Mahfud MD: Ada LSM yang Katanya Anti Korupsi Tapi Ikut Bermain Dalam Kubangan Kumuh Korupsi



[portalpiyungan.com] ”Apakah tidak ada segisegi positif dan titik terang yang bisa mendorong Indonesia menjadi lebih baik dan selamat dari perusakan-perusakan yang menderanya? Analisis Bapak tadi membuat dada sesak dan mencemaskan. Apa yang bisa kita lakukan?”, demikian seorang dosen bertanya kepada Prof Moh, Mahfud MD ketika Selasa, 28 Juni 2016  pekan lalu, dalam  studium generale di Universitas Islam Kadiri (Uniska), Kediri.

Di forum ilmiah itu Prof. Mahfud memang mengupas problem masa depan Indonesia yang tampaknya dirongrong oleh buruknya penegakan hukum.

Kemudian Prof, Mahfud mengatakan, berbagai persoalan yang sekarang melilit bangsa ini akan selesai lebih dari separuhnya jika hukum ditegakkan dengan benar. Kerusakan di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan sebagainya yang terjadi sekarang ini disebabkan oleh terjadinya pengangkangan atas hukum oleh para koruptor, entah itu pejabat, entah itu swasta.

Dalam sebuah kolom di salah satu media, Prof Mahfud juga menuliskan bahwa hukum kita banyak dikuasai oleh cukong-cukong sehingga— meminjam istilah Komisioner KPK Laode M Syarif, muncullah gejala grand corruption. Cukong-cukong membeli hukum, bukan hanya saat menghadapi kasus konkret ketika terlibat perkara di pengadilan, melainkan juga sudah membeli hukum ketika hukum akan dibuat sebagai peraturan yang abstrak.

Kita bisa dengan mudah menunjuk kasus, politisi (legislator) dihukum atau ditangkap tangan oleh KPK, karena menjual hukum yang akan dimasukkan ke dalam undang-undang (UU) atau peraturan daerah (perda). Jadi, isi UU maupun perda bisa dibeli oleh cukong.

Artinya, selain mengangkangi proses peradilan jika menghadapi kasus konkret (in concreto) di pengadilan melalui penyuapan kepada penegak hukum, cukong juga membeli isi peraturan perundang-undangan yang bersifat pengaturan secara abstrak (regeling, in abstracto ) kepada legislator.

Cukong adalah korporasi atau orang yang punya modal, tak terbatas pada etnis atau suku tertentu. Karena jual-beli hukum dengan cukong itu maka belakangan ini banyak hakim maupun panitera, pejabat maupun politisi, yang ditangkap dan digelandang ke pengadilan oleh KPK.

Dulu, kisah Prof. Mahfud, ia pernah mengantarkan politikus AM Fatwa menghadap ketua Mahkamah Agung untuk melaporkan kasus perampasan tanah warga Betawi secara sewenang-wenang oleh pengembang. Sang warga Betawi yang menempati dan mempunyai tanah yang diwarisi secara turun-temurun dari kakeknya tiba-tiba digusur oleh pengembang.

Ketika melapor kepada yang berwajib, eh , malah sang warga Betawi itu yang diajukan ke pengadilan dengan dakwaan telah menyerobot tanah orang. Dia pun sudah menunjukkan bukti-bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan selama bertahun-tahun, tetapi ternyata pihak pengembang sudah memiliki sertifikat.

Di negara ini banyak mafia tanah yang melibatkan kongkalikong antara cukong dan pejabat-pejabat. Sebenarnya peran cukong dalam korupsi sudah lama berlangsung. Sebuah grup diskusi dunia maya yang melibatkan kelirumolog Jaya Suprana, Salim Said, HS Dillon, dan lain-lain pekan lalu mendiskusikan isu ”Ancaman Trio Cukong, Pejabat, dan Politisi” yang dulu pernah dilontarkan oleh Wilopo.

Wilopo yang pada masa demokrasi liberal pernah menjadi perdana menteri dan pada masa Orde Baru menjadi ketua Dewan Pertimbangan Agung, pernah memperingatkan tentang bahaya tiga begundal korupsi dan perusak negara. ”Awas bahaya!! Indonesia terancam Trio Persekongkolan, yaitu antara cukong, pejabat, dan petualang politik,” teriak Wilopo saat menjadi anggota Komite Empat.

Komite Empat adalah Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk oleh Presiden Soeharto pada 1970. Ternyata, sampai era reformasi, Trio jahat ini bukannya berkurang melainkan semakin menancapkan kukunya dalam jagat raya penegakan hukum di Indonesia. Sekarang ini ada cukong membeli hukum, ada pejabat menjual hukum, dan ada politisi menjadi pedagang hukum.

Di sana-sini mulai ada juga orang atau orang LSM yang katanya antikorupsi dan prodemokrasi dan supremasi hukum, tetapi mulai ikut bermain dalam kubangan kumuh pemberantasan korupsi. 

Ketika hukum sudah dikangkangi seperti itu maka semua upaya perbaikan menjadi macet, kesejahteraan rakyat semakin jauh panggang dari api, kemiskinan merajalela, kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin menganga.

Sungguh sangat mencemaskan bagi masa depan bangsa dan negara. Kembali ke pertanyaan yang diajukan oleh dosen Uniska tadi. Adakah segi-segi positif yang bisa membuat kita optimistis untuk bisa memperbaiki keadaan yang membuat kita resah ini?

Jawabannya, ” ada asal mau”. Kita sangat kaya dengan sumber daya alam dan mempunyai bonus demografi yang besar.

McKensey menyebut potensi Indonesia untuk menjadi negara maju sangat besar. Pada 2012, Indonesia menempati peringkat ke-16 kekuatan ekonomi dunia dan posisi ini akan naik ke peringkat 7 pada 2030. Begitu besarnya kekayaan sumber daya alam dan bonus demografi kita, sehingga dengan dikelola secara biasa-biasa saja Indonesia akan tetap melesat ke posisi ketujuh.

Ada modal lain yang juga bagus, yakni kebebasan pers yang semakin maju dan bisa dibangun untuk ikut mengarahkan dan mengawasi jalannya pemerintahan dan pembangunan. Bukan pers yang berpolitik secara sempit dalam permainan jangka pendek. Dukungan masyarakat yang menggebu-gebu terhadap upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum juga menjadi modal yang baik.


Sumber: Dikutip dari tulisan Prof. Mohammad Mahfud MD
Baca juga :