Memimpin di Era Milenial Digital | Oleh: Ridwan Kamil


Oleh: Ridwan Kamil*
(Arsitek, Wali Kota Bandung, Jawa Barat)

"Tiap jaman ada pemimpinnya dan tiap pemimpin akan ada jamannya."

Begitulah kira-kira kata pepatah. Ada jamannya memimpin di era penjajahan ala Sukarno, memimpin di era transisi ala Mahathir, memimpin di era euforia demokrasi ala Gus Dur, dan memimpin di era milenial digital ala Obama.

Tiap jaman punya cara dan ekspektasi. Dahulu masyarakat butuh pemimpin dengan imaji panglima perang nan gagah memimpin di depan. Hari ini masyarakat mengharapkan pemimpin yang berbaur bergaya rakyat kebanyakan. Tidak gaptek dan mampu hadir memimpin di tengah.

Sejak dulu nilai dasar seorang pemimpin tidaklah berubah. Ia diharapkan berintegritas, visioner, berani, pengambil resiko, pemberi solusi, dan lainnya.

Namun, hari ini yang dicari adalah nilai tambah. Seberapa relevan gaya dan cara memimpin di jaman yang serba transparan, serba cepat, serba interaktif. Di jaman milenial digital ini, pujian dan nyinyiran kepada pemimpin saling bersahutan dalam hitungan detik.

Itulah tantangan memimpin di era milenial. Memimpin di hari ini harus ekstra sabar dan jangan geeran. Jika dipuji jangan terbang dan jika dicaci jangan tumbang.

Tiga tahun memimpin kota Bandung sebagai wali kota, saya menemukan bahwa kepemimpinan yang efektif dan relevan di tingkat kota adalah dengan filosofi "Ing Madya Mangun Karso". Memimpin dari tengah.

Jika posisi pemimpin di tengah, ia bisa mendorong pasukan agar lari atau melompat ke depan. Juga sekaligus menyeret pasukan yang lambat tertinggal di belakang.

Artinya hari ini, jika progres ingin hadir cepat, seorang wali kota harus banyak berada di lapangan, tidak melulu duduk manis di belakang meja.

Sidak urusan KTP di kecamatan, bertangan kotor ikut membersihkan jalanan, menertibkan PKL liar, mengecek proyek taman dan bangunan dan lainnya.

Dengan cara itu sistem akan lebih cepat membaik, karena pemimpin dipersepsi selalu berada di tengah pasukan. Pasukan merasa selalu diawasi. Pasukan termotivasi.

Itulah kenapa saya banyak di lapangan. Salah satunya dengan bersepeda. Dengan cara ini di perjalanan bisa menemukan langsung problem lapangan. Bisa bertegur sapa dengan warga.

Itulah kenapa saya ikut Gerakan Pungut Sampah, memotivasi para pelajar sekolah tiap Senin, Rabu, Jumat.

Itulah kenapa saya turun melatih birokrasi tentang pentingnya media sosial untuk berkomunikasi interaktif dan merespon cepat keluhan publik.

Filosofi "Ing Madya Mangun Karso" ini di Bandung, alhamdulillah berhasil mengakselerasi perubahan. Setelah 3 tahun, pelayanan publik dari rapor merah sudah menjadi hijau.

Akuntabilitas kinerja birokrasi dari peringkat ratusan melompat ke peringkat 1 nasional. Adipura hadir lagi setelah 17 tahun absen. Smartcity sudah ranking 1. Indeks kebahagiaan warga naik tinggi ke skor 71.

Memimpin di tengah berarti pemimpin terasa hadir lahir batin dalam sistem. Memimpin hari ini harus bisa menjadi sopir sekaligus montir.

Wali kota, bupati, gubernur, dan presiden hari ini dipilih langsung oleh rakyat. Artinya secara emosional, terjadi hubungan tanggung jawab yang langsung dan hubungan batin yang kuat.

Rakyat di era milenial, dengan keseharian internet dan media sosial, bisa mengawasi dan mengomentari langsung semua jejak langkah harian para pemimpinnya. Sebuah interaksi e-demokrasi.

Demokrasi langsung Indonesia dengan one man one vote ini memberi banyak dinamika. Siapa pun hari ini bisa terpilih menjadi pemimpin selama mampu memikat hati para pemilih.

Sisi lainnya, ternyata pemimpin tidak hanya dipilih karena rasionalitas rekam jejaknya. Ada juga pemimpin terpilih karena hal-hal emosional seperti karena penampilannya, karena agamanya, kesukuannya, atau karena bagi-bagi duitnya.

Namun di sisi lain, demokrasi langsung ini berbahaya jika berada di masyarakat yang tidak siap. Masyarakat secara emosional terkadang memaksa pemimpin untuk mengikuti maunya, walau bertentangan dengan hukum formal.

Di sinilah tantangan kepemimpinan hari ini. Karenanya demokrasi terdidik menjadi penting agar tidak jatuh pada tirani populisme.

Karenanya, pemimpin juga harus berani melawan arus jika keputusan publiknya yang sudah memenuhi rasa etika keadilan dan hukum masih juga diprotes mayoritas publik yang emosional.

Contoh paling sering adalah kasus-kasus penertiban kampung liar ilegal yang seringkali ditolak warga, padahal sudah diberi ruang dialog, pengertian, dan diberikan hunian pengganti.

Dalam demokrasi hari ini , banyak warga yang menginginkan perubahan namun tidak mau ikut proses pahitnya.

Ingin maju seperti Singapura namun tidak mau ikut dalam perombakan infrastrukturnya. Ingin hebat seperti Jepang, namun tidak mau ikut dalam revolusi mentalnya. Padahal untuk hidup sehat terkadang harus makan obat pahit.

Karenanya pemimpin yang kalah determinasi akan selalu terjebak dalam populisme mayoritas. Karena sebaik-baiknya pemimpin adalah pemimpin yang adil dan berani.

Pemimpin hari ini diharapkan memiliki kedekatan emosional dengan rakyat. Untuk budaya timur yang menghargai silaturahim, kehadiran emosional pemimpin sangatlah diapresiasi.

Namun kedekatan di era milenial tidaklah harus secara fisikal namun bisa secara digital. Jauh tapi dekat.

Secara fisikal, terinspirasi teladan Umar bin Khatab, di Bandung dibangun tradisi, pemimpin dari wali kota sampai camat lurah untuk rutin bersilaturahmi mingguan.

Setiap minggu kami membawa makan malam untuk keluarga miskin kota. Camat dan lurah diwajibkan salat Jumat di tiap masjid berbeda dan malam minggu menonton layar tancep bersama warga.

Kami juga rutin menjadi pembina upacara tiap Senin pagi di sekolah-sekolah, membentengi moral para pelajar dengan nasehat dan tatap muka.

Di era milenial ini, warga di Bandung bisa melapor, mengeluh, dan memberi nilai rapor kinerja birokrasi melalui telepon genggamnya.

Hari ini wali kota, camat, dan lurah di Kota Bandung memiliki akun media sosial untuk menjawab pertanyaan warga, mem-posting agenda kerja, merespon keluhan harian, dan mengedukasi warga.

Setiap hari minimal ada 200-an berita harian ter-posting di semua akun digital unit kerja pemerintah Kota Bandung. Ujung dari semua ini adalah lahirnya aspek termahal dalam politik yaitu trust atau rasa percaya dari warga kepada pemerintah.

Di era milenial ini, media sosial adalah alun-alun publik digital. Caci-maki dan puja-puji datang silih berganti dalam hitungan detik.

Di Bandung, masyarakat membuat forum Facebook "Ridwan Kamil Watch" (RKW), isinya adalah kritikan dan masukan, namun tidak sedikit caci-maki. Susah dibedakan mana komen orisinil mana pesanan. Semua serba mungkin.

Karenanya pemimpin era milenial harus paham bahwa konstituennya hari ini rata-rata 'digital native' alias serba digital.

Para pemimpin jadul gagap teknologi yang merupakan 'digitial migrant' harus cepat beradaptasi. Siapa yang masih tertatih dengan dunia teknologi dan komunikasi menjadi kurang relevan dan akan ditinggal konstituen.

Politik di era milenial juga sarat dengan ekstrimitas. Media sosial juga sering digunakan untuk menyerang lawan politik dengan kasar. Menista pemimpin dengan bersembunyi di akun anonim adalah hal lazim.

Siap-siap disuruh mirip Erdogan. Siap-siap diadukonteskan antar-sesama pemimpin, seolah kompetisi putri kecantikan. Siap-siap dimaki dengan kutipan judul berita online. Bahkan hari ini lahir istilah buzzer politik sebagai akun promosi politik. Ada yang orisinil, ada yang berbayar.

Jika hanya mempromosikan visi dan rekam jejak jagoannya tidaklah masalah. Namun hari ini, akun buzzer politik bisa berpola negatif. Tugasnya secara profesional dan konsisten merendahkan dan menistakan lawan politik.

Saking rutin dan ekstrimnya ada yang menyebut sebagai teroris sosmed. Sebuah dampak negatif era digital yang harus dilawan.

Namun jika menguasai komunikasi politik via media sosial, pemimpin hari ini diuntungkan dengan peluang kesetaraan informasi.

Berita buruk dari media umum bisa dijawab dengan postingan tandingan. Fitnah satu arah bisa diklarifikasi dengan postingan bantahan. Teroris sosmed bisa didebat langsung.

Dengan pola serba cepat dan transparan ini, pemimpin era milenial harus bersiap dengan resiko persepsi. Kinerja terberitakan disebut pencitraan. Tidak terberitakan disebut tidak ada kinerja.

Namun kepemimpinan yang disukai hari ini tetaplah kepemimpinan yang menyentuh hati rakyat.

Kepemimpinan yang memotivasi bukan memaki. Kepemimpinan yang menggerakkan bukan memerintahkan. Kepemimpinan yang merangkul bukan memukul. Kepemimpinan yang turun tangan bukan tunjuk tangan.

Kepemimpinan yang terbaik adalah kepemimpinan dengan keteladanan. The best leadership is leadership by example.

Setiap kita adalah pemimpin. Ada yang hanya memimpin dirinya sendiri. Ada yang memimpin keluarga dan ada yang berkesempatan memimpin masyarakat.

Secara sederhana, tugas pemimpin masyarakat hanyalah dua: dengan ideologi menggerakkan masyarakat dan dengan inovasi menghadirkan perubahan.

Mari menjadi pemimpin yang tidak pernah lelah untuk mencintai Indonesia. Mari jadi pemimpin yang relevan untuk jamannya.*

*Sumber: http://regional.kompas.com/read/2016/10/14/13000091/memimpin.di.era.milenial.digital


Baca juga :