Ini bukan membahas pertarungan Pilpres, Pilkada atau perebuatan Pimpinan Organisasi. Namun, lagi-lagi, bicara soal hukum dan penegakan keadilan. Terbukti, masih saja belum semua pihak siap menang dan siap kalah saat berperkara di pengadilan.
Bahkan yang terjadi adalah siap menang, tak mau kalah. Justru merisaukan rasa keadilan masyarakat itu dicontohkan oleh para penguasa atau pemegang tampuk kekuasaan. Kekuasaan digunakan semena-mena untuk melawan putusan pengadilan.
Inilah setidaknya yang terjadi di ibukota. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tak memedulikan putusan pengadilan yang melarang reklamasi pulau G. Ahok tetap bertekad meneruskan atau melanjutkan pembuatan pulau G, meski terbukti menabrak aturan.
Lain lagi dengan Kejaksaan Jawa Timur. Meski sudah tiga kali Sprindik yang dikeluarkan menjerat La Nyala Mataliti ditolak atau kalah dalam pra peradilan namun tetap ngotot mengeluarkan lagi. Sulit untuk tidak mengatakan ini sebagai bentuk dendam atau kebencian dalam proses hukum.
Kekuasaan digunakan atau dimanfaatkan untuk mengumbar nafsu mengalahkan siapa saja yang tidak disukai. Kekuasaan bukan untuk kepentingan masyarakat luas, namun hanya untuk memaksakan keinginan dan kepentingan pribadi.
Jika perilaku seperti ini tak ada yang perduli atau dibiarkan, kita tidak tahu lagi kemana arah penegakan maupun pengelolaan hukum dan keadilan di negeri ini. Jika putusan pengadilan diinjak-injak masihkah negeri ini patut disebut negara hukum?
Jelas kondisi ini tidak baik jika terus dibiarkan. Sebab, inilah benih-benih munculnya hukum jalanan. Rakyat yang selama ini justru susah payah mencari keadilan akan dipicu memilih jalan pintas yaitu hukum jalanan karena melihat penguasa yang mengabaikan putusan pengadilan.
Seharusnya, pemegang kekuasaan memberi contoh yang baik dalam penegakan hukum. Proses peradilan telah memberikan jalan yang baik bagi pencari keadilan. Betapapun pahit putusan pengadilan itulah hasil proses peradilan. Semua pihak harus siap menerima, baik kalah atau menang. Bukan menangnya sendiri.
Ariady Achmad
TEROPONGSENAYAN