Oleh: Ust. Fahmi Salim, Lc. MA
Wakil Sekjen MIUMI
Kata liberal diambil dari bahasa Latin liber, free. Liberalisme secara terminologis berarti falsafah politik yang menekankan nilai kebebasan individu dan peran negara dalam melindungi hak-hak warganya.
Sejarah liberalisme termasuk juga liberalisme agama adalah tonggak baru bagi sejarah kehidupan masyarakat Barat dan karena itu, disebut dengan periode pencerahan. Perjuangan untuk kebebasan mulai dihidupkan kembali di zaman renaissance di Italia. Paham ini muncul ketika terjadi konflik antara pendukung-pendukung negara kota yang bebas melawan pendukung Paus.
Prinsip dasar liberalisme adalah keabsolutan dan kebebasan yang tidak terbatas dalam pemikiran, agama, suara hati, keyakinan, ucapan, pers dan politik. Di samping itu, liberalisme juga membawa dampak yang besar bagi sistem masyarakat Barat, di antaranya adalah mengesampingkan hak Tuhan dan setiap kekuasaan yang berasal dari Tuhan; pemindahan agama dari ruang publik menjadi sekedar urusan individu; pengabaian total terhadap agama Kristen dan gereja atas statusnya sebagai lembaga publik, lembaga hukum dan lembaga sosial.
Pemikiran Islam liberal sebenarnya berakar dari pengaruh pandangan hidup Barat dan hasil perpaduan antara paham modernisme yang menafsirkan Islam sesuai dengan modernitas; dan paham posmodernisme yang anti kemapanan. Upaya merombak segala yang sudah mapan kerap dilakukan, seperti dekonstruksi atas definisi Islam sehingga orang non-Islam pun bisa dikatakan Muslim, dekonstruksi Al-Qur‟an sebagai kitab suci, dan sebagainya. Islam liberal sering memanfaatkan modal murah dari radikalisme yang terjadi di sebagian kecil kaum Muslimin, dan tidak segan-segan mengambil hasil kajian orientalis, metodologi kajian agama lain, ajaran HAM versi humanisme Barat, falsafah sekularisme, dan paham lain yang berlawanan dengan Islam.
Dalam konteks liberalisasi Islam, jelas sekali arah (ittijah) dan agenda untuk menjadikan pengalaman Kristen liberal yang memusuhi agama untuk diundang-undangkan ke dalam sistem hukum, politik dan sosial itu sebagai kompas ke mana seharusnya Islam diarahkan. Sehingga setiap upaya kanonisasi hukum-hukum agama ke dalam ruang publik dan struktur sosial umat akan selalu ditentang oleh kaum liberal di mana pun dan kapan pun. Padahal Islam dalam sejarahnya telah melembaga dalam sistem hukum dan publik serta menopang struktur sosial umat Islam.
Dewasa ini, gagasan dan tuntutan untuk melakukan pembacaan sekaligus pemaknaan ulang teks-teks primer agama Islam disuarakan dengan lantang. Tujuannya adalah agar teks-teks primer Islam, yang telah menjadi pedoman dan panduan lebih dari 1 milyar umat Islam, dapat ditundukkan untuk mengikuti irama nilai-nilai modernitas sekuler yang didiktekan dalam berbagai bidang.
Seruan itu disuarakan serempak oleh para pemikir modernis muslim baik di Timur-Tengah maupun di belahan lain dunia Islam, termasuk Indonesia. Berbagai seminar, workshop dan penerbitan buku hasil kajian dan penelitian digiatkan secara efektif untuk mengkampanyekan betapa mendesaknya "pembacaan kritis" dan "pemaknaan baru" teks-teks Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul. Berbagai produk olahan isu-isu pemikiran yang diimpor dari Barat seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme agama, dan pengarusutamaan gender telah menjadi menu sajian yang lezat untuk dihidangkan kepada komunitas muslim.
Ulama besar Mesir, Dr. Yusuf Al-Qardhawi menyindir pendekatan interpretasi model ini sebagai sikap latah dan inferiority complex di hadapan Barat sehingga mengekor worldview dan model interpretasi mereka. Ia menyatakan, “Kaum sekuler-liberal ingin umat memandang sesuatu dengan kacamata Barat, mendengar dengan kuping Barat, dan berfikir dengan nalar/framework Barat. Sehingga Apa saja yang bagus menurut Barat maka baik menurut Allah, dan Apa saja yang dinilai buruk oleh Barat maka ia pun buruk menurut Allah. Mereka hendak memaksakan kepada kita filsafat Barat dalam soal bagaimana kita harus hidup, pandangan Barat tentang agama, konsep Barat tentang sekularisme dan berbagai teori Barat dalam bidang hukum, sosial, politik, bahasa dan kebudayaan!”[
Sudah seharusnya kita membendung dan memerangi program liberalisasi Islam.