"REBUT Dulu, Baru RIBUT"


[portalpiyungan.com] Seingat saya.... Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Syihab, adalah orang yang pertama kali mengungkapkan istilah tersebut ("Rebut dulu, Baru ribut") sebagai wujud keprihatinan beliau atas kondisi ummat Islam yang terus bertengkar dalam memandang persoalan kepemimpinan di era demokrasi seperti saat ini.

Miris memang. Disaat musuh-musuh kita dari beragam aliran, isme, dan ideologi terus mengkonsolidasikan diri dengan satu agenda bersama: "Asal Bukan Islamis"; kita justru belum beranjak dari perdebatan tentang (sarana) demokrasi ini. Sebagian kita masih menganggapnya subhat, bid'ah, bahkan ada yang sampai derajat mengharamkannya.

"Saya tidak mau berdebat. Kalau ada yang mengatakan ini kan demokrasi hukumnya haram. Sudahlah, terlalu panjang kalau kita berdebat. Ini pertempuran sudah di depan mata. Kita jangan ribut, tapi rebut dulu. Habis rebut, baru ribut. Ini kekuasaan belum kita rebut tapi sudah ribut," ungkap Habib Rizieq.

Jakarta adalah potret ironi kepemimpinan sebuah negeri muslim. Bagaimana mungkin seorang yang berasal dari etnis dan agama minoritas bisa memimpin dan mengacak-acak keyakinan mayoritas?

Miras dibebaskan....
Judi dibolehkan.....
Pelacuran difasilitasi...

Bahkan kemarin, dia mulai ikut campur soal pakaian siswi muslimah.

Siapakah yang merasakan dampak ini semua? Apakah hanya kalangan yang membolehkan sarana demokrasi saja, atau kita semua?

Sudah saatnya tokoh-tokoh ummat melepaskan ego, agenda, dan keributan tak substantif demi kepentingan ummat yang lebih luas. Rebut saja dulu, baru kita ribut. Dan disinilah seharusnya partai-partai Islam berperan sebagai kanal saluran politik kebersamaan ummat.

Sejarah politik ummat memang tidak selamanya manis. Konflik dan intrik internal seringkali menjadi ganjalan. Tapi yang pasti, mereka tahu kapan saatnya menyingkirkan ego dan kepentingan sempit ketika menghadapi musuh bersama.

Begitulah misalnya Syaifuddin al-Quthuz mencontohkan dalam perang Ain Jalut saat menghadapi Mongol. Sebagai penguasa Bani Mamluk di Mesir, ia berikan amnesti kepada kalangan Bahriyah yang pernah berusaha melakukan pemberontakan, ia lakukan rekonsiliasi dengan kalangan Mu'izziyah sebagai rival politiknya, ia undang tokoh-tokoh oposisi untuk kembali ke Mesir, dan kemudian melakukan konsolidasi dengan Bani Ayyub di Syam.

Semua dilakukan demi kepentingan ummat yang lebih luas, yakni menghadapi perang besar dengan pasukan Mongol yang belum pernah kalah sekalipun dalam setiap pertempuran.

Ramadhan 685 H menjadi hari yang bersejarah. Di bawah komando langsung Syaifuddin al-Quthuz, pasukan Mongol dibuatnya porak poranda dan pulang dengan menanggung kekalahan.

Pilkada DKI Jakarta 2017 yang akan menjelang adalah test case bagi perwujudan wihdatul ummah dalam agenda kepemimpinan. Jika ini gagal, maka sulit mengharapkan agenda bersama di pilpres 2019 yang akan datang. (by Erwin Al-Fatih)

Baca juga :