REKLAMASI DAKWAH ALA PIMPINAN PKS


REKLAMASI DAKWAH ALA PIMPINAN PKS

Cukup kaget saya menyimak respon kader atas tulisan "TENGGELAM BERSAMA PKS". Ternyata cukup banyak kader senior seusia dan seangkatan saya yang mengiyakan. Apalagi yang muda-muda pengagum akh Fahri Hamzah. Pertanyaan-pertanyaan kecil yang saya angkat di tulisan itu ternyata mewakili pertanyaan sekaligus gugatan di benak mereka. Namun sayang ada kesungkanan untuk mengungkapkan, apalagi secara terbuka.

Satu pelajaran yang saya dapatkan dan saksikan bahwa dakwah ini dari waktu ke waktu melangkah semakin terbuka dan menjelajahi ruang yang semakin luas. Saya ingat ungkapan seorang syech jamaah ini: "Kita ini ibarat air yang mengalir dari gunung menuju lembah. Lalu menelusuri parit dan pematang. Terus mengalir bertemu dalam sungai yang menyusuri desa dan kota. Hingga bermuara di pantai. Kita terus bergerak menuju lautan dan bahkan menjangkau samudera."

Hingga masa kepemimpinan PKS sebelumnya, sangat terasa bagaimana dakwah ini seperti air di sungai-sungai yang mengitari desa dan kota. Seperti lautan yang mengelilingi pulau-pulau nusantara. Dan samudera dunia pun begitu dekat. Para tokoh dan pimpinan dakwah ini hadir bersuara di semua penjuru. Nyaring dan terlihat jelas.

Tapi saat ini saya melihat -dari kejauhan- ada yang berubah. Pergantian kepemimpinan di partai bukan lagi sebagai proses estafeta kepemimpinan. Tapi saya ibaratkan seperti proyek reklamasi besar-besaran. Mirip proyek reklamasi ala Ahok di pantai utara Jakarta.

Pimpinan PKS sekarang nampak ingin membongkar semua yang ada -yang puluhan tahun dibangun secara bertahap dengan perjuangan puluhan ribu kadernya- untuk diganti dengan sesuatu yang baru. Mungkin dalam pikiran mereka, bangunan baru itu sesuatu yang jauh lebih besar, indah, modern dan berjaya.

1. Reklamasi Doktrin Dakwah dan Politik

"Selama ini politik terlalu mendominasi aktivitas kita. Saatnya sekarang menjadikan dakwah sebagai panglima". Begitu taujih pertama yang sampai ke liqo saya. Saya sontak bingung. Sejak kapan kita membedakan dakwah dengan politik? Bukankah prinsip kita adalah Syumuliyatul Islam? Bukankah sejak hijrah ke Madinah, Rasulullah SAW disibukkan hari-harinya dengan agenda politik dan jihad? Selama kita berpolitik, saya lihat tarbiyah pekanan tetap jalan, para khotib kita terus berdakwah, sekolah-sekolah Islam kita terus mendidik siswa dan santri. Lembaga ziswaf juga makin meningkat perolehan zakatnya. Bahkan pesantren kita terus bertambah. Kalau dakwah sebagai panglima, kita kalah dengan Jamaah Tabligh. Mereka bahkan menjauhi politik. Kita juga kalah dengan NU dan Muhammadiyah karena mereka pisahkan dakwah dengan politik. Persis seperti reklamasi ala ahok, pimpinan PKS sedang bongkar paksa doktrin syumuliyatul islam di jiwa dan pikiran kadernya.

2. Reklamasi Dakwah Struktural dan Kultural

Melanjutkan doktrin baru dakwah sebagai panglima, muncul pemilahan antara dakwah struktural dan kultural. Saya saja sampai sekarang bingung, orang seperti saya ini masuk golongan struktural atau kultural? Waktu Ustaz Hilmi jadi ketua Majlis Syuro pernah dijelaskan doktrin tarbiyah PKS: merekrut dari masyarakat kepada partai dan merekrut dari partai kepada jamaah. Nah sekarang ada pemilahan dakwah partai dengan dakwah jamaah. Apakah nanti boleh ada kader jamaah tapi jadi kader partai lain? Atau apakah boleh ada kader partai lain jadi kader jamaah? Kalau boleh berarti PKS sedang mengarah menjadi jamiyyah seperti NU atau Muhammadiyah dong.

3. Reklamasi Hubungan Qiyadah dan Jundiyah

Dulu sejak awak tarbiyah kita diajarkan prinsip loyalitas kepada Allah dan Rasulullah sebagai landasan loyalitas kepada Jamaah dan Qiyadah. Lalu ustaz Hilmi pernah menasehati bahwa Jamaah ini hanya mampu mengikat hati dan pikiran orang. Karena kita bukan negara yang harus menjamin nafkah dan kehidupan warganya. Itulah kondisi yang puluhan tahun saya jalani dan nikmati. Ukhuwah dan cinta mewarnai loyalitas kita kepada jamaah dan qiyadahnya. Saya ingat betul ketika PKS kena musibah karena ustadz Luthfi ditangkap KPK, beliau (ust Anis Matta, presiden PKS baru) maju di depan menyemangati kader, mengarahkan pengurus di semua daerah. Dan setelah memberikan arahan beliau juga membekali pengurus dengan dana perjuangan. Semua kita semangat dan bergerak. Bahkan ketika bicara tentang kasus Ustaz Luthfi, saya ingat ucapan beliau: "ana uhibbuka fillah..". Sungguh luar biasa.

Tapi sekarang mulai berubah. Hubungan qiyadah dan jundiyah sudah seperti atasan dan bawahan. Perintah, instruksi, ketaatan, sanksi menjadi kosa kata yang menjamur. Kader mulai takut beda pendapat karena ada kader kepanduan yang bisa melaporkan rekaman pembicaraan dan mengcapture chatting di WA group. Agenda qadhaya di usroh juga mulai jaga-jaga omongan. Karena takut dilaporkan kaderisasi ke BPDO. Menyambung silaturahim mulai diseleksi. Bahkan ada larangan untuk tidak berhubungan dengan ikhwah-ikhwah tertentu. Padahal dalam dakwah, makhluk syetan pun harus kita datangi. Firaun saja harus didatangi nabi Musa dan bicara dengan lemah lembut.
Apa ini model hubungan baru qiyadah dan jundiyah dalam jamaah yang menjadikan dakwah sebagai panglima?

4. Reklamasi Tokoh Kepemimpinan

Sampai sekarang saya masih bertanya-tanya kenapa ustaz Anis Matta tidak dilibatkan jadi pengurus partai? Saya masih menilai beliau pantas dan cocok jadi Presiden PKS. Tapi kalau ketua Majelis Syuro baru menginginkan pergantian jajaran pimpinan, kenapa terkesan ada sapu bersih? Apa iya ustaz Anis Matta kotor? Ustaz Fahri Hamzah kotor? Ustaz Taufik Rido kotor? Ustaz Musyaffa Rahim kotor? Dan ustaz-ustaz yang lainnya yang selama ini kami kenal baik, dekat, jelas kiprah dan kemampuannya? Kok pimpinan PKS sekarang seperti gubernur atau bupati yang menang pilkada, lalu langsung ganti kepala-kepala dinas sampai kepala sekolah pun ikut diganti dengan "orang-orangnya"? Katanya politik jangan jadi panglima, tapi cara pergantian jajaran pimpinan PKS terlihat sangat politis. Sebagai kader yang lumayan senior, saya makin pening.

5. Reklamasi Jamaah dan Negara

Dulu ketika berbicara tentang jamaah, doktrin yang diajarkan ke saya adalah kita ini "Jamaah min jama-atil muslimin". Artinya kita ini hanya bagian dari keseluruhan jamaah kaum muslimin di Indonesia, dst. Lalu bicara tentang negara kita dijelaskan bahwa negara adalah rumah besar kita dan kaum muslimin paling berhak untuk mengisi dan memimpinnya. Artinya PKS itu bagian dari umat Islam Indonesia, dan ummat Islam ini bagian dari negara.

Menurut akal saya yang cetek ilmunya, artinya prinsip ini juga berlaku di bidang hukum. Dulu awal 80-an saya sempet bakar KTP dan singkirkan apapun lambang garuda dari rumah. Di kantor pun gak pernah mau ikut upacara bendera (maklum PNS yang pensiun dini). Tapi sekarang saya lihat para qiyadah kita khusyu ikut upacara bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Saya pun sudah punya e-KTP lagi. Anak-anak saya pun sudah hapal lagu Indonesia Raya.

Tapi saya terheran-heran. Kenapa dalam kasus pemecatan Fahri Hamzah, pimpinan PKS malah mendoktrin kader bahwa hukum jamaah tidak bisa diintervensi oleh hukum negara? Dan kader didoktrin bahwa upaya hukum Fahri Hamzah merupakan tanda pengkhianatan terhadap aturan organisasi partai? Makin bingung saya. Giliran pemilu kita ikut UU negara. Giliran ambil dana bantuan parpol kita ikut UU negara. Eh giliran bersengketa kita maunya ikut aturan sendiri saja?

Belakangan beredar kabar bahwa BPDO membuat peraturan bahwa keputusan-keputusan partai tidak boleh diperkarakan secara hukum negara. Wah berarti pimpinan PKS sekarang sedang lakukan reklamasi hukum yang luar biasa, negara dalam negara. Bisa-bisa kita kader kena getahnya karena dianggap makar terhadap negara. Nasib kader seperti saya bisa seperti pengikut Gulen di Turki yang ditangkapi Erdogan?

6. Reklamasi Jabatan Publik

Dulu kita bangga dengan prinsip dan teladan tidak rangkap jabatan buat pejabat publik. Saya salut saat ustaz Anis Matta mundur dari jabatan wakil ketua DPR karena menjadi presiden partai. Eh sekarang berubah ya? Presiden PKS masih duduk di DPR. Saya khawatir musuh-musuh kita nanti membidik beliau karena jarang hadir di DPR. Itu bisa jadi amunisi perang isu pada pemilu y.a.d.

Saya pernah mendengar di Bandung - hapunten abdi urang sunda teu sopan nya - presiden PKS akan perjuangkan sistem pemilu tertutup proporsional (maaf kalau salah istilah). Jadi bukan terbuka lagi. Pekan lalu dari naqib ana dengar kalau DPP sudah buat aturan bagi caleg yang sudah 3x tidak boleh dicalonkan lagi. Bagi caleg yang sudah 2x jika terpilih hanya boleh di Legislatif 2 tahun saja lalu PAW.

Di daerah saya, PKS punya aleg ikhwan dan akhwat yang luar biasa kiprahnya. Perhatian dengan struktur, kader, tarbiyah dan aktif di masyarakat. Tapi mereka saat ini sudah 2x dan ada yang 3x jabatan. Apa mereka nanti akan diganti semua dengan caleg baru? Yang belum dikenal masyarakat dan belum punya tabungan pemilu? Jangan-jangan PKS di pemilu 2019 amblas suaranya gara-gara pemain lama mundur diganti pemain baru. Tapi anehnya, banyak pimpinan PKS tetap rangkap jabatan ya?

Ini beberapa hal yang saya amati proses perubahan di PKS. Reklamasi ala PKS yang mirip-mirip reklamasi ala Ahok. Membabi-buta, obsesi besar, bongkar paksa, tambal-sulam, gonta-ganti kebijakan dan peraturan. Dan yang paling serius, reklamasi yang gak pernah dipikirkan dampak ke depannya.

6 Oktober 2016

Abu Slamet Wijoyo


Baca juga :