(Proses pembongkaran rumah warga Bukit Duri, Tebet, Jakarta, Rabu (28/9/2016)
Oleh: Moh Mahfud MD*
(Mantan Ketua MK)
Saya bukan pendukung Ahok. Tapi saya pernah mendapat banyak kritik dari lawan-lawan politik Ahok ketika saya menjelaskan fakta bahwa posisi Ahok kuat dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2017.
Waktu itu, kira-kira tiga bulan lalu, saya mengatakan bahwa Ahok kuat karena Ahok itu sangat berani melabrak koruptor. Ahok juga berani membuat ciut politisi di lembaga legislatif sehingga bertekuk lutut, tak berkutik di hadapannya. Itu yang menyebabkan Ahok kuat. Rakyat kita sangat benci pada korupsi dan premanisme politik sehingga ketika Ahok muncul menggebrak preman Pasar Tanah Abang, rakyat bersorak senang, mendukungnya.
Rakyat kita sangat benci kepada koruptor yang ditengarai banyak berlindung di DPRD dengan memakai baju partai politik. Maka itu Ahok didukung habis ketika menggebrak DPRD dan menuding di lembaga tersebut banyak koruptornya. Ketika Ahok melaporkan oknum-oknum DPRD yang ditudingnya melakukan korupsi dalam penyusunan APBD, masyarakat bersorak girang, sedangkan para politikus di DPRD tampak tak berkutik.
Para politikus dan parpolnya digebuki melalui berbagai media. Membantah sedikit digebuki, melawan sedikit diserang sehingga tampak putus asa seperti kucing kehujanan. Persepsi publiknya, Ahok adalah pemimpin yang antikorupsi dan berani menghajar politikus busuk. Rakyat mendukung Ahok secara kuat bukan karena Ahok pemimpin yang benar-benar bagus, melainkan karena rakyat benci pada korupsi dan politikus busuk.
Saya mengatakan itu sekitar tiga bulan lalu, jauh sebelum munculnya pasangan calon yang final didaftarkan ke KPU. Pada saat itu saya mendapat banyak kritik dari orang-orang yang tidak suka kepada Ahok. Kata mereka, saya salah pilih dan saya membutakan diri bahwa Ahok juga dihinggapi banyak masalah hukum.
Saya menjawab bahwa saya tidak salah pilih, wong saya tak akan memilih karena saya penduduk Yogyakarta. Yang saya katakan itu adalah persepsi publik yang berhasil dibangun Ahok dengan dukungan media dan banyak LSM. Maka saya bilang, waktu itu, kalau ingin Ahok diganti, tampilkanlah lawan yang bisa mengalahkan Ahok dalam keberanian melabrak para koruptor dan melawan politisi korup.
Jangan munculkan calon lawan yang tak seberani Ahok, apalagi track record – nya ternoda korup juga. Orang tak akan bisa mengalahkan Ahok hanya dengan kampanye dia adalah orang China atau berbeda agama dengan mayoritas penduduk DKI. Kampanye SARA akan sulit diterima masyarakat DKI yang sebagian besar adalah orang-orang terdidik.
Saya katakan, itulah persepsi publik yang memang belum tentu benar dalam kenyataannya. Ya, belum tentu benar, sebab dalam masalah hukum Gubernur Ahok pun banyak menimbulkan masalah yang serius. Selain masalah reklamasi yang sudah pernah dinilai salah secara hukum oleh pemerintah pusat maupun oleh putusan pengadilan, dalam tiga hari terakhir ini, misalnya, ada kasus penggusuran secara paksa di Bukit Duri.
Peristiwa Bukit Duri adalah tragedi kemanusiaan dan tragedi penegakan hukum. Pengadilan sudah jelas memerintahkan status quo Bukit Duri selama perkara masih berlangsung, tetapi penggusuran tetap dilakukan. Konstitusi kita menganut paham negara kesejahteraan (welfare state) dengan penekanan bahwa rakyat harus dilindungi dan diberdayakan agar bisa sejahtera di tanah air sendiri.
Hal itu tertera tegas dan terurai di dalam UUD RI 1945. Untuk menjamin upaya pembangunan kesejahteraan rakyat, penyelenggaraan negara dan pemerintahan harus dikawal oleh supremasi hukum. Itulah sebabnya di dalam konstitusi diletakkan juga prinsip nomokrasi (negara hukum) sebagai pengawal demokrasi. Kita memiliki lembaga yudikatif untuk menyelesaikan sengketa yang putusan-putusannya harus diikuti rakyat maupun pemerintah.
Atas undangan sahabat saya, Jaya Suprana dan Romo Sandyawan, saya pernah berkunjung menemui rakyat Bukit Duri. Kepada mereka saya menyarankan ”tidak usah melakukan tindak kekerasan atau aksi-aksi massa”, tetapi ajukan saja ke pengadilan agar diputus oleh hakim.
Setelah mereka menang dan ada larangan penggusuran, tetapi pemprov masih terus menggusur, saya pun meminta mereka tidak melakukan aksi-aksi frontal. Saya sarankan mereka minta penyelesaian politik ”agar hukum ditaati” melalui Menko Polhukam, DPR, Menkumham, dan Komnas HAM. Sekarang mereka sudah digusur dan saya mati ide, tak punya saran lagi karena rakyat kita tidak berdaya.
Kepada Jaya Suprana saya hanya bisa mengatakan, saya ngeri jika putusan pengadilan terang-terangan dilanggar. Putusan pengadilan itu, seumpama pun salah (apalagi tidak salah), tetap wajib ditaati demi penyelesaian masalah. Kesalahan hakim dalam memutus, kalau itu ada, bisa ditindak tersendiri, tetapi putusannya tetap harus ditaati. Saya ngeri kalau hukum dikangkangi oleh kekuatan politik.
Jika suatu saat terjadi pergeseran konfigurasi politik, hukum akan ditentukan oleh aktor lain yang dominan sehingga yang terjadi adalah adu kuat antarmereka yang sama-sama ingin mengangkangi hukum. Yang bisa terjadi adalah kekacauan hukum, bukan ketertiban hukum. Lebih ngeri lagi jika di daerah-daerah lain pihak yang kuat mengangkangi hukum dan mengabaikan putusan-putusan pengadilan.
Alasannya ”kalau di DKI bisa, di daerah pun bisa”. Kalau praktik saling melanggar hukum sudah meluas padahal konfigurasi antara pusat dan daerah dan antardaerah sendiri tidak monolitik, yang terjadi adalah kekacauan yang sangat mengerikan.
Semua bisa membuat hukum sendiri-sendiri dan dengan kekuatan politik dan uang sendiri-sendiri. Sungguh mengerikan kalau ini terjadi. Mudah-mudahan Bukit Duri tidak menjadi duri bagi masa depan pembangunan bangsa dan negara tercinta: Indonesia.*
Sumber: Koran SINDO