[portalpiyungan.com] Hingga pekan ketiga Agustus 2016, dana hasil program Tax Amnesty yang diterima pemerintah baru mencapai Rp 665 miliar. Angka ini masih jauh di bawah target pemerintah Rp 165 triliun. (detikcom)
Salah satu penyebabnya dinilai karena konsep Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang getol mensosialisasikan tax amnesty (pengampunan pajak) di kota-kota besar dalam negeri dinilai salah sasaran dan telah mengalami disorientasi.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yenny Sucipto mengatakan, sosialisasi Presiden Jokowi terkait tax amnesty juga dinilai salah sasaran, karena hanya disosialisasikan di dalam negeri.
"Ini murni marketing, karena seharusnya pemerintah sosialisasi itu ke luar negeri. Bukan malah ke distrik-distrik dalam negeri yang disebut kota-kota besar itu," kata dia di kantornya, dikutip Sindonews.
Yenny menuturkan, hal ini termasuk sosialisasi yang sia-sia, karena sebetulnya yang memiliki uang banyak yakni orang-orang di luar negeri. Seharusnya pemerintah fokus sosialisasi luar negeri.
"Konglomerat-konglomerat itu punya uangnya di luar negeri. Kalau misalnya Presiden hanya gembar gembor di dalam negeri, mau menyasar siapa?" ujarnya.
Di dalam negeri, lanjut dia, para pelaku usaha kebanyakan yang mendirikan UMKM. Dengan sosialisasi kepada kalangan ini, maka dikhawatirkan dana repatriasi yang didapat akan sedikit.
"Karena kan aset mereka tidak terlalu banyak, karena usaha mereka juga bentuknya UMKM. Ini benar-benar salah sasaran sekali," pungkas Yenny.
Senada diungkap oleh pengamat, Hendrajit, yang disampaikan di akun facebooknya, Rabu (24/8).
"Sekarang Tax Amnesty sudah mulai salah sasaran dan dis-orientasi karena tidak sesuai maksud awal. Sasaran awal kan untuk menggiring masuk uang-uang yang diparkir di luar negeri melalui pengampunan pajak."
"Tapi karena antara skema dan skenario mulai disadari terjadi kesenjangan, tujuan bergeser ke pengusaha kecil dan menengah untuk menggencet mereka dengan instrumen pajak. Jelas ini bukti nyata terjadinya dis-orientasi," ujar Hendrajit.
"Persis kayak Kopkamtib zaman Orde Baru dulu. Maksudnya lembaga keamanan ini untuk membendung ancaman nasional dari luar dalam segala bentuk dan perwujudannya, malah bergeser jadi menginteli orang orang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat atau malah masuk perangkap skema asing," ungkapnya.