Pakar Neurosains Nominator Peraih Nobel: Ahok Perlu Diobservasi Otaknya


Prof. Taruna Ikrar, ilmuwan Indonesia guru besar Neurobiologi – Universitas California – Amerika Serikat, calon penerima Nobel, setelah mengamati perilaku dan retorika Ahok selama menjabat Gubernur Jakarta, menyatakan, dari sudut pandang neurosains, Ahok termasuk pemimpin di Indonesia yang perlu diobservasi otaknya.

Para pendukungnya juga perlu tuh otaknya diobservasi.

Selengkapnya.....

"Neuropolitic dalam Pilkada DKI Jakarta"


INDONESIA sedang dilanda politik kemasan, lewat pemberitaan media – peneliti dan segelintir pengamat politik, yang kehilangan independensi, kecerdasan dan akal sehat. Salah satu dari begitu banyak indikasinya, tampak pada proses pengemasan citra Basuki Tjahja Purnama (Ahok).

Mencermati sikap dan retorika Ahok selama memimpin Jakarta, dari sudut pandang imagineering (rekacita), setidaknya kita dapati tujuh (7) faktor negatif yang melekat pada dirinya sebagai negative energizer untuk merusak masyarakat.

Yakni: kesengajaan merendahkan orang lain (terutama lawan politik), resistensi terhadap kritik yang dianggap merusak citra, mendorong opini (secara penetratif hipodermis) untuk menafikan nalar khalayak, memaksakan kehendak dan impian dengan beragam cara, mendiskreditkan anak buah dan rakyat, deframe kemampuan kompetitor untuk menunjukkan diri sebagai superhero, dan tidak konsisten (ingkar pendapat) yang pernah dikemukakannya.

Ketujuh faktor itu digunakan Ahok dan para pendukungnya, karena Ahok mengalami persoalan dengan otaknya. Prof. Taruna Ikrar, guru besar Neurobiologi – Universitas California – Amerika Serikat, calon penerima nobel, setelah mengamati perilaku dan retorika Ahok selama menjabat Gubernur Jakarta, menyatakan, dari sudut pandang neurosains, Ahok termasuk pemimpin di Indonesia yang perlu diobservasi otaknya.

Tiga metode khas yang tepat digunakan untuk hal itu: Performance emotions – performa emosinya yang mengindikasikan ketidakstabilan kimia otak di dalam tubuhnya; Unstable less empathy – ketiadaan empati terhadap persoalan sosial yang potensial menjadikannya seorang yang tidak mampu berlaku adil dalam makna sesungguhnya, akibat hambatan sublimic otak; dan, Wild decision – proses pengambikan keputusan yang tidak menyertai pertimbangan-pertimbangan matang, terutama fungsi insaniahnya.

Dari ketiga hal tersebut, Ahok termasuk seseorang yang ketika memperoleh otoritas besar akan sangat berbahaya, karena secara sadar bisa melakukan sesuatu yang tak lazim untuk kepentingan menunjukkan dirinya serba positif dan orang lain serba negatif. Termasuk mengekspresikan emosi dengan kata-kata kotor.  Ada yang salah dalam sistem interaksi logical kognitif dan emosinya. Hal ini menunjukkan, Ahok mengalami disorder personality.

Dengan kondisi demikian, Ahok selalu cenderung memutar balik realitas. Misalnya, mengesankan seolah-olah dirinya korban rasisme, padahal dia sendiri yang rasis dan secara sadar mengembangkan rasialisme. Dengan cara ini dia dapat menjadi pemicu terjadinya friksi dan konflik sosial.

Dengan kondisi kepribadian yang disebabkan ada persoalan di otaknya, Ahok mudah menuding orang dan kelompok lain sebagai fundamentalis untuk menutupi fundamentalisme paradoksal yang melekat pada dirinya.

Gangguan neurobiologis Ahok juga memicu dirinya yang sangat mudah mengklaim kejujuran, padahal belum terbukti dia jujur, seperti dia mengklaim seolah-olah dirinya tidak korupsi, tetapi memberi peluang bagi lingkungan sosial terdekatnya untuk melakukan tindakan koruptif.

Dalam situasi demikian, dia mendorong atau menciptakan situasi agar dirinya selalu menjadi pusat perhatian dalam polemik dan perdebatan sosial, dari berbagai sudut pandang. Terutama, karena Ahok sadar, dalam konteks relasi – korelasi sosial, lingkungan pemerintahan dan masyarakatnya masih terikat oleh sistem – yang menurut Geerzt – patron client relationship di lingkungan birokrasi, dan traditional authority relationship di lingkungan sosial. Dengan memanfaatkan pola relasi korelasi semacam itu, Ahok akan sangat mudah 'melempar kambing' persoalannya kepada bawahan atau masyarakat.

Dalam situasi seperti itu, para pendukung dan orang-orang yang menghendakinya menjadi pemimpin,  memanfaatkan demokrasi sebagai alat politik untuk melihat social polar map dengan suntikan-suntikan isu tentang globalisasi, pluralisme dan liberal multikulturalisme (seperti teori Terri Murray).

Pernyataan-pernyataan Ahok, seperti “karena saya Cina, kristen lagi...; jilbabnya kayak serbet di rumah saya” dan sejenisnya, secara sadar dilakukan untuk memicu friksi sosial. Karena, setiap terjadi friksi sosial, dia akan mengais keuntungan bagi kepentingan pencitraannya.

Efek yang dia kehendaki dari sikap dan ucapan semacam itu adalah memasukkan ke dalam pikiran semua orang, bahwa multikulturalisme pluralis mentolerir pluralitas budaya. Dan ternyata, Ahok dan para pendukungnya harus setengah mati meyakinkan semua orang dengan berbagai cara (termasuk ada kyai pendukungnya yang mengutip ayat-ayat al Qur’an untuk melakukan pembenaran). Terutama, karena sangat banyak kelompok masyarakat Jakarta, terlepas dari mindset frame (kerangka tata fikir) politik mereka.

Kelompok-kelompok sosial penentang Ahok yang kian besar, justru melihat, apa yang mereka lakukan sebagai sesuatu yang menjijikkan. Terutama, karena kebijakan-kebijakan tidak bijaksana yang dia lakukan terhadap kelompok-kelompok masyarakat kebanyakan, seperti di Pasar Ikan. Karenanya, isu Luar Batang, isu penafian fungsi RT/RW, dan lainnya akan menjadi simpul pemersatu masyarakat melakukan perlawanan.

Meminjam pandangan Frank Miller, Ahok bukan Noir, sang ksatria yang menggerakan perubahan sosial kongkret. Ahok hanya doll of changes, boneka perubahan dari berbagai kepentingan kekuatan ekonomi dan politik yang tak nampak.

Kasus Reklamasi, meminjam teori Lukes, menjelaskan pendekatan kekuasaan di balik kepentingan para pengusaha properti, akan menguak kebusukan. Terutama, ketika route map penguasaan otoritas seorang pemimpin berjiwa labil dan kehilangan empati, terkuak satu-satu.

Belakangan dan paling mutakhir, pembelokan arah Ahok untuk maju ke ajang Pilkada DKI Jakarta melalui jalur partai politik, secara eksplisit menunjukkan dirinya sebagai manusia ambivalen. Ekspresi kepribadian yang sangat berbahaya ketika memiliki kekuasaan besar.

Seperti kata Willard Scott, pemimpin dengan kepribadian semacam itu, hidup di alam fantasinya sendiri, dibekap oleh perasaan positif untuk diri sendiri. Perasaan yang membuat seseorang asyik denga  perasaan sendiri, seolah-olah dirinya positif. Merasa jujur dengan ketidakjujurannya, merasa bersih dengan kekotorannya, karena memandang dirinya terbaik di antara komunitas yang buruk.

Untuk membongkar lebih dalam praktik-praktik semacam itu dan untuk mencegah terjadinya kehancuran suatu masyarakat yang ditimbulkan oleh kepemimpinan manusia ambivalen, boleh dipakai kerangka teori Veneklasen dan Miller. Sekurang-kurangnya melakukan tiga hal.

Pertama, menggerakkan kembali kesadaran masyarakat untuk tidak mudah terpengaruh oleh informasi dan citra yang diproduksi intensif melalui media mainstream dan media sosial, sekaligus menyadarkan masyarakat sebagai subyek politik;

Kedua, menghimpun daya baru (figur dari kalangan advokat atau praktisi hukum - militer – polisi dan pengusaha) sebagai alternatif untuk mengelola pemerintahan (kekuasaan);

Ketiga, menghimpun dan menggerakkan organisasi sosial terkecil yang menjadi koordinat people relations (di negeri kita seperti RT, RW, Majelis Taklim, Remaja Masjid, Karang Taruna) sebagai penggerak partisipasi sosial kritis.

Dalam proses demokrasi politik praktis, berlaku sistem kompetisi head to head, bukan neck to neck competition. Partai politik perlu sangat mempertimbangkan hal ini, untuk mendulang socio political benefit untuk kepentingan yang lebih besar.

Untuk memperoleh energi fundamental, salah satu hal yang harus dipertimbangkan oleh siapa saja yang mau maju dalam Pilkada DKI sebagai Gubernur, adalah menghadirkan representasi figur dari kalangan etnis pituin (dalam konteks Jakarta adalah Kaum Betawi) sebagai mitra utama. Walaupun mungkin, angka populasi konstituantif-nya terbilang kecil (biasanya berkisar antara 15 sampai 25 persen).[]

Sumber: http://akarpadinews.com/read/polhukam/neuropolitic-dalam-pilkada-dki-jakarta



Baca juga :