Kata “KAFIR”, Bukan Delik Pidana!


Kata “KAFIR”, Bukan Delik Pidana!

(Analisis Yuridis UUD 1945, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis , Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian)

1. Ada upaya jahat dan keji yang ditujukan kepada Islam dan kaum muslimin, dengan memasukkan kata “KAFIR” sebagai delik pidana SARA.

2. Kafir, berasal dari kata dasar “kaf, fa’ dan ra”, arti dasarnya “tertutup” atau “terhalang”. Secara istilah, kafir berarti “terhalang dari petunjuk Allah SWT”.

3. Bisa saja orang-orang kafir beraklak mulia, seperti jujur, tidak korupsi, tidak zina, berbuat baik dengan tetangga, menyantuni orang miskin dll. Namun akhlak baik itu tidak cukup untuk menghapuskan status dia dari kategori orang kafir, manakala mereka tetap ingkar kepada Allah SWT.

4. Begitu gempitanya sekarang serangan yang ditujukan kepada umat Islam, yang terkait dengan keyakinan mereka. Agar melepaskan keyakinan mereka. Memilih pemimpin jangan dikaitkan dengan agama. Umat Islam diminta agar tidak mengkaitkan masalah politik dengan agama.

5. Wajar kalau ada seorang muslim menginginkan pemimpinnya muslim, sebagaimana non muslim menginginkan pemimpin yang seagama. Bukankah menjalankan agama dinegeri ini dijamin?!. ini bagian dari kebebasan beragama yang tentu dibatasi dengan tidak menista agama lain.

6. Kebebasan beragama adalah prinsip yang mendukung kebebasan individu atau masyarakat, untuk menerapkan agama atau kepercayaan dalam ruang pribadi atau umum. (Barzilia, Gad (2007). ‘Law and Religion’. Ashgate ISBN 978-0-7546-2494-3), Daniel L. Dreisbach and Mark David Hall ‘The Sacred Rights of Conscience; Selected Readings on Relegious Liberty and Church-State in the American Founding’. Indianapolis: Liberty Fund Press,2009).

7. Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi kita, yaitu PAsal 28E ayat (1) UUD 1945 ” setiap orang bebas memeluk dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”

8. Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam pasal 281 ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.

9. Berdasarkan ketentuan hukum diatas, tentu kaum muslimin berhak menjalankan agamanya termasuk dalam memilih pemimpin.

10 Teks al-Qur’an Surat Aali 'Imraan ayat 28 "Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (PEMIMPIN / PELINDUNG) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu)."

11. Teks al-Qur’an Surat An-Nisaa' ayat 144, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (PEMIMPIN / PELINDUNG) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?"

12. Teks al-Qur’an Surat Al-Maa-idah ayat 57, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi PEMIMPINMU, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman."

13. Karena ini menyangkut Aqidah. Dan tentu semua pihak harus menghormati nya sebagaimana Muslim menghormati Non Muslim di Bali yang menjalankan agamanya.

14. Jika kata “KAFIR” dimasukkan sebagai delik pidana SARA, tentu ini sangat menyakiti kaum muslimin. Sama saja menuduh bahwa Allah SWT sebagai pembuatan kejahatan dan muslim sebagai penebar kejahatan, kebencian atau terror. Tentu ini sangat berbahaya, khawatir menyebabkan kemarahan rakyat secara semesta. Penguasa dan Penegak hukum jangan “menepuk air didulang terpercik muka sendiri”.

15. Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.

16. Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah)”.

17. Pasal 116 ayat (2) jo. Pasal 81 ayat (1) jo. Pasal 78 huruf b UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah secara tegas melarang penggunaan isu SARA untuk menyerang calon kepala daerah/wakil kepala daerah dan/atau partai politik,"

18. Bahkan, dalam pasal 81 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan pelanggaran tersebut merupakan tindak pidana.

19. Perhatikan dengan baik kalimat ini “ HARAM PEMIMPIN KAFIR”. Adakah unsur kebencian atau sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis?!. Bagi orang yang mengerti hukum, jawabannya tentu tidak.

20.Kecuali jika pemerintah atau KPU selaku pelaksana teknis pemilihan umum menolak calon pemimpin berdasarkan ras, etnis dan agama. Maka ini masuk kedalam delik pidana SARA.

21. Hal ini masuk dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, “Tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa: (a) memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya”.

22. Kecuali jika kalimatnya seperti ini , “USIR ETNIS CHINA” atau “A mengatakan bahwa Suku A merupakan suku yang paling hebat dan suku A pantas untuk berkuasa sedangkan suku yang lain harus tunduk dan menjadi budak” atau “ETNIS CHINA HARUS TUNDUK SAMA PRIBUMI. PRIBUMI JANGAN HANYA DIAM…. LAWAN, SI CHINA”. Maka kalimat ini mengandung delik pidana SARA, karena mengandung unsur kebencian.

23. Kemudian jika kalimatnya seperti ini “Haram Pemimpin Kafir, Usir si China….kejar mereka”. Kalimat “usir si china ….kejar mereka!” ini menjadi SARA (delik formil) karena mengandung unsur kebencian. Sementara kalimat “Haram Pemimpin Kafir” BUKAN DELIK PIDANA SARA karena tidak mengandung unsur kebencian.

24. Hal ini berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis “Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah)”.

25. Oleh karena para penegak hukum harus memahami apa yang dimaksud dengan SARA, serta memahami UU dan Peraturan secara keseluruhan dan tidak parsial, sehingga tidak menyalahgunakan kewenangan yang mengakibatkan konflik sosial.

26.Penegak hukum harus hati-hati dalam menggunakan kewenangan, terlebih lagi kewenangan itu menggandung unsur politik dan ditunggangi kepentingan politik.

27. Penegak hukum harus berpihak pada rakyat, bukan pada penguasa. Tentu dengan cara menerapkan hukum seadil-adilnya dan sejujur-jujurnya.

28. Misalnya seorang nenek yang mencuri roti senilai Rp.10.000 kemudian diganjar hukuman penjara 1-2 tahun, sementara koruptor yang mencuri uang rakyat puluhan milyar hanya dipenjara 4 tahun saja, bahkan koruptor BLBI dan Century, hingga saat ini tak terdengar lagi.

29. contoh berikutnya seorang guru yang memberikan kritik positif akan wajah pendidikan negeri ini, kemudian ditahan atas dasar delik pidana pencemaran nama baik.

30. Jika penegak hukum tidak berlaku adil, maka akan menimbulkan kecemburuan sosial yang mengakibatkan gejolak sosial yang bersifat anarkis, misalnya dendam terhadap para penegak hukum.

31. Begitupun Kaum muslim harus melakukan kritik secara cerdas. Kritik adalah Kecaman atau tanggapan melalui penganalisaan dan pengevaluasian sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan (James J, 1996).

32. Jangan sampai merendahkan individu, ras, golongan, agama bahkan Tuhan-Tuhan mereka. Sebagaimana Allh SWT berfirman dalam Surat Al-An’am ayat 108 “ dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan….”

33. Kaum muslim harus fokus pada dakwah perubahan masyarakat dan sistem. Meninggalkan dan mencampakkan sistem Kapitalisme (demokrasi, sekulerisme, dll) dan sistem Sosialis dan Komunis. Kemudian menerapkan Syariah Islam dan bingkai Negara Khilafah ala minhajin nubuwwah (yang mengikuti Kenabian).

34. Partai politik yang notabenenya diketuai oleh orang Islam jangan menjadi pengkhianat terhadap kaum muslimin dengan tidak mengusung orang kafir. Orang kafir tidak akan menjadi pemimpin kalau tidak ada yang mencalonkan, partai politik..

35. Tentu umat Islam wajib menjadikan akidah Islam sebagai asas ikatan sekaligus landasan membangun sinergi dalam perjuangan.

36.selalu menjadikan syariah sebagai tolok ukur amal sekaligus bahan untuk melakukan muhâsabah dan memberi nasihat di antara kaum Muslim, antara kelompok Islam dan terhadap penguasa.

Wallahu’alam bishawab

Oleh: Chandra Purna Irawan, MH.
(Direktur Pusat Kajian dan Data Pusat Bantuan Hukum Hizbut Tahrir Indonesia, PBH HTI)


Baca juga :