan para tokoh aksi.
Saya menilai ada sikap hati-hati dari tokoh-tokoh kekuatan baru ini terhadap -khususnya- Parpol Islam. Kekhawatiran akan terjadi politisasi terhadap agenda, tujuan dan basis massa. Keberhasilan aksi 4 November (dari aspek konsolidasi dan mobilisasi massa dan agenda) akan memperkuat keyakinan diri, bobot dan posisi tawar kekuatan baru ini. Baik di hadapan rezim penguasa, ormas maupun parpol lainnya.
Bila aksi 4 November dikorelasikan dengan agenda Pilkada DKI Jakarta yang menjadi hajat parpol, kita sesungguhnya akan menemukan satu masalah serius dalam melihat hubungan di atas. Jauh sebelum penetapan pasangan calon, para tokoh ummat - yang juga menjadi tokoh aksi 4 november - mendorong Parpol Islam untuk bersepakat mengusung pasangan calon bersama. Karena secara teori, Ahok lebih mudah dikalahkan jika head-to-head dengan calon ummat. Walhasil, parpol Islam terbelah menjadi dua kubu dan dengan mengusung kandidat yang juga 'dipertanyakan' representasi keumatannya. Dugaan saya, hal inilah yang membuat para tokoh kekuatan baru politik ummat ini tidak mengambil posisi untuk memberikan dukungan secara terbuka kepada salah satu pasangan calon. Tetapi yang bisa dipastikan, mereka akan vis a vis dengan Ahok.
Apakah kekuatan baru ini akan berkembang menjadi Parpol? Menurut saya tidak dan sebaiknya tidak. Kekuatan baru ummat ini akan menjadi sel-sel kekuatan yang makin tumbuh kokoh dan dewasa. Bobot dan posisi politiknya akan terus menguat. Basis amal dan basis sosialnya akan meluas. Ia akan dinamis jika hidup sebagai sel-sel yang mandiri. Tetapi diikat dengan orientasi ideologis yang sama dan dipandu oleh kepemimpinan kolektif.
Apa pengaruh kekuatan baru ini terhadap fragmentasi pragmatis dan moderasi taktis yang masih dialami parpol Islam? Ini pertanyaan yang ingin saya sisakan karena waktu yang akan menjawabnya.[]