Middle East Eye (MEE) melakukan wawancara dengan Rached Ghannouchi, Ketua Partai Ennahda, setelah ia menyatakan pemisahan Partai Ennahda dari kegiatan keagamaan dan politik.
Ennahda merupakan partai politik terbesar di Tunisia. Awalnya Ennahda adalah parpol Islam yang menyatukan antara politik dan keagamaan. Melalui Muktamar ke-10 pada pertengahan Mei 2016 lalu, Ennahda mendeklarasikan sebagai partai politik yang terpisah dengan urusan keagamaan.
MEE: Ennahda baru saja mengambil sebuah keputusan bersejarah untuk memisahkan dirinya dari masjid dan mendefinisikan dirinya secara murni sebagai sebuah proyek politik. Bagaimana anda mendefinisikan apa yang anda lakukan? apakah ini pemisahan atau spesialisasi?
Rached Ghannouchi (RG): Itu adalah keberlanjutan, bukan sebuah peprisahan. Minggu lalu dalam kongres kami mengadopsi ide sebuah partai sipil jadi kami dapat membedakan antara apa yang suci dalam islam apa yang dapat diinterpretasikan secara bebas. Lahan politik tidaklah suci atau tak dapat berubah. Itu adab, manusia. Bebas untuk ijtihad ataupun pemikiran manusia yang bebas. Lebih dari 90 persen teks-teks islam terbuka untuk diinterpretasikan dan pembahasan. Kami menganggap beberapa teks sebagai tetap atau tak dapat diubah. Banyak muslim yang bingung akan dua jenis teks ini dan menganggap semua teks sebagai suci dan tak tersentuh dan hanya mampu membawa sebuah arti. Teks islam mengenai politik terbuka pada interpretasi, dan inilah bidang dimana kami sekarang bertindak. Kami menganggap diri kami sendiri muslim yang melaksanakan ajarannya. Kami percaya pada islam, bahwa islam datang ke dunia untuk membebaskan umat manusia, dan untuk mendefinisikan manusia bebas.
MEE: Bagaimana Ennahda akan berubah?
RG: Anda harus membedakan antara sebuah institusi politik dengan relijius. Sebagai contoh, masjid tak boleh menjadi sebuah arena konfrontasi antar partai politik. Masjid harus menyatukan umat islam, bukan memecahnya. Kita harus menghindari propaganda politik apapun didalam masjid. Politik mendorong orang-orang untuk berkompetisi, untuk kekayaan, kekuasaan dan ini yang harus kita hindari.
MEE: Apakah maksud anda para imam tidak boleh berbicara tentang politik?
RG: Tidak, mereka boleh saja, tapi hanya mengenai kepentingan bersama atau nasional. Saat sebuah Negara berada dibawah pendudukan (penjajahan), imam harus meminta masyarakat untuk melawan, melawan kemiskinan, melawan penyakit sosial apapun yang mendera masyarakat, bukan tentang partai politik. Beberapa penceramah agama menjadi anggota partai kami. Saat terpilih di parlemen, mereka harus memilih untuk bekerja di parlemen dan berhenti menjadi imam, atau tetap menjadi imam dan tidak bekerja di parlemen.
MEE: Apa itu berlaku untuk anda?
RG: Ya.
MEE: Apa anda akan berhenti berdakwah atau menyebarkan islam?
RG: Ya. Kami akan menghentikan semua aktivitas dakwah didalam partai. Kami harus menjamin bahwa mereka yang mengajak masyarakat kepada islam (dakwah) menyatukan komunitas bukan memecahnya (dalam artian dia harus bukan orang parpol -red), karena agama adalah masalah persatuan, bukan sebuah alat untuk memecah masyarakat.
MEE: Anda berada di inggris pada 1994 saat Tony Blair menjadi pemimpin partai buruh, dan saya berada di ruang konferensi pada 1994 di Blackpool saat ia berkata Partai Buruh butuh aturan dasar yang baru dan mengumumkan penghapusan klausa 4, yang menjamin bahwa Partai Buruh akan mendukung kepemilikan Negara atas factor-faktor produksi. Ini dilihat sebagai pemisahan secara konstitusi oleh 'New Labour' (Partai Buruh baru) dengan masa lalunya dan sebuah pernyataan bahwa mereka adalah sebuah partai baru. Apakah ada perbandingan antara apa yang baru saja anda lakukan dengan apa yang Tony Blair lakukan pada 1994?
RG: Ya. Kami akan mempromosikan sebuah Ennahda baru, untuk memperbaharui gerakan kami dan untuk menaruhnya didalam ranah politik, diluar dari keterlibatan apapun dengan agama. Sebelum revolusi (Arab Spring -red) kami bersembunyi di masjid-masjid, serikat dagang, yayasan, karena aktivitas politik yang sesungguhnya dilarang. Tapi sekarang kami dapat menjadi actor politik secara terbuka. Kenapa kami harus bermain politik di masjid? Kami harus melakukan politik secara terbuka di partai. Kami tidak menyesatkan siapapun dengan menggunakan agama untuk alasan politik. Kami harus merespon kebutuhan masyarakat dan tidak menyesatkan mereka dengan emosi agama.
MEE: Anda mengatakan bahwa sekarang revolusi sudah aman, bukan lagi tugas Ennahda untuk melindungi islam. Negara pasca-revolusi yang melakukannya. Tapi apakah Negara ini seaman itu? Jika Emiratis (UAE) berhasil membeli kesetiaan presidenmu, Beji Caid Essebsi –mereka menawarkan Tunisia uang sekitar 5-10 milyar USD- semuanya yang kau bangun, konstitusi, parlemen, pemilu, akan runtuh.
RG: Saya memiliki keyakinan pada presiden kami. Saya yakin pada patriotismenya dan ia dipilih oleh rakyat Tunisia. Otoritasnya tidak bergantung kepada dukungan kekuatan asing. Dia tahu sejumlah besar rakyat Tunisia memilih Ennahda dan ia butuh Ennahda untuk mengonsolidasikan pemerintahannya. Kami butuh partainya untuk membuat keseimbangan, untuk membuat sebuah fondasi yang solid bagi Negara dan pemerintahan kami. Pemerintahan didasarkan pada keseimbangan kekuasaan. Keseimbangan kekuasaan di Tunisia butuh kolaborasi antara presiden, partainya dan partai kami. Semua survey menunjukkan bahwa lebih dari 70% rakyat Tunisia ingin mempertahankan demokrasi. Jadi tidak mudah untuk melaksanakan sebuah kudeta melawan keinginan mayoritas rakyat Tunisia.
Tentu saja Tunisia melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, tapi bahkan diantara kelompok mereka ada dukungan untuk Negara. Bandingkan apa yang terjadi di Mosul (Irak) tahun 2014 dengan apa yang terjadi di Ben Guerdane (Tunisia) awal tahun ini. Di Mosul dua hingga tiga ratus petempur ISIS mengambil alih sebuah kota dengan penduduk 3 juta jiwa, dengan bank sentralnya sendiri dan konsekuensi besar bagi Iraq. ISIS dengan jumlah yang serupa mencoba untuk mengambil alih sebuah kota perbatasan kecil bernama Ben Guerdane dan mereka gagal karena rakyat Tunisia sangat ingin menjaga demokrasi di Negara ini.
MEE: Sebuah patung didirikan ulang untuk seorang pemimpin Tunisia yang mencoba mengadili ulang anda di penjara dan lalu dieksekusi. Patung Habib Bourguiba disebuah kuda ditempatkan kembali di tempatnya semula di Avenue de Bourguiba di Tunis dan ada upacara resmi dimana sang presiden menghadirinya.
RG: Ya, Bourguiba adalah seorang hebat. Kau tak bisa mengesampingkannya dari sejarah kami. Ia memimpin sebuah pergerakan nasional yang memerdekakan Tunisia. Saya tak bisa mengabaikannya. Itu adalah kenyataan.
MEE: Jadi anda mendukung pendirian ulang patungnya?
RG: Saya tidak menyetujui patung ini. Saat saya dipenjara Bourguiba ingin mengadili ulang saya, jadi hukuman saya dapat ditingkatkan dari penjara seumur hidup menjadi hukuman mati. Ia ingin mengulangi perilaku para sultan, tapi ia dikudeta dalam waktu 3 hari. Tapi ia memiliki tempat dalam sejarah Tunisia. Dalam pidato pembukaan saya di konferensi partai, saya menyebut sejumlah pemimpin nasional dan salah satu diantaranya adalah Bourguiba.
MEE: Sekarang anda telah meninggalkan islam, apa identitas partai anda? Mengapa rakyat Tunisia harus memilih anda dan bukan partai sekuler Nidaa Tounes?
RG: Kami tidak meninggalkan islam. Islam adalah acuan referensi kami. Itu adalah inspirasi, tapi kami tak meminta rakyat untuk memilih kami karena kami lebih relijius dari yang lain. Kami ingin menarik rakyat kepada gerakan kami terlepas dari relijiusitas mereka. Semua rakyat Tunisia dapat bergabung dengan partai kami, jika mereka menerima program kami dan program kami tidak murni berbasis pada agama. Itu berbasis pada pelayanan nyata pada rakyat, solusi nyata untuk memecahkan masalah harian mereka. Untuk menyediakan pendidikan, kesehatan yang layak dan menciptakan pekerjaan.
MEE: Apakah partai anda akan menjadi partai kiri atau kanan?
RG: Kami berada di tengah. Kami percaya pada sebuah ekonomi sosial untuk merekonsiliasi pasar bebas dengan keadilan sosial. Serupa dengan model Negara-negara skandinavia.
MEE: Anda telah mengubah aturan dasar partai, akankah anda mengubah nama partai?
RG: Belum. Itu dapat disebut partai Konservatif.
MEE: Lalu apakah anda butuh sebuah majelis syuro?
RG: Ya, kami butuh sebuah syuro.
MEE: Syuro itu untuk organisasi keagamaan (bukan parpol -red).
RG: Partai kami demokratis. Pengambilan keputusan di partai tidak individual. Keputusan dibuat oleh berbagai institusi. Kami ingin menginstitusionalisasi pengambilan keputusan apapun mengenai kepentingan public. Jadi kami sangat serius dalam memerangi kediktatoran dalam bentuk apapun, didalam partai, ataupun dalam system politik yang lebih luas.
MEE: Jika anda memenangkan sebuah mayoritas dalam pemilu selanjutnya pada 2019 apakah anda akan memerintah sendiri atau akankah anda mencari sebuah koalisi?
RG: Kami masih dalam transisi demokrasi, jadi kami butuh sebuah system consensus. Tunisia sekarang tak bisa dikuasai hanya sebuah partai, bahkan bila partai ini mendapatkan mayoritas; 51 persen tidaklah cukup untuk periode transisi.
MEE: Sinyal apa yang ingin anda berikan pada Ikhwanul Muslimin di Mesir, Yaman, Suriah yang tidak memiliki Negara yang melindungi mereka, atau pemilihan umum yang bebas, kepada orang-orang yang menderita di penjara. Apa hubungan anda dengan Ikhwan di Mesir?
RG: Kami menyarankan pada semua islamis di kawasan untuk lebih terbuka dan untuk bekerja sama dengan yang lain dan untuk mencari sebuah consensus dengan yang lain, karena tanpa persatuan nasional, tanpa perlawanan nasional menghadapi kediktatoran, kebebasan tak bisa dicapai. Perlu ada rekonsiliasi tulus antara islamis dengan sekuleris, antara muslim dengan non-muslim. Kediktatoran mendapat makanan dari konfrontasi antara semua pihak. Ini hanya berujung pada kekacauan dan perang sipil, dimana tak satupun menjadi pemenang dan semuanya akan menjadi pecundang.
MEE: Islam politik muncul karena klaim mereka untuk memberi sebuah alternative antara kediktatoran dan ISIS atau al-QAEDA. Jika sekarang sebagai seorang intelektual internasional Anda menyatakan bahwa islam politik tak ada, pilihan apa yang anda berikan pada orang-orang yang tidak memiliki Negara yang melindungi mereka?
RG: Saya berbicara mengenai Tunisia. Di Tunisia, kami tak perlu melanjutkan islam politik, karena ini adalah reaksi terhadap kediktatoran dan laicite ekstrim (sekulerisasi). Kami tak mau islam menjadi sebuah elemen konfrontasi. Islam sekarang eksis secara damai bersama dengan Negara. Negara, seperti yang disebutkan dalam konstitusi kami, melindungi islam. Dan muslim dan masyarakat bebas kami melindungi islam. Jadi islam tak perlu dilindungi oleh sebuah partai. Tapi di Negara lain, mungkin islam politik bisa memainkan peran melawan kediktatoran. Itu bisa menjadi elemen untuk membangkitkan rakyat melawan para diktator. Kenapa tidak?
MEE: Akankah anda masih memiliki peran dalam organisasi internasional Ikhwanul Muslimin?
RG: Saya bukan bagian dari organisasi internasional apapun. Saya hanya mengambil bagian dalam International Union of Muslim Scholars (Persatuan Ulama Dunia, yang diketuai DR Yusuf Qaradhawi -red) yang merupakan lembaga non-politik. Saya juga merupakan bagian dari Dewan Fatwa Eropa.
MEE: Anda memunggungi islam politik. Anda mendeskripsikan diri anda sebagai muslim demokrat dan Ennahda akan menjadi sebuah partai demokrasi konvensional dengan model eropa. Apakah karena ini anda mengakui bahwa tak ada peran bagi islam politik dan apakah itu berarti bahwa, kritikan barat bahwa Islam sendiri butuh reformasi ada benarnya?
RG: Saya tak berpikir islam butuh reformasi, tapi cara orang memahami islam yang butuh direformasi. Tapi islam itu sendiri tak butuh direformasi.
MEE: Tapi apakah anda pikir era islam politik telah berakhir?
RG: Islam politik adalah istilah barat. Itu pertama kali digunakan setelah runtuhnya kekaisaran Usmaniyah, saat muslim merasa bahwa ada kevakuman dan bahwa mereka harus membangun kembali sebuah bangsa islam. Sebelumnya ada pemisahan antara Negara dengan masyarakat dan setiap-tiapnya punya peran, akademisi, penguasa dan hakimnya sendiri. Tapi saat Negara mulai menangkapi ulama (akademisi islam) muncul ide bahwa islam berada dalam ancaman. Di Tunisia, islam tak berada dalam ancaman, jadi kita tak butuh islam politik.
MEE: Apa yang anda katakan pada mereka yang menuduh anda meninggalkan mereka (umat -red) pada ISIS, karena jihadis salafi akan berkata: “kami dan kami sendirilah orang beriman sesungguhnya”.
RG: Salah satu alasan bahwa saya tak perlu menjadi islam politik adalah ISIS merupakan bagian dari islam politik. ISIS adalah salah satu elemen dari islam politik, jadi saya ingin membedakan diri dari ISIS. Saya adalah seorang muslim demokrat dan mereka (ISIS) melawan demokrasi. ISIS menganggap demokrasi haram. Ada banyak perbedaan antara kami dan ISIS. Mereka muslim. Saya tak bisa mengatakan mereka bukan muslim. Tapi mereka kriminal. Mereka diktator. ISIS adalah wajah lain kediktatoran. Revolusi kami adalah sebuah revolusi demokratis, dan nilai-nilai islam sesuai dengan demokrasi.
MEE: Jika anda meninggalkan frasa atau ide tentang islam politik pada ISIS, tidakkah anda memberikan tempat yang akan mereka salahgunakan?
RG: Jika proyek kami, intepretasi kami akan islam sukses, tak akan ada tempat bagi ISIS. ISIS tak bisa mengambil tempat apapun di Tunisia. Mereka menyerang London atau Paris, tapi mereka tidak memiliki tempat apapun di Tunisia, jadi kami adalah alternative nyata dari ISIS, menyediakan sebuah model demokrasi yang mempromosikan hak-hak pluralism dan menghormati kebebasan beragama.
MEE: Apakah anda mengakui bahwa anda mengambil resiko dengan partai anda, untuk berkompetisi dalam lahan politik murni (tanpa embel-embel keagamaan -red). Bukankah ini sebuah resiko untuk anda?
RG: Mungkin beberapa orang akan meninggalkan kami (dikarenakan perubahan menjadi murni partai politik -red), tapi yang lain akan bergabung, karena mayoritas rakyat Tunisia moderat. Mereka sangat ingin mendefinisikan diri sendiri sebagai seorang muslim, tapi mereka berpikiran terbuka. 80% rakyat Tunisia hidup di tepi pantai. Mereka hidup menghadap Eropa. Jadi Tunisia tak mungkin menjadi ISIS. Ideology ini tak bisa dimobilisasi di Tunisia. Jihadi salafi tak bisa menjadi tren nyata. Mereka adalah peninggalan Ben Ali, dari kediktatoran. Mereka bukanlah produk revolusi. Saat demokrasi bertahan dan ekonomi pulih, saya yakin hanya sedikit yang akan tertarik pada jihadi salafisme atau bahkan islam radikal.
MEE: Apakah barat memberi anda cukup dukungan?
RG: Tak cukup. Menurut saya barat memberikan lebih banyak dukungan pada demokrasi di Eropa timur dibanding di Tunisia, meskipun Tunisia seperti sebuah benteng yang menjaga Eropa melawan ISIS. Jika ISIS mengambil alih Tunisia, Eropa akan berada dibawah ancaman nyata, seperti yang kita lihat di sebagian Libya.
MEE: Apakah ada keadaan khusus dimana anda akan menjadi presiden Tunisia?
RG: Itu belum ada di rencana saya, sejauh ini.
MEE: Sejauh ini. Jadi ada keadaan dimana anda akan menjadi presiden. Apakah proyek anda untuk membangun sebuah partai nasional yang akan menjadi inti, jantung dari kehidupan politik Tunisia?
RG: Ya, saya pikir Ennahda bisa menjadi partai utama di Tunisia. Tunisia sangat homogeny, sangat bersatu, sementara ada pluralitas nyata di bidang pemikiran dan kebudayaan. Ada lahan pusat yang luas. Ennahda dapat mewakili pusat dari warga Tunisia kebanyakan ini dalam kelas menengah dan bawah. (portalpiyungan.com)
*Sumber: http://www.middleeasteye.net/news/rached-ghannouchi-qa-thoughts-democratic-islam-1636082038