JIKA TIDAK BOLEH DIBAWA, AGAMA DISIMPAN DI MANA?
by Balya Nur
Untuk membakar semangat arek-arek Surabaya melawan tentara Inggris, Bung Tomo menempatkan kata "merdeka!" setelah kalimat takbir: "Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!".
Sampai sekarang tidak ada yang berani mengatakan Bung Tomo membawa-bawa agama dalam perjuangannya melawan penjajah.
Musim Pilpres atau Pilkada adalah musim imbauan pelepasan sementara agama,
“Jangan membawa-bawa agama dalam ranah politik.”
“Jangan membawa-bawa agama dalam menentukan pilihan politik.”
Bagi sebagian umat Islam imbauan itu membingungkan, karena umat Islam selalu membawa agamanya pada setiap aktifitasnya. Mau tidur, berdoa. Bangun tidur, berdoa. Mau masuk kamar mandi, berdoa. Memakai baju, berdoa. Mau berangkat kerja, berdoa. Bahkan saat akan berhubungan intim dengan istri atau suami juga ada doanya.
Lalu bagaimana caranya melepaskan agama saat menentukan pilihan politik? Apakah di TPS ada tempat khusus penitipan agama? Lalu kalau hilang, bagaimana? Atau kalau tertukar dengan agama lain, gimana? Lalu apa makna langsung, bebas, dan rahasia, kalau kebebasan memilih diberi persyaratan tidak boleh membawa agama?
Barangkali imbauannya lebih tepat, jangan membawa-bawa dalil agama dalam berpolitik dan dalam penentuan pilihan politik. Tapi imbauan itu juga bisa bikin pak ustadz marah. Menurut pak ustdaz, kalau dalam beragama tidak pakai dalil, mardudatun laa tuqbalu, segala amalanmu pasti ditolak Tuhan.
Kita bisa saja membantah pak ustadz, “maksudnya hanya dalam soal politik saja.”
Tapi Pak ustadz juga punya jawabannya, "Ini saya kasih lihat mushhaf Al-Qur’an tafsir tematik. Silakan baca sendiri. Jelas pembagian temanya. Ada tema taqwa, tema iman, tema ibadah, tema halal dan haram. Selanjutnya lihat ini. Ada tema kesehatan, tema ekonomi. Langsung saja pada tema yang sedang kita bicarakan. Nah, ini. Tema politik. Ayo, kamu berani melepaskan tema ini dari Al-Qur’an? Jangan menatap saya, tatap ke atas sana (Tuhan). Berani nggak?"
Ayo, siapa yang berani?