Kasus Kewarganegaraan Asing Menteri Jokowi, Potret Negara Yang Rentan


[by Canny Watae]

Bicara soal Menteri ESDM itu, seperti kemarin, saya tekankan: bukan soal status kewarganegaraan dia yang saya fokusi. Itu ibarat masuk wajan goreng yang udah dipanasin dayang-dayang "geng" di luar tembok istana yang sedang menyokong "principal"nya dalam lingkup tembok. Semacam balas dendam dalam episode jatuh-menjatuhkan, gitu...

Saya mah fokusnya ke si empunya kabinet: lagi-lagi gagal-praktik kepengelolaan Negara (kalau si Menteri ternyata menyandang kewarganegaraan asing). Sangat-sangat gagal. Terindikasi dengan sangat kuat bahwa pemegang kebijakan tertinggi ternyata mudah "terkibuli" oleh sesiapa saja yang merekomendasikan si Menteri, atau, apabila itu merupakan self-assessment sendiri dari si empunya kabinet, maka betapa rentannya Negara ini. Pusat kekuasaan, yang semestinya adalah "benteng" terkuat dari infiltrasi asing, ternyata adalah sumber kelemahan terbesar.

Nah, yang bikin tambah "seram" ini barang, adalah "value" atau nilai yang membuat si Menteri dipilih menjadi Menteri. Seingat saya, latar belakang pengalaman dan jabatan yang sedang disandang ybs adalah nilai-nilai utama yang dipertimbangkan sang empunya kabinet. Waktu reshuffle kemarin itu, saya mengatakan: itu hak prerogatif sang empunya kabinet. Tidak ada "hak" kita untuk "protes-protes". Kita hanya bisa ngingetin publik: "Reshuffle lagi, reshuffle lagi". Itu tok. Mangkanya kita tidak "bikin rame".

Tetapi dengam mencuatnya soalan kewarganegaraan ini, saya jadi tertarik menelusur latar belakang si Menteri. Eh, "seram". Bagi saya "seram" ini barang. Seramnya apa?

Begini. Melihat website perusahaan berbasis di Houston, Texas, U.S.A, itu, yang menurut kabar adalah tempat si Menteri menjabat President Director atau pun Chief Executive Officer, saya kaget alang kepalang. Saya tidak menangkap kesan kuat bahwa perusahaan itu sekelas Halliburton, Texas Instruments, atau sekelas perusahaan kelas "sederhana" WhatsApp. (Maaf), apalagi melihat pendapatan perusahaan tahun 2013 yang hanya 88 ribu Dolar. Waduh, angka segini (bukan Laba, lho, ya) hanya cukup membayar gaji paling banyak 2 orang tenaga "staff administrasi" di sana. Itu pun, kelas "fresh graduate". Melihat penyajian konten web-nya, mohon maaf, hanya sejajar dengan website "sementara" untuk, katakanlah, panitia reuni sekolahan.

Rupanya, kekerenan segala hal yang berbau "United States of America" sampai tahun ke-18 sejak kelahiran Google masih saja sanggup memikat imaji. Kalau itu imaji masyarakat-kebanyakan, yang tidak dilengkapi seabreg alat Negara di bawahnya untuk melakukan cek realitas, yah, paling banter kita hanya akan melihat adanya "Kasus Penipuan". Namun, jika pikatan imaji itu sampai sanggup menerobos "benteng" yang semestinya "terkuat dari yang terkuat" di Negeri ini, berarti Negara ini dalam kondisi paling rentan sepanjang sejarahnya. Mungkin karena si "benteng" adalah jua produk "imaji"?


Baca juga :