Manhaj Para Nabi: 3 Kisah Inspiratif Kepemimpinan


Oleh Abu Slamet Wijoyo 

Diantara manhaj para Nabi ‘alaihimush-shalatu wassalam adalah:

1.  Menyebar luaskan ketenangan (اَلطُّمَأْنِيْنَةُ), bukan menebar ketakutan, kecemasan, dan kengerian

2.  Menyebar luaskan sikap positif (اَلإِيْجَابِيَّةُ), mengajak untuk bersikap positif, berfikir positif, dan mengajak untuk aktif, tidak diam dan tidak pasif. Bukan sebaliknya, membuat orang lain lemah, lemes, lesu dan masa bodoh dengan apa yang sedang terjadi.

3.  Menyebar luaskan optimis (اَلتَّفَاؤُلُ), bahwa masih ada harapan, jangan berduka, jangan melemah, jangan loyo, jangan melempem.

Perhatikan cerita-cerita di bawah ini:

Pertama: Cerita Bunyamin dan Yusuf (AS)

Bunyamin, adalah salah seorang anak nabi Ya’kub (AS). Dalam kehidupan kesehariannya, ia merasakan betul “kejahatan” saudara-saudaranya. Terutama kepada saudara kandungnya, nabi Yusuf (AS), yang mengakibatkan “hilangnya” saudara kandungnya itu, yang ia sendiri tidak mengetahui persis bagaimana nasib saudara kandungnya itu.

Tiba-tiba, karena sesuatu dan lain hal, saat Bunyamin berada di Mesir, ia diberi waktu dan kesempatan khusus untuk berjumpa dengan seorang petinggi Mesir. Hal ini tentu sangat mengejutkannya, dan bisa jadi ada rasa takut yang menyelinap ke dalam dirinya.

Belum hilang perasaan terkejut campur tanda tanya, campur takut itu, tiba-tiba ia dikejutkan lagi oleh sebuah pengakuan dari sang petinggi Mesir, pengakuan yang sama sekali tidak pernah diduganya. Pengakuan bahwa sang petinggi Mesir itu adalah saudara kandungnya, Yusuf (AS).

Dalam keadaan dan situasi seperti ini, tentu semakin tidak karuan perasaan Bunyamin. Dalam keadaan dan situasi seperti itulah, sang nabi, yaitu nabi Yusuf (AS) berkata kepadanya:

فَلَا تَبْتَئِسْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"...Maka, janganlah kamu berdukacita terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (Q.S. Yusuf: 69)

Sungguh, thuma’ninah, ijabiyah dan tafa-ul langsung mengalir ke dalam diri Bunyamin.

Kedua: Syaikhu Madyan dan Nabi Musa (AS)

Coba bayangkan, seperti apa perasaan nabiyullah Musa (AS), sebelum beliau menjadi nabi dan Rasul, beliau tiba-tiba berstatus: buronan, wanted. Dengan tuduhan kejahatan yang tidak tanggung-tanggung: “telah membunuh seorang Koptik Mesir”, satu bangsa dengan Fir’aun, padahal beliau adalah seorang dari Bani Israil. Sedangkan, pada zaman itu, rezim koptik memperbudak Bani Israil.

Nabi Musa (AS) pun “melarikan diri” sejauh-jauhnya dari jangkauan kekuasaan rezim Fir’aun. Dan tentu, “melarikan diri” dengan membawa berbagai perasaan yang campur aduk menjadi satu, yang utamanya adalah rasa takut.

Di saat seperti itulah, syaikhu Madyan (sebagian ulama’ berpendapat bahwa dia adalah nabiyullah Syu’aib [AS]) berkata kepada nabi Musa (AS):

لَا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

"Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu". (Q.S. Al-Qashash: 25)

Sungguh, thuma’ninah, ijabiyah dan tafa-ul langsung mengalir ke dalam diri nabiyullah Musa (AS).

Ketiga: Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq

Perjalanan dakwah dan perjuangan nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, sampailah kepada satu titik yang sangat rawan dan “mengerikan”: mayoritas anak suku Quraisy menghendaki dan bersepakat jahat hendak “mencincang” nabi Muhammad SAW.

Dalam keadaan seperti itu, nabi Muhammad SAW mengajak sahabat terpercayanya: Abu Bakar Ash-Shiddiq (RA) untuk berhijrah ke Madinah.

Agar aman, keduanya “bersembunyi” di goa Tsur.

Berbagai daya dan upaya, strategi dan tehnik telah dilakukan untuk merahasiakan tempat persembunyian itu. Namun, ternyata, orang-orang yang bernafsu “mencincang” beliau, sampai juga ke mulut goa tempat persembunyian tersebut.

Dapat dibayangkan, betapa cemas, ngeri dan khawatirnya Abu Bakar Ash-Shiddiq (RA) membayangkan apa yang akan terjadi terhadap diri Rasulullah SAW yang sangat diimani dan dicintainya itu.

Dalam keadaan seperti itu, ternyata sang rasul berkata kepadanya:

لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا

"Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita". (Q.S. At-Taubah:40).

Sungguh, siraman sakinah, thuma’ninah, ijabiyah dan tafa-ul yang sangat luar biasa telah mengalir kepada diri Abu Bakar Ash-Shiddiq (RA) dari lisan Rasulullah SAW.

Inilah tiga pelajaran luar biasa dari tiga kisah ini, pelajaran bagi para pemimpin, khususnya pemimpin agama, pemimpin dakwah dan pemimpin harakah: selalu mengalirkan thuma’ninah, ijabiyah dan tafa-ul, dan menyebarluaskannya kepada para anggota, para kader, para aktifis dan umat.

Bukan sebaliknya, menebar ketakutan kepada anggota, kader dan aktifis, yang membuat mereka ngeri, takut dan akhirnya menciut dan mengecil. Mencari aman, meskipun tidak berprestasi, tidak berbuat dan tidak produktif. Berprinsip: lebih baik tidak berbuat namun aman, daripada berbuat namun salah, lalu dihukum.

Falaa haula, walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil azhim.


Baca juga :