Netralitas dan Obyektivitas Seorang Qadhi


Netralitas dan Obyektivitas Seorang Qadhi

Oleh: Komiruddin Imron
(Ketua Dewan Syariah Wilayah PKS Lampung)

Beberapa waktu yang lalu saya menghadiri silaturahmi alumni LIPIA Lampung. Peristiwa ini mengingatkan saya pada nostalgia yang Indah saat menuntut ilmu.

Jalan menuju kampus, kopaja, sepeda, ruang kelas dan dosen dosen yang ikhlas memberikan ilmunya.

Masih ingat jelas dalam kenangan saya seorang dosen ushul fiqih Dr. Khatam namanya. Sangat lembut dan kadang suka bercanda yang membuat kami mengulum senyum.

Suatu ketika dia menjelaskan bahwa seorang qadhi ketika memutuskan perkara tidak boleh ada kondisi psikologis yang bisa mempengaruhi keputusan.

Kondisi psikologis yang dimaksud bisa seperti marah, kebelet atau syahwat perempuan

Beliau bercerita, bahwa dulu ada seorang qadhi hendak memutuskan perkara perceraian.

Setelah sidang dimulai dan qadhi tersebut berhadapan dengan wanita yang berperkara, demi melihat kecantikannya hatinya mulai terganggu dan tidak tenang. Tanpa memberitahu alasannya sang qadhi tiba tiba minta agar majlis menunda sidang barang satu jam.

Diapun langsung keluar dari majlis meninggalkan hadirin yang terbengong bengong.

Satu jam kemudian sang qadhi kembali ke majlis persidangan dan segera menyelesaikan agenda persidangan.

Diantara hadirin ada yang penasaran terhadap kejadian aneh ini. Ia pun bertanya.

Jawabannya sungguh mengagetkan:

"Saya terganggu dengan kecantikan wanita yang tadi berperkara. Maka saya minta izin pulang ke rumah. Lalu saya "mendatangi" istri saya. Setelah saya menyelesaikan "hajat" saya, saya melihat wanita yang ada di depan saya tidak lebih seperti Batu. Sayapun dapat memutuskan perkara dengan tenang dan tidak subyektif."

Lanjut Dr Khatam, "Begitulah hendaknya sang qadhi ketika menangani suatu perkara. Tidak boleh dibawah under presure (tekanan) atau interest pribadi."

Saya teringat sebuah hadits yang juga beliau sampaikan,

Dari Abdur Rahman bin Abi Bakrah, dari bapaknya, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

" لا يَحْكُمُ الْحَاكِمُ ، أَوْ لا يَقْضِي الْقَاضِي بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ "

"Seorang hakim atau qadhi tidak boleh memutus perkara antara dua orang sedang ia dalam keadaan marah." (HR Muslim).

Imam Syafi'i berkata: "Hadits ini maksudnya, menghendaki seorang hakim ketika memutus perkara dalam kondisi akal dan akhlaqnya tidak terganggu. Seorang hakim lebih tahu dengan kondisinya. Maka ketika suatu kondisi membuat akal atau akhlaqnya berubah, seharusnya dia tidak memutuskan perkara sampai hal tersebut hilang."

Demikianlah Islam menetapkan ketentuan ini, semata untuk menjaga netralitas dan obyektifitas pemutus perkara.

(Soeta, 10/08/2016)


Baca juga :