Harusnya Ahok, Bukan Dahlan Iskan


Berapa kerugian negara akibat pembelian lahan RS. Sumber Waras oleh Ahok? Menurut hitungan BPK, 191 miliar.

Berapa kerugian negara akibat penjualan aset PT. PWU (holding BUMD Jatim) oleh Dahlan Iskan? Masih dihitung BPKP.

Kapan Ahok membeli tanah Sumber Waras? Tahun 2013.

Kapan Dahlan Iskan menjual aset PT. PWU Jatim? Puluhan tahun yang lalu.

Dua cerita di atas memang berbeda. Ahok membeli, Dahlan Iskan menjual. Ahok membeli aset terlalu mahal, sedangkan Dahlan Iskan menjual aset terlalu murah. Akibatnya sama, kedua-duanya telah merugikan negara.

Di sini mulai timbul keanehan. Jika sama-sama merugikan negara lantas mengapa perlakuan yang diterima keduanya berbeda? Bahkan kalau diperhatikan lebih seksama, terjadi ironi. Kerugian negara yang ditimbulkan oleh Ahok sudah jelas-jelas nominalnya, 191 miliar. Sedangkan kerugian negara yang diakibatkan Dahlan Iskan masih dihitung.

Pembelian lahan RS. Sumber Waras terjadi tiga tahun yang lalu, sedangkan penjualan aset PT. PWU belasan tahun yang lalu. Bisa dikatakan sudah kadaluarsa. Tapi justru Dahlan Iskan yang diusut dan dijadikan tersangka. Sedangkan Ahok bebas melanglang buana, bahkan sedang mencalonkan diri menjadi gubernur DKI. Tanpa disentuh oleh penegak hukum.

Bukan maksud saya ingin melihat Ahok dijadikan tersangka seperti Dahlan Iskan. Bahkan saya termasuk pengagum Ahok. Walaupun bukan pendukungnya dalam kancah politik. Jika ditanya, siapakah tokoh yang paling sering saya tulis namanya di mesin pencari Google? Tidak lain jawabannya adalah Dahlan Iskan, Ahok dan Menteri Susi. Saya sangat mengagumi gebrakan-gebrakan mereka.

Tapi di sini saya hanya ingin menunjukkan ketidak beresan sistem hukum kita. Khususnya dalam hal pemberantasan korupsi. Dari undang-undangnya sampai aparatnya. Undang-Undang pemberantasan korupsi terlalu melebar kemana-mana, dan berisi pasal karet. Begitu mudah diselewengkan. Tergantung selera aparat penegak hukum. Hanya salah prosedur orang bisa dikatakan korupsi. Kesalahan administrasi bisa dikatakan korupsi. Walaupun justru yang terjadi sebaliknya. Orang yang dikatakan merugikan negara hakikatnya telah memberikan keuntungan kepada bangsa.

Lihatlah yang dilakukan Dahlan Iskan. Dia menjual aset PT.PWU karena tidak produktif. Aset berupa lahan itu letaknya terpencar. Lebih dari 30 lokasi. Sedangkan pajak yang dibayar atas lahan itu tidak sedikit. Bersamaan dengan itu kondisi perusahaan sedang sakit. Hidup segan mati tak mau. Kemudian Dahlan Iskan menjual lahan yang terpencar untuk digabungkan menjadi satu. Agar lokasi lahan lebih strategis dan produktif. Hasilnyapun luar biasa. BUMD Jatim yang saat itu sekarat secara perlahan menjadi sehat. Sampai saat ini. PT. PWU telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi daerah Jatim. Baik setoran ke Pemda atau tenaga kerja yang diserap.

Dulu Dahlan Iskan mau membantu menyehatkan BUMD Jatim dengan syarat, Pemda tidak boleh intervensi atas keputusan korporasi dan Dahlan Iskan tidak menerima gaji. Pemda Jatim saat itu mengiyakan syarat yang diajukan Dahlan Iskan. Seandainya Dahlan Iskan dulu tidak bersedia membantu Pemda Jatim, mungkin saja tidak akan ada potensi kerugian negara versi BPKP dan kejaksaan seperti saat sekarang ini.

Tapi yang jelas tidak akan ada juga keuntungan bagi Pemda Jatim dan masyarakat Jatim. Yang mungkin kalau dihitung-hitung sudah ratusan miliar bahkan triliunan. Tapi tentu BPKP atau kejaksaan tidak mau tau dengan keuntungan ini. Mereka asing dengan pemikiran ala korporasi. Mereka tidak mengerti strategi memancing. Mengorbankan sedikit umpan untuk mendapatkan ikan yang lebih besar. Mereka hanya bisa melihat dan mempertanyakan umpan yang dibuang.

Kalau pola pemberantasa korupsi terus seperti ini akan sangat bahaya bagi bangsa. Orang-orang baik dan suka melakukan terobosan rentan dipidana. Sudah banyak yang menjadi korban atau hampir menjadi korban. Taruhlah Yusril Ihza Mahendra (kasus Sisminbakum), Denny Indrayana (kasus payment gateway), Risma (kasus Pasar Turi), Ridwan Kamil (kasus BCCF), Ahok (kasus RS. Sumber Waras), dan lain-lain.

Di sisi lain. Penjahat yang sebenarnya bebas melakukan aksi. Pemeras, penerima pungli, penerima sogok, penyunat proyek, penilep uang negara, semakin merajalela. Karena aparat penegak hukum sibuk mengurus dan menangkap orang yang salah administrasi atau prosedur.

Maka sebenarnya secara sadar atau tidak, secara sengaja atau tidak aparat penegak hukum (khusnya Polri dan Kejaksaan) adalah pelindung koruptor. Karena telah menyibukkan diri pada hal-hal yang bersifat prosedural dan administratif dalam memberantas korupsi. Hingga membuat koruptor yang sebenarnya semakin sulit disentuh. Mereka tidak bisa berkata seperti KPK saat Ahok dinyatakan merugikan negara oleh BPK: tidak ada niat jahat.

Dulu saya memang sempat berharap Ahok dijadikan tersangaka. Bukan karena saya benci Ahok. Tapi berhubung Ahok sedang populer dan mendapat dukungan luas. Jika dia tersangka, maka bangsa ini akan sadar. Kalau kita sudah salah arah dan tersesat dalam memberantas korupsi. Baik karena undang-undangnya atau aparat yang dititipi kepentingan tertentu.

Sayang sekali yang terjadi tidak sesuai harapan. Tidak sesuai logika. Saya akhirnya hanya bisa bergumam: harusnya Ahok, bukan Dahlan Iskan.

(Lukman Bin Saleh)

Sumber: http://www.kompasiana.com/lukmans/harusnya-ahok-bukan-dahlan-iskan_5812db931597733312658672


Baca juga :