[portalpiyungan.co] Pengamat politik Fachri Ali yang terus terang mengaku pendukung Jokowi, dalam acara Satu Meja di Kompas TV semalam menyebut aksi 4 Nopember dilihat dari udara seperti pentas teater, konfigurasinya mengagumkan. Di lapangan, Fachri juga memuji koordinasi korlap yang rapi walaupun jumlah masa sangat besar.
Tidaklah berlebihan Fachri menyebut aksi 4 Nopember adalah demonstrasi yang belum pernah terjadi sebelumnya sepanjang sejarah, bukan cuma di Indonesia, tapi dunia. Menurutnya, inilah revolusi mental yang sesungguhnya, yang dilakukan oleh kelompok yang selama ini dituduh sebagai kelompok tukang marah-marah.
Fachri juga menyayangkan, kenapa media tidak menangkap spirit ini? Kenapa media tidak memberi apresiasi pada aksi yang luar biasa ini?
Harap maklum, media lagi sibuk membela wartawan yang dianggapnya teraniaya di tengah aksi itu. Aji (Alainsi Jurnalis Independen) mengecam insiden kekerasan yang menimpa jurnalis Kompas TV dan Kompas.com pada saat demonstrasi 4 November 2016. Peristiwa tersebut dianggapnya telah menodai demokrasi dan kebebasan pers, seperti yang diberitakan http://www.gatra.com/fokus-berita-1/226719-aji-minta-polisi-usut-pelaku-kekerasan-pada-wartawan-saat-aksi-411.
Di Indramayu, jurnalis Metro TV, Dedi Musashi dan rekan-rekannya sibuk melaporkan dugaan hate speech akun Facebook dengan nama Amalia Syafiani. Pasalnya, sang pemilik akun mengunggah foto-foto reporter Metro TV saat peliputan aksi bela Islam 4 November kemarin yang tanpa memakai atribut seragam, dengan sebutan pengecut ."Akun tersebut mengatakan bahwa Metro TV sama pengecutnya dengan junjungannya, Jokowi," kata Dedy. Sepeti diberitakan http://www.cimanuk.net/2016/11/dugaan-hate-speech-terhadap-media.html.
Okelah, laporan sudah dilayangkan. Biarlah polisi bekerja. Sekarang giliran saya bertanya, siapa yang mau melaporkan ujaran kebencian yang hampir setiap hari masuk ke dalam rumah kita melalaui layar kaca?
Ujaran kebencian pada agama tertentu, segala macam tuduhan sebagai anti keberagaman, anti NKRI, yang terus menerus dipaksakan pada setiap peristiwa, wabil khusus aksi 4 Nopember. Belum lagi “kekerasan” pemaksaan informasi sesuai pesanan pemilik modal, dalam hal ini pemilik stasiun TV.
Kita seperti dipaksa menonton ocehan mereka soal kebangsaan menurut versinya sambil menyindir kaum agamawan yang dianggap miskin sikap kebangsaan.
Kalau ada yang mengusulkan, kalau nggak suka ya ganti chanel saja. Pertanyaanya, chanel yang mana? Semua dikuasia oleh pemilik partai politik.
Siapa yang mau melaporkan “kekerasan” hak mendapat informasi yang berimbang? Sementara Dewan Pers duduk anteng menunggu laporan, dan AJI sibuk membela anggotanya. AJI memang sedikit lebih galak dibanding yang satu itu, tapi tetap saja galaknya cuma sebatas wacana. Memangnya siapa berani melawan pemilik modal? Mau dapur nggak ngebul?
Pernyataan tajam Fachri Ali di atas (Kenapa media tidak memberi apresiasi pada aksi yang luar biasa ini?) bikin pembawa acara Kompas TV mukanya sedikit berubah dan manggut-manggut nggak jelas. Sama halnya ketika Muhammadiyah dan Panglima TNI bikin senyum manis Najwa Shihab berubah pucat, sinar matanya meredup. Hal itu cukup membuat penonton senang. Tapi tokoh, pengamat yang berani bicara apa adanya seperti mereka kan jarang. Lakone opo?
(Balya Nur)
Sumber: fb penulis