Berita di koran Kompas edisi Selasa 31 Mei 2016 halaman 18 cukup mengagetkan dimana menyebutkan Pemerintah akhirnya membuka keran Impor daging dari INDIA.
[Kutipan Kompas:]
Pemerintah membuka keran impor dari Australia, India, dan Selandia Baru. Menurut Sekretaris Kabinet Pramono Anung, pemerintah sudah mempunyai hubungan langsung dengan semua negara itu.
Keputusan ini mengejutkan karena selama ini pemerintah masih menutup pintu impor dari India karena negara tersebut belum bebas dari sejumlah penyakit, salah satunya penyakit kuku dan mulut.
India memang sudah ngebet ingin mengekspor sapi/daging sapi yang berlimpah di negaranya. Tapi sejak lama Indonesia menolaknya karena India belum bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).
PMK merupakan penyakit epitozootika yang menyerang ternak besar, namun karena ganasnya virus PMK juga bisa menyerang ternak lain bahkan tikus.
Indonesia pernah mengalami kerugian cukup besar akibat serangan virus PMK pada tahun 1983, ketika itu
ternak yang belum terserang diberi vaksin, lalu yang terserang diupayakan untuk disembuhkan. Sedangkan yang parah, terpaksa dibakar agar tidak menular.
1986 negeri ini bebas PMK, kemudian dikuatkan dengan keputusan WHO ditahun 1990.
Keputusan pemerintah mengimpor daging sapi dari India setelah ditandatanganinya Peraturan Pemerintah oleh Presiden Joko Widodo pada 8 Maret 2016 lalu, dimana pemerintah memutuskan untuk memperluas asal pemasukan daging dari negara yang belum bebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK) yang sebelumnya terlarang.
Para peternak sapi lokal menolak kebijakan Presiden Joko Widodo yang memperbolehkan importasi daging dan sapi berbasis zona (zone based) dari negara yang tidak terbebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK). Menurut peternak, kebijakan ini sangat mengancam mereka.
"Kita ingin menyejahterakan peternak lokal dan juga meningkatkan populasi sapi, namun dibenturkan dengan adanya aturan baru impor daging sapi dan sapi dari India. Itu tidak relevan, aturan pemerintah itu akan memusnahkan peternak sapi lokal," kata Founder Bhumi Andhini Farm and Education, Ilham Akhmadi, di Jakarta, Kamis (17/3). dikutip merdeka.com.
Nasib 5 juta rumah tangga peternak sapi dengan populasi 12 juta ekor sapi (BPS ST2013) yang dipaksa bersaing dengan harga super rendah, adakah yang melindungi mereka dari persaingan dengan kartel sapi (dan negara juga tentunya).
Kemudian yang paling penting adalah apakah kesehatan masyarakat selaku konsumen bisa dipastikan terjamin jika ternyata mereka mengkonsumsi daging sapi eks-India, sebuah negara yang belum bebas Penyakit Mulut dan Kuku?
Jokowi memang sesumbar untuk menjungkirbalikan harga-harga jelang Puasa dan Lebaran, salah satunya harga daging sapi yang ditarget Rp 80.000/kg. Dengan cara impor jor-joran, yang dulu saat kampanye pilpres koar-koar "Indonesia harus berani stop impor sapi".
Namun jangan karena mengejar harga jungkir balik selama puasa dan lebaran, sehingga cara pikir ikut terbalik. Karena harga murah sebulan, tidak bisa terkompensasi dengan derita peternak sapi Indonesia dan serangan virus PMK.