JAKARTA - Sidang lanjutan gugatan Fahri Hamzah (FH) terhadap beberapa elit PKS, hari ini, Rabu tanggal 29 Juni 2016 diagendakan pengajuan bukti surat dari Fahri Hamzah.
Sejumlah 41 alat bukti surat diajukan pihak Fahri Hamzah untuk mendukung dalil-dalil gugatan, bukti tersebut di antaranya sebagai berikut:
1. Notulensi pribadi Fahri Hamzah dengan kepengurusan baru PKS (Salim Segaf Al Jufri, Hidayat Nurwahid, M. Sohibul Iman) pada tanggal 10 Oktober 2015 yang intinya Ketua MS meminta Penggugat terus bekerja dan menegaskan tidak ada pergantian pimpinan DPR RI dan MPR RI yang berasal dari PKS. Pernyataan ini menunjukkan pengakuan terhadap prestasi dan kinerja Fahri Hamzah sebagai pimpinan DPR RI.
2. Ajakan pertemuan pribadi Dr. Salim Segaf Al-Jufri kepada FH melalui WhatsApp mulai pertemuan tanggal 1 Desember 2015, 11 Desember 2015 dan tanggal 16 Desember 2016. Ajakan pribadi dan pertemuan pribadi implikasinya bersifat pribadi, sangat disayangkan pertemuan pribadi dikemudian hari diklaim sebagai pertemuan formal atas nama institusi. Tidak bisa pertemuan yang di desain sebagai pertemuan pribadi mengatasnaman institusi, karena sebuah institusi partai terikat oleh aturan dan mekanisme yang diatur oleh AD ART dan Pedoman Partai di mana pengambilan keputusan memiliki mekanisme.
3. Draft surat pengunduran diri Fahri Hamzah yang berasal dari Salim Segaf Al Jufri yang diserahkan oleh Sunmandjaja Rukmandis sebagai jebakan kepada FH seolah-olah surat itu dibuat sendiri dan tanpa paksaan dari pihak lain. Penolakan Fahri Hamzah untuk menandatangani surat pengunduran diri inilah yang menjadi alasan utama kemudian Fahri Hamzah disidang namun dengan berbagai delik pelangaran baru yang dipaksakan. ARTINYA PADA DASARNYA FH TIDAK MEMILIKI KESALAHAN APAPUN SEBAGAIMANA DELIK YANG DITUDUH BADAN PENEGAK DISIPLIN ORGANISASI (BPDO). Pelanggaran FH kemudian dimunculkan belakangan setelah menolak mengundurkan diri dengan menandatangani surat pengunduran. Penolakan FH untuk menandatangani surat pengunduran diri tersebut karena bagi FH pilihan pengunduran diri merupakan otoritas individu yang tidak mungkin bisa dipaksa oleh pihak manapun. Akibat penolakan menandatangani surat tersebutlah kemudian Salim Segaf Al Jufri mengatakan bahwa akan ada konsekwensi yang berujung pada pemanggilan Fahri Hamzah oleh BPDO.
4. Surat panggilan BPDO dan Surat Panggilan Majelis Tahkim kepada Fahri Hamzah dan tanggapan atas surat-surat tersebut oleh FH, keseluruhannya cacat hukum karena tidak mengikuti standar sesuai AD/ART dan Pedoman Partai. Dominasi pendekatan kekuasaan menyebabkan mereka tidak menggunakan "sense of justice, principle of morality" dalam menegakkan aturan. Dari bukti ini menunjukkan bahwa FH tidak diberitahukan apa pelanggaran yang dia perbuat sehingga dipanggil sidang, tidak diberitahukan apa dasar hukum formil dan materil pelaksanaan persidangan, hingga keputusan pemecatan keluar FH tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar yang diajukannya agar terselenggara sebuah persidangan yang sehat dan adil.
5. Surat Kementerian Hukum dan HAM yang menunjukkan belum adanya pengesahan atau pencatatan komposisi Majelis Tahkim pada Kementerian Hukum dan HAM sejak pertama FH dipanggil hingga dikeluarkannya putusan pemecatan. Dalam Putusan Majelis Tahkim mengakui bahwa surat pengajuan komposisi Majelis Tahkim diterima oleh Kementerian Hukum dan HAM tanggal 10 Maret 2016.
6. Berdasarkan bukti bukti yang ada, dapat disimpulkan bahwa permintaan mundur pertama kepada FH yang selanjutnya berujung pemecatan tidak dihasilkan melalui mekanisme syuro (rapat pengambilan keputusan). Keputusan besar untuk meminta FH mundur dari pimpinan DPR RI dihasilkan hanya melalui pembicaraan informal beberapa orang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam AD/ART. Informalisme tersebut bertentangan dengan azas legal dan formil yang dianut oleh partai politik modern. Apa yang ditampilkan oleh Salim Segaf Al Jufri sebagai ketua Majelis Syuro PKS ini mencerminkan watak yang tidak sehat ketika kekuasaan dianggap melekat pada diri pribadi seseorang, bukan sistem. Kritik yang umumnya dialamatkan pada raja Louis ke XIV yang menyebut L’Etat c’es moi (negara adalah saya) nampaknya serupa dengan tindakan ini, yang artinya akan muncul ungkapan “Partai adalah Aku"
7. Dokumen dokumen yang diajukan ini menyimpulkan adanya pola “tujuan menghalalkan cara” sehingga sebetulnya tindakan para tergugat pada dasarnya tidaklah didasarkan pada akal sehat dan ilmu hukum serta jauh dari pertimbangan keadilan dan pengakuan atas hak-hak pribadi seseorang sebagai warga negara. Semuanya dilakukan demi menjalankan misi yang penting FH disingkirkan dari PKS, Partai yang ikut dia dirikan dan besarkan sepanjang hayatnya.