MUDIK HOROR dan SWASEMBADA JANJI JOKOWI


Oleh: Rudi Agung (Pemerhati masalah sosial)

Hari Raya Idul Fitri adalah hari kemenangan. Hari kegembiraan bagi seluruh Muslim di dunia, dari masa ke masa.

Rasulullah pun menganjurkan umatnya keluar rumah melaksanakan Shalat Id, baik pria, wanita, anak, atau dewasa. Bahkan, wanita haid pun tetap dianjurkan menuju lapangan atau masjid meski tak perlu shalat.

Melainkan mendengarkan khutbah dan doa. Rasul juga menganjurkan untuk menggunakan wewangian dan pakaian terbaik yang dimiliki. Busana tak harus baru. Untuk wanita, minyak wanginya tak boleh berlebihan.

Idul Fitri disambut dengan kegembiraan dan suka cita. Tapi, sepertinya lebaran tahun ini tidak dirasakan sebagian Muslim yang terjebak kemacetan mudik.

Macet terburuk yang menjadi sejarah baru tradisi mudik lebaran telah memakan korban. Belasan jiwa meregang nyawa. Peristiwa yang seharusnya bisa diantisipasi sejak dini.

Betapa masygul membaca kisah-kisah pemudik yang terjebak dalam peristiwa itu. Netizen Nova Perbawa, misalnya. Ia terpaksa menempuh perjalanan Jakarta - Solo selama 51 jam.

Ia menulis, "Finally sampe Solooo, Jkta-Solo tahun ini 51 jam saja, epic! Tapi alhamdulillah udh sampe, sebagian besar masih terjebak di Pantura dan jalur tengah." Itu ditulisnya pada waktu sehari sebelum lebaran atau H-1.

Begitu pula tulisan Haifdz Abdurrahman, yang tersebar secara viral. Tulisan itu bertajuk: Mudik Horor Lebaran 2016. Ia menuliskannya begitu dramatis.

Dirinya mengalami kesulitan bahan bakar, dipukul harga BBM yang mahal, keletihan berjuang mencari toilet. Teriknya cuaca yang melelahkan fisik. Kesabarannya melihat anaknya yang kecil terkulai. Semua dialami dalam kondisi puasa.

Ada pula pemudik yang terjebak berhari-hari. Gemas, kesal, haru, pilu, kecewa. Perasaan pembaca campur aduk. Lalu, bagaimana dengan pelaku yang mengalami peristiwa itu? Bagaimana dengan mereka yang berada di bus kota? Bagaimana dengan keluarga korban yang kehilangan saudaranya?

Kejadian macet terburuk itu tak hanya jadi kekecewaan nasional. Melainkan mengundang sorotan dan bully internasional. Sejumlah media asing menyoroti peristiwa itu dengan pelbagai judul yang pedas. Macet horor, macet terburuk di dunia, dan semisalnya.

Ironinya, pemerintah lepas tangan. Tak ada empati sama sekali. Boro-boro mengakui kesalahan. Alih-alih meminta maaf, memberi sumbangan dan mengundurkan diri. Padahal saat peresmian tol tersebut, Jokowi mengklaim pemudik bisa lebih cepat.

Nyatanya lebih cepat ke alam baka. Tidak ada kesiapan dan kordinasi matang. Jokowi memang senang bikin janji. Entah sudah berapa kali. Pada Maret 2014, media ramai mencitrakan: macet dan banjir mudah diatasi jika Jokowi jadi presiden.

Berharap janji Jokowi? Itu sama halnya menanti Esemka bisa mendunia. Publik menilai keahlian Jokowi hanyalah melakukan swasembada janji tanpa bukti.

Masalah sosial bahaya laten dari swasembada janji tanpa bukti dari Jokowi: masyarakat semakin terbiasa dengan orang yang ingkar janji. Apalagi janji petinggi negeri yang berulang kali. Ingkar janji sama halnya dengan penipuan. Islam mengkategorikannya sebagai golongan munafik.

Dalam hukum positif kita, di KUHP ada pasal 378, yang mengatur sanksi tersebut. Tapi penegakan hukum hanya berlaku bagi masyarakat. Untuk pejabat sangat mudah selamat. Efek dominonya kita makin mengkhawatirkan moral dan mental anak-anak bangsa yang terbiasa dengan buaian janji pejabat.

Banyak analis sampai pakar hukum menyebut, kegagalan mudik, selayaknya membuat Jokowi mundur. Bahkan, secara hukum sudah bisa dimakzulkan. Ah, tapi jangan berharap seperti itu. Tiada bedanya rezim dan parlemen. Sudah banyak kasus kegagalan, tapi saling sandera membuat rezim ini tetap berkuasa.

Sepertinya masyarakat harus menambah suplemen kesabaran. Tetapi yang kita khawatirkan, rakyat makin terbiasa dengan kasus-kasus besar yang menghilangkan nyawa. Terbiasa dengan kedzaliman depan mata. Makin terbiasa terhadap duka dan luka orang-orang sengsara. Kebakaran hutan, macet terburuk, tragedi penyerangan Luar Batang; sebuah contoh kecil yang telanjang.

Seperti teori jendela kaca pecah. Ketika sesuatu yang dianggap tabu sering dilakukan, akhirnya jadi terbiasa. Pertanyaannya: apakah kita masih ingin mempertahankan ingkar janji, kedustaan pejabat, kegagalan pemerintah, kehilangan nyawa, duka lara orang sengsara; sebagai peristiwa biasa?

Kasus-kasus itu boleh selesai atau dilupakan dari ingatan manusia. Namun, dua Malaikat di kubur tak pernah letih untuk menegakan keadilan dan kebenaran.

Semoga kita masih memiliki empati di hati. Hingga tetap peka dan berdoa agar tragedi kemanusiaan serupa tidak terulang. Tidak menganggapnya sebagai pemandangan biasa.

Bangsa ini nyaris kehilangan tradisi sosial: memanusiakan manusia. Selamat Hari Raya. Semoga hari kegembiraan tahun ini jadi momentum mengembalikan kejernihan hati kita. Mohon maaf lahir bathin.

Turut berduka bagi keluarga korban tragedi mudik dan Luar Batang. Semoga para korban ditempatkan di sisi yang mulia. Semoga kita tidak lagi mudah membiarkan kedzaliman dengan menutup mata. Bangsa ini rindu media yang memihak kebenaran, bukan keberpihakan pada majikan. (ROL)


Baca juga :