[portalpiyungan.com] Putra pertama Susilo Bambang Yudhoyono semakin dikenal publik setelah diusung oleh Koalisi Cikeas sebagai bakal calon gubernur DKI Jakarta.
Sebelumnya, Koalisi Cikeas (PD, PKB, PPP, dan PAN) akhirnya memutuskan bahwa Mayor Inf. Agus Harimurti Yudhoyono akan maju menjadi cagub DKI didampingi oleh Dr. Sylvianna Murni, S.H., M.Si. yang akan menjadi cawagubnya.
Publik jelas penasaran dengan Agus Yudhoyono, harapan Koalisi Cikeas untuk memenangi cucu Sarwo Edhie, perwira TNI AD yang namanya mencuat setelah Gerakan 30 September tahun 1965. Bila kamu termasuk orang yang penasaran dengan sepak terjangnya, lima fakta ini bisa membantu mengenal sosok Agus Yudhoyono.
1. Militer Tulen
Pria dengan nama lengkap Agus Harimurti Yudhoyono ini lahir di tengah keluarga dengan latar belakang militer, terutama Angkatan Darat. Ia merupakan putra sulung dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Kristiani Herawati. Ayahnya, SBY, adalah putra dari R. Soekotjo yang merupakan seorang prajurit.
Garis keturunan Agus dengan Sarwo Edhie terbentuk melalui ibunya. Ya, Ani Yudhoyono adalah putri dari Sarwo Edhie Wibowo, perwira TNI AD yang namanya dikenal pada penghujung tahun 1965. Kekentalan darah militer dari kedua orangtuanya, baik ayah maupun ibu, tidak perlu diragukan lagi.
2. ‘Sang Ilalang’ Taruna Nusantara
Sebelum mengenyam pendidikan di Akademi Militer dan lulus dengan predikat Adhi Makayasa (lulus terbaik), Agus bersekolah di SMA Taruna Nusantara, Magelang. SMA ini pertama kali digagas oleh Benny Moerdani pada awal dekade 90 dengan asumsi rezim Soeharto akan langgeng.
Di SMA Taruna Nusantara, terdapat dua istilah yaitu ‘rumput’ dan ‘ilalang’. Ilalang jelas lebih tinggi daripada rumput, analogi untuk siswa yang berprestasi. Agus bintang di angkatannya. Jelas ia merupakan ilalang.
3. Sayang Anak
Setahun setelah ayahnya menjadi presiden, Agus menikah dengan Annisa Larasati Pohan. Annisa adalah seorang finalis Gadis Sampul tahun 1997. Pernikahan Agus dan Anissa kemudian membuatnya dikaruniai seorang putri bernama Almira Tunggadewi Yudhoyono.
Sebagai seorang perwira menengah, Agus jelas sibuk. Berbagai latihan bersama/komando membuat waktunya demikian tersita. Namun, hal itu tidak lantas mengurangi rasa sayangnya terhadap anak. Dalam acara-acara tertentu semacam wisuda sekolah, misalnya, Agus tampak mendampingi Aira, nama kesayangan Almira, sang buah hati.
4. Gelar Akademis
Gelar bukan lagi barang baru bagi Agus. Berbagai penghargaan di bidang militer telah ia raih. Medali PBB atas kinerjanya memimpin kontingen Garuda di Lebanon dan The Order of Saint Maurice pemberian the US National Infantry Association hanyalah sebagian dari koleksi medalinya yang bertaraf internasional. Itu belum termasuk penghargaan dari dalam negeri.
Namun, Agus tidak hanya garang di medan tempur. Ia juga cerdas di kelas. Setidaknya ada tiga gelar yang Agus miliki, yakni M.Sc., MPA., M.A. Gelar ini ia dapatkan dari universitas terkemuka John F. Kennedy School of Government, Universitas Harvard, Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat.
5. Suka Berolahraga
Agus sangat menyukai olahraga salah satu olahraga yang digemarinya yakni lari. Agus memprakasai komunitas lari yang beranggotakan sipil dan militer bernama Garuda Finishers pada tahun 2013 tepatnya pada saat perayaan HUT Brigade Infanteri Lintas Udara 17.
Bersama komunitas Garuda Finishers, Agus telah mengikuti banyak kegiatan dan kompetisi lari dan juga menyelenggarakan event-event lari sambil tetap beraksi sosial. Tak hanya lari saja, Agus juga mempunyai hobi basket hal tersebut dilihat di akun instagramnya. Semasa sekolah ia pernah memperkuat SMPN 5 Bandung, SMPN 20 Jakarta Timur, SMA TN, dan AKMIL.
Selanjutnya tentu saja mengupas fakta tentang Sylviana. Tiga jenis latar belakang Sylviana (pegawai negeri sipil, perempuan, dan warga Betawi) menjadikannya dipilih mendampingi putra SBY.
Lantas, apa lagi yang dapat kita ketahui dari seorang Sylviana Murni?
1. Demokrasi dari Meja Makan
Sylviana lahir dari keturunan keluarga Betawi yang religius. Ayahnya yang berprofesi sebagai tentara memberikan nilai-nilai kedisiplinan dalam berbagai hal. Sementara itu, ibunya memberikan bekal agama yang cukup kuat, seperti beribadah, mengaji, mencontohkan sifat tawadhu (rendah diri), dan menghormati orang lain. Nilai-nilai demokrasi ia pelajari dari orangtuanya.
“Waktu kecil, di rumah saya ada meja makan besar untuk anggota keluarga kami yang berjumlah sepuluh orang. Meja yang diberi julukan ‘meja demokrasi’ itu bukan sekadar tempat makan, tapi sarana untuk berkomunikasi antara anak dan orang tua.
Di situ kami boleh berdebat, bahkan memprotes kebijakan-kebijakan orang tua. Tapi, jangan harap kami masih dapat memprotes kalau sudah tidak duduk di meja itu. Di luar acara makan, kami tetap harus patuh dan hormat kepada orang tua,” kenangnya.
2. Pernah Menjadi Anggota Dewan
Dalam jenjang kariernya, Sylvi pernah menjabat sebagai anggota DPRD. Kesempatan ini datang menjelang reformasi 1998. Saat itu, ia sempat cuti di luar tanggungan negara karena terpilih menjadi anggota DPRD DKI periode 1997-1999 dari Golkar.
Namun, terbit peraturan pemerintah (PP) yang mengharuskan PNS tidak memihak atau netral dari partai politik. Sylvi kemudian memilih untuk kembali menjadi PNS. Hal itu dilakukannya dengan dua pertimbangan.
“Pertama, karena memang saya berasal dari PNS. Kedua, saya merasa bukan politisi tapi lebih merasa sebagai organisatoris,” ujarnya.
Akibat keputusan tersebut, sebelum terdaftar lagi sebagai PNS, Sylvi sempat dua bulan menganggur. Sebab, berdasarkan ketentuan yang berlaku, setelah berhenti menjadi anggota dewan tidak bisa langsung kembali ke posisi yang lama di PNS. Padahal, ia sebagai pegawai negeri saat itu sudah mencapai tingkat Eselon IV.
“Kebetulan karena kebijakan restrukturisasi, ada pejabat dari unsur TNI yang dikembalikan ke kesatuannya. Saya akhirnya ditarik ke Biro Dinas Sosial dan ditetapkan menjadi Kepala pada 1999. Itu terjadi setelah dua bulan saya lepas dari anggota dewan,” katanya.
3. None yang Menulis Buku
Mungkin tidak banyak orang yang mengetahui bahwa sebelum menjadi PNS dan anggota dewan, Sylvi pernah menjadi None Jakarta. Hal itu terjadi pada tahun 1981. Mengingat tahun kelahirannya pada 11 Oktober 1958, usianya saat itu adalah 23 tahun.
Selain itu, Sylviana Murni juga menulis buku bertemakan Betawi. Kedua buku itu ialah Nuju Bulanin ala Betawi (2011) dan Pernak Pernik Abang dan None (2011).
4. Pencetus Sekolah Gratis
Sekolah gratis menjadi visi Sylviana Murni saat menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta pada 19 Oktober 2004. Untuk membuat sekolah gratis bagi SD dan SMP, Sylvi mengatakan bahwa pemerintah perlu menggulirkan program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang dananya bersumber dari APBN dan BOP (Bantuan Operasional Pendidikan) yang diambil dari APBD DKI Jakarta. Gagasan tersebut disetujui anggota dewan.
5. Sylviana dan Uang Kesra Guru
Peran besar Sylvi lainnya ketika menjadi Kadis Pendidikan Dasar DKI Jakarta adalah dalam hal peningkatan uang kesra guru di DKI Jakarta. Alhasil, tahun 2006, setiap guru menerima uang kesra sebesar Rp2 juta per bulan.
Sylvi memiliki alasan atas hal ini. Menurutnya, uang kesra ini sangat penting untuk meningkatkan loyalitas dan profesionalitas seorang guru dalam melaksanakan profesinya.
Sejumlah fakta di atas menjadi catatan penting untuk menjawab keraguan banyak pihak atas prestasi Agus dan Sylviana Murni.
Mereka berdua bukan tokoh karbitan yang muncul mendadak. Mereka sangat mumpuni untuk bisa membangun Jakarta.