Menelusuri informasi akurat terkait kerusuhan di Tanjungbalai, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumut membentuk tim untuk turun ke Kota Kerang tersebut.
Selain tim turun, PWM Sumut meminta aparat kepolisian menegakkan UU No 7/2012 tentang penanganan konflik sosial. Menurut Wakil Ketua PWM Sumut, Abdul Hakim Siagian, peristiwa kerusuhan di Tanjungbalai itu, mendorong semua instansi termasuk kepolisian, dapat memberikan perhatian serius untuk penyelesaian tuntas.
“Tim sudah turun ke Tanjungbalai. Tujuannya, untuk ikut kontribusi. Penyelesaian ini harus dituntaskan sampai ke akar-akarnya. Penanganan konflik di UU No 7 tahun 2012 ini sudah dilengkapi dan dikuatkan dalam PP No 2 tahun 2015. Hemat kami, itu sudah cukup komprehensif,” kata Abdul Hakim didampingi Ketua Majelis Hukum dan HAM PWM, Faisal di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jalan Sisimangaraja, Medan, Senin (1/8), dikutip Waspada.co.id.
Muhammadiyah meminta aparat penegak hukum yang melakukan penyidikan untuk memegang teguh UU No 7/2012 tentang penanganan konflik tersebut. Menurutnya, melalui pendekatan kepada semua tokoh yang menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika, persoalan itu dapat diselesaikan.
Wakil Ketua PWM Sumut, Abdul Hakim Siagian juga menyatakan, roda perekonomian di Tanjungbalai itu dikenal tinggi dan melaju pesat. Selain itu, lumbung Dai dan Qori internasional juga banyak berasal dari Tanjung Balai.
Dia menambahkan, etnis China yang disebut Tionghoa pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika reformasi, mereka lolos dari sasaran. Artinya, saat gejolak reformasi, tempat ibadah di Tanjungbalai, jauh dari gangguan. Menurut dia, Tanjungbalai juga sebagai pintu masuk Sumut melalui pesisir. Alhasil, sejumlah barang ilegal maupun narkoba, dapat bebas masuk dari Tanjungbalai.
“Penyelesaian Tanjungbalai gunakan prinsip, asas-asas UU penyelesaian konflik sosial yang bertumpu dengan kearifan lokal, melibatkan tokoh masyarakat, lalu kemudian tanggung jawab, peran negara, keadilan dan tidak parsial sekali lagi,” kata Abul Hakim.
Dia mendesak, aparat penegak hukum dapat menegakkan norma-norma UU tentang penyelesaian konflik tersebut. Jika melalui pendekatan normatif, kata Abdul Hakim, tak dapat menuntaskan persoalan. Melainkan, akan menyulut konflik lebih lanjut ke luar daerah Tanjungbalai.
“Melalui penanganan konflik sosial, problem Tanjungbalai tuntas, dari hulu ke hilir. Harapannya, agar memandang Tanjungbalai jangan diujung kuku. Jangan diakhir satu rangkaian beberapa peristiwa. Latar belakang, sebab musabab-nya (juga dilihat). Gunakan UU penanggulangan konflik untuk mengatasinya dan menyelesaikannya,” tutupnya.
Kerusuhan berbau SARA di Tanjungbalai bermula ketika Meliana (41), wanita etnis Tionghoa protes suara adzan di Masjid Almakshun Tanjungbalai yang berada di depan rumahnya.