Mahfud MD: Presiden Tak Boleh Panggil MK, Haram Hukumnya


Presiden Tak Boleh Panggil MK

MOH MAHFUD MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN): Ketua MK-RI 2008-2013

Kamis malam, 1 September 2016, sekitar pukul 19.30 WIB ada panggilan masuk ke handphone saya. Dengan agak malas karena capai setelah beberapa jam mengetik untuk menyiapkan naskah orasi, saya angkat handphone itu.

Ternyata yang menelepon adalah wartawan sebuah media online terkemuka. Meski agak malas untuk diwawancarai, saya tergelitik juga atas pertanyaannya. "Pak, hari ini Presiden memanggil para hakim MK untuk membicarakan judicial review atas UU Tax Amnesty. Bagaimana menurut Bapak?" tanya wartawan itu dari ujung telepon.

"Haaah, Presiden memanggil hakim MK?" saya balik bertanya. "Tak mungkin Presiden memanggil hakim-hakim MK, tak mungkin pula hakim-hakim MK mau dipanggil oleh Presiden. Sebab Presiden dan para hakim MK pasti tahu bahwa hal itu tidak boleh dilakukan," sambung saya. Wartawan itu berusaha meyakinkan saya dengan cerita agak detail bahwa Presiden memang memanggil hakim-hakim MK pada Kamis kemarin.

Saya pun berusaha meyakinkan wartawan tersebut bahwa tak mungkin hakim-hakim MK mau dipanggil oleh Presiden dan tak mungkin Presiden memanggil hakim-hakim MK untuk membicarakan perkara yang sedang berlangsung. "Itu hal yang dilarang, baik oleh hukum maupun oleh etika," jawab saya. Kemudian saya pun menjelaskan, mungkin saja hakim-hakim MK bertemu dengan Presiden, tetapi tak mungkin membicarakan perkara yang sedang ditangani MK.

"Bagaimana menurut aturan dan menurut pengalaman Bapak?" tanya wartawan itu lagi. Dengan tetap yakin bahwa tak mungkin Presiden memanggil hakim-hakim MK dan tak mungkin hakim-hakim MK begitu bodoh untuk mau dipanggil oleh Presiden, saya jelaskan kepada wartawan itu. Anda boleh cek ke mana pun dan kepada siapa pun, termasuk kepada (mantan) Presiden SBY dan orang-orang dekatnya.

Selama memimpin MK saya tak pernah dipanggil oleh Presiden atau menghadap Presiden untuk membicarakan perkara. Itu haram hukumnya. Presiden SBY dan saya sama-sama tahu bahwa kami tidak boleh membicarakan perkara di luar sidang resmi MK yang terbuka untuk umum. Ketika dulu MK menangani perkara hasil Pilpres 2009, saat kemenangan pasangan SBY-Boediono digugat oleh dua pasangan lainnya, ada isu berembus kencang bahwa Ketua MK bertemu Presiden pada 01.00 dini hari di Cikeas.

Dua hari menjelang pengucapan putusan atas sengketa hasil pilpres itu, isu tersebut menyeruak melalui SMS berantai dan beberapa media online. Teman saya yang wartawan senior, Freddy Ndolu, pukul 05.00 WIB menelepon saya. "Pak Ketua, ini santer berita, Pak Ketua tadi bertemu Pak SBY di Cikeas untuk mengatur putusan. Apa boleh begitu?" tanyanya dengan serius. Saya jawab, itu berita sampah.

"Sudah beberapa hari saya bersama hakim-hakim MK danpara panitera tidur di Gedung MK untuk menyiapkan vonis. Sejak kemarin saya bersama mereka di Gedung MK dan saya tidak ke mana-mana," jawab saya. Sambil bercanda saya jelaskan kepada Freddy, tak mungkin SBY memanggil saya di tengah malam karena itu waktunya tidur dan Presiden pasti mengantuk. Saya pun tidak mau dipanggil Presiden di tengah malam karena saya juga mengantuk.

"Menurut hukum, Presiden tidak boleh memanggil Ketua MK, tetapi Ketua MK boleh memanggil Presiden untuk hadir di persidangan," kata saya. Apakah sebagai ketua MK saya tak pernah bertemu dengan Presiden? Tentu sering sekali, tetapi tidak pernah membicarakan perkara dan tidak hanya dua pihak.

Saya sering bertemu Presiden dalam acara pertemuan rutin antar pimpinan lembaga negara. Saya sering bertemu dan duduk semeja dengan Presiden dalam acara gala dinner menyambut kepala negara atau pemerintahan asing yang menjadi tamu resmi negara. Saya sering bertemu Presiden dalam acara-acara kenegaraan atau hari-hari besar nasional yang bisa dilihat oleh umum. Tapi kami tak pernah berbicara perkara yang sedang ditangani MK.

Meski dalam beberapa hal saya mengkritik SBY, dalam hal ini saya jujur memuji SBY. Dia tidak pernah menanyakan perkara apa pun ketika bertemu dengan saya. Memang SBY pernah menghubungi saya menanyakan vonis MK yang sudah diputus, bukan perkara yang sedang diperiksa.

Misalnya saat MK memutus bahwa paspor dan KTP bisa dipergunakan untuk memilih di TPS, SBY menelepon saya untuk memastikan apa benar vonisnya begitu dan bagaimana detail teknisnya. Saat MK memutus bahwa jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji harus berakhir atau segera diangkat lagi, SBY yang belum mendapat salinan vonis langsung menelepon saya untuk memastikan.

"Saya ingin tahu dari Pak Mahfud agar nanti Presiden tidak salah dalam melaksanakan vonis MK," kata SBY ketika itu. Jadi kalau Presiden menghubungi Ketua MK tidak boleh membicarakan perkara yang sedang berjalan atau sesuatu yang berpotensi menjadi perkara di MK.

Paling banter Presiden hanya boleh menanyakan perkara yang sudah divonis untuk memastikan kebenaran isinya. Mendapat penjelasan itu, wartawan masih mengejar saya dengan pertanyaan, "Apa Ketua MK dan hakim-hakim MK benar-benar tidak pernah bertemu secara terbatas dengan Presiden?" Saya jawab, tentu pernah.

Ketika anak saya akan menikah saya bertemu Presiden untuk menyampaikan undangan langsung secara pribadi. Saat akan menggelar konferensi internasional antar-MK sedunia, kami para hakim MK menemui Presiden secara khusus untuk menyampaikan permohonan membuka dan memberi amanat. Tapi tak pernah sekali pun MK bertemu dengan Presiden untuk membicarakan perkara yang sedang ditangani atau sesuatu yang berpotensi menjadi perkara di MK. Itu haram hukumnya.[]

*Sumber: Sindonews

Baca juga: Tax Amnesty Digugat Muhammadiyah, Jokowi Temui Hakim MK, Takut Kalah?


Baca juga :